09

16.1K 1.5K 12
                                    

Seorang anak berlari menuju dapur setelah pulang bermain. Dia segera menemui ibunya dan bertanya, "Ibu sedang masak apa?"

"Andrew? Kau sudah pulang? Ini ... ibu sedang memasak makanan kesukaanmu. Sesuai janji ibu kemarin, ini kan hari ulang tahunmu." Si ibu mencicip sedikit makanan itu untuk mengecek rasanya.

Ya. Sosok ibu bernama Adena itu melihat ke arah anaknya, Andrew, lalu melanjutkan pekerjaannya.

Andrew mengangguk. "Sepertinya ini enak. Ah, omong-omong, apa boleh Andrew menanyakan sesuatu?"

"Tanyakan saja, Sayang."

"Apa itu anak haram?" Andrew menatap ibunya dengan serius. Dan kini sang ibu menatap Andrew dengan kebingungan.

"Kenapa kau bertanya tentang itu? Kau tahu kata anak haram darimana?"

Andrew menunduk. "Saat aku bermain dengan yang lain di taman, ada seorang ibu yang menyuruh anaknya pulang. Dia juga bilang, kalau mereka tidak boleh bermain dengan anak haram sepertiku. Aku bingung kenapa dia menyebutku anak haram. Lalu, beberapa anak-anak nakal mengejekku karena tidak memiliki ayah."

Adena terdiam saat mendengar penjelasan dari anaknya. Dia menetaskan air mata lalu segera Andrew menyekanya dengan lembut.

"Ibu tahu, mereka bilang ... aku itu anak haram karena tidak memiliki ayah. Apa setiap anak yang tidak punya ayah adalah anak haram?" lanjutnya.

"Itu tidak benar," Adena tersenyum. "Tidak ada anak haram. Mereka hanya membual saja."

Andrew menggeleng. "Mereka serius, Ibu. Setiap saat aku dipanggil anak haram, tetapi aku tidak tahu kenapa mereka memanggilku dengan kata itu. Apa itu anak haram? Apakah anak haram adalah anak yang tidak memiliki ayah?"

"Setahuku, ada temanku yang tidak memiliki ayah karena ayahnya meninggal beberapa waktu lalu. Namun, dia tidak dipanggil anak haram oleh yang lain. Ada apa denganku, Ibu?" lanjut Andrew penuh pertanyaan yang membuat Adena tak sanggup menatap wajah anaknya.

Adena kemudian mengingat satu per satu kejadian delapan tahun yang lalu. Kejadian dari ia dan Willie berhubungan badan, sampai Andrew lahir ke dunia. Dia benar-benar tak bisa berpikir jernih saat ini.

***

"Kakak tahu, bagiku kakak adalah malaikat." ucap Andrew.

"Kakak selalu ada saat Andrew menangis. Kakak seperti punya sayap yang dapat menghangatkan diriku setiap saat." lanjut Andrew.

Aidan tertawa. "Oh, ya? Tetapi bagiku, kaulah malaikatnya."

"Kalau begitu, siapa malaikat di antara kalian?" tanya Bibi.

"Kami berdua adalah malaikatnya kalau begitu." Andrew menjawab dan dia terlihat sedang sibuk menghabiskan kue di atas meja. "Ini enak sekali."

"Hey! Sisakan sedikit untuk kakak!" Aidan langsung mengambil pisau dan memotong kue itu.

Ketiganya menikmati kue dengan bahagia. Andrew merasa sangat beruntung hari ini. Dia baru pertama kali menikmati kue selezat ini tanpa harus memakan makanan sisa. Tatapan Andrew terkadang mengarah ke Aidan, seakan ia ingin mengucapkan rasa terima kasih yang begitu besar padanya.

"Besok ... ayah tidak ada di rumah. Bagaimana kalau kita pergi bersama ke taman hiburan. Aku yang akan membayar keperluannya."

Andrew mengangguk dengan girang. "Tentu saja! Andrew mau ke sana! Ini pasti sangat seru ..."

"Kalau bibi tak bisa ikut ke sana. Bibi punya banyak pekerjaan dan itu lebih penting daripada harus mengunjungi taman hiburan. Sebenarnya, bibi mau sih ... tapi,"

"Tidak apa-apa! Bibi tidak perlu ikut kalau masih ada pekerjaan rumah. Aku dan Andrew akan ke sana berdua."

***

"Aku punya ayah, kan, Bu? Bukannya Johan dan aku bersaudara? Lalu, kenapa ayah dan Johan tidak tinggal bersama kita."

Adena meletakkan pisau di atas talenan lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak! Kau salah!"

"Apa maksudnya, Ibu? Kenapa Andrew salah? Bukannya ..."

"Ayahnya Johan, bukanlah ayahmu! Kau memiliki seorang ayah di luar sana ... tetapi ibu tidak yakin dia menginginkan kehadiranmu."

Andrew bersorak girang. "Jadi, Andrew punya seorang ayah? Ayahnya Johan bukan ayahku, kan? Lalu, siapa ayahku? Andrew ingin bertemu dengannya!"

"Bolehkah ... ibu membawaku ke sana? Aku ingin bertemu ayah sebagai hadiah ulang tahunku." lanjut Andrew.

Adena tiba-tiba kepikiran sesuatu. Pikirannya memunculkan sebuah ide yang menurutnya baik. Setelah terdiam beberapa saat, Adena menatap anaknya dan tersenyum.

"Kalau begitu, mandilah! Siapkan dirimu. Ibu akan menelpon ayahmu."

"Sungguh? Jadi, Andrew akan bertemu dengan ayah? Ini akan menyenangkan!"

***

Keesokkan harinya, Aidan mengajak Andrew menuju taman hiburan. Andrew benar-benar bahagia dan senang melihat keramaian di mana-mana. Ada banyak wahana bermain, dan beberapa penjual mainan juga.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Aidan. Dia memegang tangan Andrew dengan erat agar tidak berpisah dengannya.

"Ini luar biasa! Andrew benar-benar senang! Sungguh ... terima kasih sudah membawaku kemari, Kak!" Andrew terlihat benar-benar menikmati semua itu bersamaan dengan gula kapas yang ada di tangannya.

"Oh, ya? Ngomong-ngomong, bagaimana kalau kita naik Rollercoaster setelah memainkan satu game?"

"Ide yang bagus! Andrew akan ikuti apa saja rencana kakak."

Di tengah keramaian, pandangan Andrew tertuju pada seorang wanita yang sedang menggandeng tangan anak laki-laki. Andrew benar-benar tidak asing dengan wanita itu dan perlahan mendekatinya.

"Andrew! Kau mau kemana? Ini minumanmu!" Aidan tiba-tiba datang dan menyodorkan segelas pop-ice pada Andrew.

"Ah ... terima kasih, Kak!"

"Kau jangan jauh-jauh dari samping kakak, nanti kau tersesat." Aidan memperingati. Andrew hanya menganggukkan kepala, lalu kembali memperhatikan wanita sebelumnya yang mulai menjauh dari mereka.

Saat wanita itu melihat ke belakang, Andrew pun langsung mengenalinya.

"I-ibu?"

To be continued

Anak Haram [TERBIT✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang