12

13.9K 1.4K 74
                                    

Andrew menuju kamar ayahnya sambil membawakan segelas teh hangat. Dia masuk lalu melihat ayahnya yang tengah duduk menatap berkas-berkas di depannya.

"Ini tehnya ..." ucap Andrew sedikit gugup. Dia sebenarnya benar-benar ingin mengatakan tentang kejadian kemarin pada ayahnya, tetapi dia tidak berani.

Willie tak menjawab. Dia tetap sibuk dengan urusannya. Sedangkan, Andrew masih berada di kamar itu dan berdiri mematung di sana.

"Kenapa kau masih di situ?" tanya Willie mengejutkan Andrew yang sedang tercenung.

Andrew memandang wajah ayahnya. Dia tersenyum. "Ah, tidak apa-apa."

"Aku benci melihatmu. Silahkan keluar jika urusanmu sudah selesai." Willie memasang muka kesal pada Andrew.

Anak itu hanya mengangguk. Dia melangkah ke arah pintu, tapi kemudian berhenti. Dia menoleh ke arah ayahnya. "Ayah, kemarin aku dan kakak ke taman hiburan."

Willie kemudian menatap Andrew. "Siapa yang menyuruhmu untuk keluar bermain?"

"A-aku, aku diajak kak Aidan. Jadi, aku ikut bersamanya ke taman hiburan." jawab Andrew. Dia mulai ketakutan. Sepertinya, ucapannya tadi akan membawakan masalah lagi untuknya.

"Kau lebih memilih menurut pada kakakmu, atau padaku?" tanya Willie. Raut mukanya membuat anak itu semakin ketakutan.

Andrew menundukkan kepalanya. "Aku tidak bisa menolak ajakan kakak, jadi ..."

"Apa kau lupa konsekuensi jika berani melawanku?"

Andrew sekarang tak berani menjawab perkataan ayahnya. Sekarang, dia dalam bahaya. Andrew berharap kakaknya ada di sana untuk membelanya.

"Aku bisa saja membunuhmu, jadi jangan berpikir bahwa kau bisa bebas untuk keluar. Kau harus tetap berada di dalam rumah ini, dan mengerjakan semua pekerjaanmu."

"B-baiklah, Ayah."

Prang!

Willie melempar gelas teh itu ke arah Andrew. Untung saja itu meleset, jadi gelasnya mengenai dinding dan pecah.

"Keluar dari sini atau aku akan membunuhmu!"

Andrew dengan gemetar keluar dari kamar itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, saat akan menuju lantai bawah, Willie menarik tangannya.

"Ah, ayah! Sakit ..." rintih Andrew.

"Kau tidak akan mendapat makananmu untuk siang dan malam nanti. Jika kau berani mengambil makanan, maka aku tidak akan segan-segan menginjak wajahmu. Kau mengerti?"

Andrew mengangguk dengan penuh rasa takut. Dirinya benar-benar tak bisa menahan air mata yang dibendung di matanya.

"Bersihkan pecahan kaca tadi! Aku ingin keluar sebentar."

***

Andrew segera berlari mengambil sapu dan sekop sampah. Dia memungut pecahan gelas itu, dan membersihkannya. Tentu saja, jarinya terluka karena tidak berhati-hati. Namun, luka kecil ini tidak mengganggu Andrew sama sekali. Dia hanya tak bisa menahan luka di hatinya. Kenapa ayah dan ibunya sangat membencinya?

Apakah dia sudah melakukan kesalahan? Bukankah dia adalah anak yang rajin dan penurut? Dia bukan anak nakal, tetapi kenapa ayah dan ibu membencinya?

***

Malam harinya, Andrew tidak makan seperti yang dikatakan ayahnya. Dia tidak berani keluar dari kamar untuk meminta makanan, ataupun mengumpulkan makanan sisa.

"Seharusnya, aku tak mengatakan tentang itu pada ayah tadi pagi." Andrew sendiri sekarang sedang menyesali kejadian tadi pagi. Sekarang, dia harus menahan rasa laparnya.

Dia berpikir untuk memakan coklat yang ia simpan sebelumnya, tetapi dia berpikir dua kali sebelum membuka bungkusannya. Dia tidak bisa memakannya demi ibunya. Tidak bisa!

Lalu, Aidan yang selesai belajar merasa ada yang aneh dengan pecahan kaca yang ia lihat di tempat sampah. Dia mengira Andrew mungkin sudah memecahkan sesuatu, dan ayah menghukumnya.

"Apa mungkin Andrew sudah makan? Dari tadi dia belum kelihatan." Aidan menatap makanan sisa di atas meja.

Aidan pergi ke kamar bibi dan melihat bibi yang sedang memijit lengannya sendiri. Aidan merasa tidak enak untuk mengganggu bibi. Jadi dia berniat memasak makanan untuk Andrew sendirian saja.

Sebelumnya, dia memastikan bahwa ayahnya sudah tertidur. Jadi, itu tidak akan mengganggunya saat memasak.

***

"Kau sudah makan, Adik?" tanya Aidan mengetuk pintu kamar. Dia membawakan se-cup mie instan.

"Sudah, Kak!" jawab Andrew cepat, tetapi pintu masih belum dibuka.

Aidan kembali mengetuk pintu. "Buka pintunya! Kakak ingin masuk."

"Tidak usah masuk ke sini. Kakak tidur saja sana! Nanti kita terkena masalah." Lagi-lagi Andrew menjawab. Namun, pintu tetap tertutup.

Aidan kemudian tersenyum dan mengangguk. "Kakak bawakan mie instan untukmu. Silahkan makan selagi panas. Kalau begitu, kakak akan ke kamar untuk tidur. Selamat malam."

Andrew yang dari tadi berada dalam kamar kemudian merangkak menuju pintu. Dia menempelkan telinganya di pintu untuk memastikan tidak ada orang di luar. Benar saja, tidak ada suara apapun di luar. Lalu, dia membuka pintu perlahan dan menemukan se-cup mie instan di lantai depan pintu kamarnya.

"Apakah ini untukku?" Dia memperhatikan sekeliling dan tersenyum senang. Tidak ada orang sama sekali.

Dia kemudian membawa mie itu ke dalam kamar dan kembali menutup pintu. Dia mulai menikmati mie itu dan menghilangkan rasa laparnya.

Namun, tiba-tiba ... Andrew meneteskan air mata saat akan menghabiskan mie itu.

"Aku lupa berterima kasih kepada kakak." ucapnya menghapus air matanya lalu keluar dari kamarnya.

***

"Apa kau tahu apa itu anak haram? Hah? Anak haram itu adalah kamu! Dan kamu adalah anak haramnya!"

"K-kakak?"

***

"Terima kasih sudah membawakan makanan untuk Andrew. Andrew banyak berhutang kepada kakak." ucap Andrew melihat kakaknya yang sudah tertidur lelap.

"Kakak tahu ... kalau satu-satunya malaikat di dunia ini bagiku hanyalah kakak."

"Sekali lagi, terima kasih."














Tiiit ...

T. B. C.

Anak Haram [TERBIT✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang