14

12.4K 1.2K 32
                                    

Waktu terus berlalu ... Andrew masih menunggu di depan gerbang tersebut, berharap ia akan menemui ibunya kembali. Namun, pemilik rumah tak kunjung pulang sedari tadi. Andrew sendiri tidak tahu, apakah ini memang rumah ibunya atau bukan.

Ini sudah jam lima sore. Andrew terpaksa harus meninggalkan tempat itu dan pulang ke rumah sebelum jam enam sore sesuai nasihat sang kakak.

Andrew mulai berjalan ke sebuah daerah sepi. Dia mulai merasa tidak aman. Huh, semoga dia baik-baik saja di perjalanan pulang.

Namun, terlihat sebuah taksi yang berhenti tepat di samping Andrew. Andrew merasa ketakutan, mengingat jalanan saat itu sepi.
Andrew terus berjalan dengan langkah kaki yang semakin cepat. Dirinya diterpa rasa khawatir dan takut. Hingga akhirnya, seseorang keluar dari taksi itu dan mengejar Andrew.

Andrew tak berani menoleh ke belakang. Dia berlari menjauhi orang yang mengejarnya. Kemudian, Andrew tersandung oleh sebuah batu-bata yang terletak begitu saja di trotoar dan membuat Andrew terjatuh.

"Kau baik-baik saja, Andrew?" Orang yang mengejarnya itu menangkap bahu Andrew.

Andrew yang tadinya ketakutan, kini merasa tidak asing dengan suara barusan. Dia memberanikan diri untuk menoleh ke belakang, lalu terkejut. "Bibi?"

"Andrew, kau ngapain main di luar sore-sore begini? Apa kau tidak takut dimarahi ayahmu?" Si bibi langsung membantu Andrew berdiri.

"Ah, aku keluar untuk urusan penting. Bibi tidak usah khawatir soal ayah."

Bibi mengangguk lalu menarik tangan Andrew. "Kita pulang sekarang sebelum ayahmu pulang dari tempat kerjanya. Bibi baru saja selesai berbelanja. Kebetulan, tadi bibi bertemu ponakan bibi."

"Oh, ya? Itu pasti sangat menyenangkan."

"Iya. Akhirnya, setelah beberapa bulan, bibi bertemu dengannya. Dia datang dari desa untuk sekolah di sini."

***

"Kenapa kau membiarkan anak itu keluar sembarangan?" tanya Willie pada Aidan saat itu. Rupanya, Willie pulang lebih awal hari ini.

"Apa ayah akan memarahinya?"

Aidan dengan santai melanjutkan. "Aku punya hak atas adikku. Aku berpikir, dia harus keluar sesekali untuk bermain daripada ia harus mengerjakan semua pekerjaan rumah setiap waktu."

"Bukannya sudah ayah bilang, kalau anak haram itu adalah pembantu? Dia bukan adikmu!"

"Kenapa ayah terus memanggilnya anak haram, hah? Apa ayah tahu, sebenarnya Andrew tidak pantas mendapat semua ini! Aku tahu, Andrew lahir dari perbuatan ayah dan juga ibu kandungnya Andrew! Lalu, kenapa Andrew yang harus menanggung semua ini padahal dia sama sekali tidak bersalah!"

Kata-kata yang cukup banyak itu keluar dari mulut Aidan dengan cepat. Dia berani berteriak di hadapan ayahnya untuk membela sang adik.

"Oh, ya? Kau tak ingin ia menanggung semuanya? Kalau begitu, bagaimana jika kau juga ikut menanggungnya? Apa kau bisa? Jangan jadi pahlawan kesiangan, sayang!" ucap Willie tertawa. "Kau berani melawan ayah hanya demi membela anak sialan itu sekarang, ya!"

"Lalu, kau punya hak apa atasnya? Kau sama sekali tidak berhak, sayang." Willie tersenyum lalu menuju kamar mandi.

Aidan mengepalkan tangannya. Dia menatap tajam ke arah pintu kamar mandi.

Perlahan, anak itu mulai kehilangan kendali atas amarahnya. Dia kini mulai berani melawan ayahnya juga kehidupannya.

***

Andrew sampai di rumah bersama dengan bibi. Mereka berdua merapikan barang belanjaan dan mulai memasak makan malam untuk Willie dan Aidan.

Aidan yang tahu mereka sudah pulang langsung menemui mereka. "Kalian sudah pulang?"

"Sudah!" jawab Andrew semangat. "Ayah belum pulang, kan, Kak?"

"Ayah sudah pulang dari tadi. Dia sedang mandi." jawab Aidan.

"Eh?!" Andrew terperanjat. Mukanya berubah menjadi pucat.

Aidan menarik tangan Andrew kemudian. "Heh, kau tak perlu khawatir. Ayah tak akan memarahimu. Ngomong-ngomong, apa kau sudah bertemu ibumu?"

Andrew menggeleng dengan gugup. Pikirannya masih kacau karena ia pikir pasti ia akan mendapat hukuman dari ayahnya lagi.

"Tenanglah. Sudah kakak bilang, ayah tak akan menghukummu. Sekarang, jawab pertanyaan yang tadi!"

"B-belum. Rumahnya tadi tidak ada orang. Aku menunggu beberapa lama, tetapi mereka tak kunjung datang."

Aidan menghela nafas. "Baiklah. Kita bisa kesana besok lagi."

Andrew mengangguk setuju. Mukanya masih terlihat pucat, tangannya gemetaran. Hingga akhirnya, ia jatuh tak sadarkan diri di lantai.

BRAK!

"Andrew? Andrew, bangun!" Aidan seketika panik. Dia memanggil bibi untuk meminta bantuan setelahnya.

***

Malam harinya, Andrew terbangun. Dia berada di kamarnya dan ditemani oleh Aidan di sana.

Saat ia akan duduk, sesuatu jatuh dari keningnya. Ya, itu adalah kain basah untuk mengompres. Dia sedang demam?

"Kau sudah bangun?" Andrew disambut dengan pertanyaan Aidan saat ia terbangun.

"Kakak?"

"Syukurlah, kau tidak apa-apa." Aidan mengeluarkan senyuman di wajahnya.

"Aku kenapa, Kak?" tanya Andrew. Dia menyentuh keningnya.

"Tadi kau pingsan. Huh, untung saja kau hanya demam. Tubuhmu tadi panas sekali. Setelah dikompres oleh bibi, suhu tubuhmu mulai turun."

Andrew hanya mendengar tanpa memberi respon apa-apa. Dia menatap kakaknya dengan tatapan kosong.

"Oh, ya? Tadi, bibi juga buatkan bubur untukmu. Kau ingin makan? Kakak bisa membantu untuk menyuapimu."

Andrew menggeleng. "T-tidak usah, Kak! Andrew bisa sendiri. Terima kasih."

"Kalau begitu, sekarang makanlah!" ucap Aidan sambil mengulurkan semangkuk bubur untuk Andrew.

"Kakak akan membawakan teh hangat untukmu. Habiskan buburnya!"

Andrew mengangguk dan menyuap sesendok bubur ke dalam mulutnya. Dia menoleh ke arah kakaknya. "Kenapa Andrew bisa demam, ya? Padahal tadi Andrew belum main hujan!"

Aidan berdiri dan bersiap keluar dari kamar itu. "Entahlah ... mungkin ini karena tadi siang. Soal yang di kamar mandi tadi."

T. B. C.

Ada yang mau ucapin sesuatu ke Andrew, nih? Wkwkwkw:v

Anak Haram [TERBIT✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang