08

17K 1.8K 22
                                    

Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Willie masih sangat khawatir dengan Aidan yang belum pulang dari tadi.

Kekhawatiran itu sirna setelah Aidan kembali, lalu mengetuk pintu rumah. Segera Willie membukakan pintu untuk putranya itu dan menyambutnya dengan beberapa pertanyaan.

"Aidan! Kau dari mana saja? Katakan, di mana kau saat sekolah sudah pulang? Apa kau bermain di rumah seorang temanmu?"

Aidan tak menjawab. Dia melepas sepatunya dan meninggalkan Willie begitu saja.

"Hey, jawab ayah! Kau tidak boleh tidak mengacuhkan orang tua yang bertanya. Kau dari mana saja?" Willie menangkap bahu Aidan. Aidan segera menepisnya.

"Astaga, kamu benar-benar basah. Kenapa kau tidak menghubungi ayah jika kau butuh jemputan? Biar aku panggilkan bibi dulu." ucap Willie, kemudian berteriak memanggil bibi.

Sang Bibi segera datang dan menghampiri keduanya. Dia terkejut saat melihat Aidan sudah pulang.

Dia melihat Aidan yang basah kuyup lalu berucap, "sebentar, biar bibi ambilkan handuk, ya?"

"Sekalian buatkan susu hangat untuknya."

***

Setelah mengeringkan badannya, Aidan berbaring di tempat tidurnya. Dia melihat ke arah dinding yang di sana terdapat bingkai fotonya bersama sang ibu. Lalu, dia mendengar suara ketukan pintu dari luar kamar.

"Masuklah!"

Kemudian, bibi datang dan masuk ke kamar membawakan segelas susu hangat untuk Aidan. "Silahkan diminum susunya. Jangan biarkan susunya dingin."

Aidan mengangguk. Kemudian menatap dan menghentikan bibi yang akan keluar dari kamarnya. "Tunggu, Bi! Dimana Andrew? Apa dia sudah tidur?"

Bibi menoleh ke arah Aidan. "Ya. Dia sudah tidur, tetapi mungkin belum."

"Maksudnya?"

Bibi perlahan mendekat, dia berbisik pada Aidan. "Tadi tuan memarahinya. Ini hari ulang tahunnya Andrew, tapi tuan tak memberikan hadiah untuknya. Jadi, Andrew marah dan membuat kekacauan."

"Sungguh?" Aidan terkejut. Dia kemudian mengangguk, dan memperbolehkan bibi keluar dari kamar.

Bibi kemudian keluar dan tersenyum pada Aidan sebelumnya. "Sebaiknya, temui Andrew untuk menghiburnya."

Aidan diam saja. Dia menatap kosong semua yang ada di depannya. Dia kemudian memutuskan ke kamar Andrew.

***

Pintu terbuka. Aidan menatap Andrew yang memeluk bantalnya. "Hey, kau belum tidur?"

Andrew melihat sang kakak dengan mata sembab. "Kakak sudah pulang?"

Aidan mengangguk dan mendekat. Dia mengusap kepala adiknya. "Apa kau dimarahi ayah lagi?"

Andrew tak menjawab. Dia menenggelamkan wajahnya di bantal. Aidan menghela nafas.

"Kau ulang tahun hari ini, ya?" tanya Aidan lagi, tetapi Andrew tak menjawab.

"Baiklah ... perlu aku ucapkan selamat ulang tahun?" tanya Aidan tersenyum. Dia mengulurkan sesuatu pada Andrew. "Ngomong-ngomong, kau mau permen?"

Andrew menatap Aidan. Dia marah saat itu. "Ini semua karena kamu! Karena kamu, ayah tidak mempedulikan aku! Bahkan dia tak ingin mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Baginya, kamu adalah semuanya. Aku membencimu!" Andrew menangis saat itu. Walau kata-katanya terdengar bahwa ia membenci Aidan, tetapi Aidan segera memeluknya.

"Sssstt. Jangan menangis. Kakak minta maaf kepadamu jika semua ini terjadi karena kakak. Kau tahu, kakak juga tidak menginginkan semua ini terjadi padamu. Kakak minta maaf, ya?"

Andrew tak lagi menjawab. Ia terus menangis di pelukan kakaknya. Lalu, akhirnya Aidan mengucapkan selamat ulang tahun untuk Andrew sebelum jam 12 malam tiba.

***

Keesokkan harinya, Andrew terbangun. Dia mendapati sesuatu di sampingnya saat ia bangun.

Oh, tidak! Apa ini buku dan pensil gambarnya Aidan? Kenapa ada di samping tempat tidurnya?

Andrew melihat selembar kertas yang di atasnya terangkai beberapa huruf. Dia pelan-pelan mengeja lalu membaca kata-kata itu.

Selamat Ulang Tahun, Andrew! Kakak punya hadiah kecil untukmu. Kakak harap kamu menyukainya!

Senyuman terukir di wajah Andrew. Dia memeluk buku gambarnya dan keluar menuju kamar kakaknya, Aidan. Namun, sepertinya Aidan sudah berangkat ke sekolah. Di rumah juga tidak ada bibi dan ayahnya.

"Apa bibi keluar untuk membeli sesuatu? Ngomong-ngomong, aku lapar."

Andrew menatap sisa potong roti lapis di atas meja, lalu segera meraih dan memakannya. Selesai sarapan, ia merapikan meja makan dan mencuci piring-piring itu.

Selesai beres-beres di dapur, Andrew menatap pecahan piring dan gelas yang berada di tempat sampah. "Aku telah membuat kesalahan besar kemarin. Ayah memang harus memarahiku."

"Hah ... sudah dua tahun lamanya. Aku merindukanmu, Ibu."

***

Kini sudah jam dua belas siang. Andrew masih sendirian di rumah. Dia sudah menyelesaikan semuanya, dan mencoba menghilangkan rasa sepi dengan menonton televisi.

Saat Aidan pulang, Andrew langsung menyambutnya dengan sebuah senyuman.

"Kak, terima kasih untuk hadiahnya! Aku sangat menyukainya."

"Kakak senang kamu menyukainya." Aidan menatap televisi yang menyala. "Apa ayah di rumah?"

Andrew menggeleng.

"Oh, baiklah. Omong-omong, apakah kau sudah menggambar sesuatu di buku gambarnya?"

Andrew menggeleng dengan semangat. "Aku menunggu kakak pulang, jadi aku belum menggambar apa-apa."

"Kak, aku minta maaf untuk yang kemarin." Andrew kemudian memasang raut sedih.

"Ah, tidak perlu memikirkan tentang itu lagi. Sekarang, apa kau bisa menutup matamu?"

"Eh? Apa maksudnya?"

Aidan tertawa. "Apa kau suka kejutan? Kalau begitu, tutup matamu!"

Andrew tersenyum dan menutup matanya. Aidan mulai menghitung, dan saat hitungan ketiga, Andrew bisa membuka matanya.

Sudah hitungan ketiga. Andrew terkejut saat melihat bibi datang membawakan kue untuknya ketika membuka mata.

"Kak ..."

Aidan tersenyum. "Ini untuk ulang tahunmu yang kemarin. Mungkin sudah terlambat, tetapi itu tidak akan mengubah beberapa."

Andrew terharu, dan menatap kue itu. "Terima kasih, Kak. Terima kasih, Bibi!"

"Tidak perlu mengucapkan terima kasih. Sekarang, cepat tiup lilinnya. Jangan lupa berdoa sebelum meniup lilinnya, ya?"

Andrew mengangguk senang. Dia menatap kue di tangan Bibi, lalu meniup lilin di atasnya. Sesaat setelah itu, Andrew seperti merasakan semua rasa sedihnya hilang. Senyuman selalu menghiasi wajahnya.

"Kakak tahu, bagiku kakak adalah malaikat."

To be continued

Anak Haram [TERBIT✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang