13

13K 1.2K 29
                                    

Di pagi hari yang cuacanya agak mendung, terlihat sosok anak yang sedang membantu bibinya di dapur. Ya, anak itu bukan lain adalah Andrew. Dia menyiapkan roti lapis juga secangkir kopi untuk sarapan ayah dan kakaknya, sedangkan si bibi sedang mengerjakan tugas yang lebih susah dari itu.

Andrew nampak sangat ceria walau langit mendung bagai kehidupannya. Dia menyiapkan meja makan lalu menyajikan makanan itu di atasnya.

"Aku akan berangkat lebih awal!" ucap Aidan mengambil roti lapisnya dan menyantapnya. "Apakah mobilnya sudah siap?"

"Sudah." jawab si bibi.

Aidan langsung menuju pintu keluar dan menuju mobilnya. "Baiklah, kalau begitu sampai jumpa!"

"Eh, kakak belum menghabiskan rotinya!" Andrew berteriak.

"Aku akan memakannya di perjalanan. Tenang saja!"

***

Di sekolah, Aidan masih menyantap roti lapisnya sambil melewati lorong sekolah. Dia tak sengaja berpapasan dengan seorang anak laki-laki.

Aidan berhenti sejenak, lalu berpikir. "Anak yang tadi, mirip dengan anak yang bersama ibu kandung Andrew dua hari lalu. Apa aku salah lihat? Tunggu ..."

Aidan berbalik arah, kemudian berlari mendekati anak laki-laki itu. Dia menghentikannya.

"Eh, permisi! Apa boleh aku menanyakan sesuatu?"

Anak itu menoleh. "Tentu saja!"

"Namamu siapa? Kamu dari kelas mana?"

"Saya Johan, kelas VII-A." jawab anak itu.

Aidan mengangguk. "O-oh, baiklah, berarti kau adalah kakak kelasku. Apa aku boleh tahu alamat kakak?"

"Kenapa kau menanyakan alamatku? Ada apa?"

Aidan menggeleng dan terkekeh. "Ah, i-itu ... aku hanya ingin memastikan bahwa kakak adalah orang yang pernah aku temui sebelumnya. Maaf jika pertanyaanku mengganggu kakak."

"Tidak apa-apa! Baiklah. Jika kau perlu alamatku, aku akan memberinya untukmu."

"Terima kasih banyak, Kakak!" Aidan tersenyum senang. Dia memperhatikan wajah kakak kelasnya itu sekali lagi dan ia yakin bahwa itu adalah anak yang bersama ibu kandung Andrew beberapa waktu lalu di taman hiburan.

***

Siang hari, tepatnya setelah pulang dari sekolah. Johan terlihat melepas lelah dengan memainkan piano di kamarnya. Pikirannya selalu terpikirkan akan sosok anak yang ia temui tadi pagi. Senyuman anak itu, dan kata-katanya yang begitu sopan membuatnya sangat terkesan dengan Aidan, adik kelasnya itu.

"Ini pertama kalinya aku dipanggil dengan 'kakak' oleh seseorang." gumam Johan di kamarnya. Dia terus menikmati alunan musik dari piano yang ia mainkan.

"Kenapa aku tak menanyakan nama dan alamatnya juga tadi?"

***

"Aku pulang!" Aidan menyapa. Tidak ada orang yang menjawabnya. Dia masuk lalu kembali berkata. "Aku pulang!"

Lagi-lagi tidak ada yang menjawab.
"Di mana Andrew dan yang lain? Apa bibi pergi ke pasar? Dia melupakan list belanja-nya." ujar Aidan sembari memperhatikan list belanjaan di atas meja.

"Lalu, di mana Andrew? Apa dia ikut bersama bibi?"

Aidan meletakkan tas sekolahnya di sembarang tempat. Dia memandang lantai di luar kamar mandi yang basah. Jika tidak berhati-hati, maka bisa saja terpeleset.

Dia membuka pintu kamar mandi dan menemukan Andrew yang basah kuyup. Mulutnya di tutup dengan lakban, dan tangannya diikat. Terlihat matanya yang merah seperti sehabis menangis.

"Astaga, Andrew! Siapa yang melakukan ini padamu? Hah?" Aidan langsung melepas lakban yang menutup mulut adiknya perlahan dan melepas tali yang mengikat kedua tangan adiknya itu.

"Kau baik-baik saja? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Aidan penuh kekhawatiran.

Andrew langsung memeluknya. Dia menggigil kedinginan. "K-kakak, ayah tahu kalau kemarin kakak membawakan makanan untukku! Jadi, dia menghukummu! Aku benar-benar ketakutan ..." ucapnya sambil menangis.

"Ayah yang melakukan ini padamu?" tanya Aidan lagi. Namun, Andrew tak lagi menjawabnya.

"Baiklah, berhenti menangis. Sekarang, keringkan dirimu. Kakak akan siapkan susu hangat untukmu. Tenanglah, semuanya baik-baik saja sekarang. Ya?"

***

"Apakah kau sudah merasa baikan?" tanya Aidan setelah memberikan segelas susu hangat pada Andrew.

Andrew mengangguk. Dia meminum susu hangat itu pelan-pelan.

"Nah, sekarang apa boleh aku menanyakan sesuatu padamu?" Aidan duduk menatap Andrew yang tubuhnya dibungkus handuk.

"Apa yang ingin kakak tanyakan?"

"Itu ... saudaramu, atau maksudku anak yang bersama ibumu di taman hiburan waktu itu namanya Johan, ya?"

Andrew mengangguk dengan cepat. "Iya! Dari mana kakak tahu tentang itu?"

Aidan tersenyum. "Aku tak sengaja bertemu dengannya di sekolah. Aku punya alamatnya! Kau mau tahu?"

"Sungguh? Kakak punya alamat Kak Johan? Dia ... dia tinggal di mana? Mungkin saja ibu ada di sana!" Andrew berdiri dan melompat kegirangan.

"Sebentar, ya?"

***

"Kau boleh ke sana, tetapi jangan terlambat pulang. Ingat! Pulang sebelum jam enam sore. Nanti, ayah akan marah jika tahu kalau kau keluar dari rumah." Aidan memberi nasihat.

Andrew menatap kartu alamat di tangannya dengan semangat. "Sepertinya begitu. Terima kasih ya, Kak!"

"Iya ... sama-sama. Ingat, jangan sampai terlambat pulang!"

"Baiklah!"

Akhirnya, Andrew pun pergi dari sana dan mulai menuju alamat rumah yang diberikan Aidan padanya. Semoga alamatnya benar! Semoga ia bisa bertemu ibunya kembali!

Dia berharap tidak tersesat di jalan, dan semoga itu tidak terjadi.

***

Sebuah mobil keluar dari pintu gerbang rumah. Di dalamnya ada seorang wanita yang ingin menjemput anaknya dari les. Wanita itu tentu saja adalah Adena. Mobil itu mulai menjauh dari rumah.

Kebetulan, Andrew tiba di sana. Dia mengecek alamat itu sekali lagi. Dia mungkin tak pandai membaca, tetapi dia yakin ini adalah alamatnya.

Tapi tunggu! Pintu gerbang ini dikunci. Apakah ada orang di dalam rumah? Apa mereka sedang keluar?

Andrew mengetuk pintu gerbang berkali-kali, tetapi tak ada yang membukakan pintu untuknya. Dia akhirnya memutuskan untuk menunggu sebentar lagi.




T. B. C.

Anak Haram [TERBIT✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang