26

17.9K 1.3K 40
                                    

Ini adalah hari pemakaman Aidan. Semua tentangnya, bahkan senyumannya kini tinggal kenangan. Entah kenapa saat itu langit seakan ingin menurunkan hujannya.

Andrew berada di sana, tetapi dia memilih untuk melihat acara pemakaman itu dari kejauhan. Dia tidak ingin keberadaannya di sana akan membuat emosi sang ayah.

Hatinya benar-benar bersedih sekarang. Aidan yang merupakan satu-satunya kekuatannya, kini pergi selamanya. Namun, sesedih apapun Andrew, dia akan tetap mencoba untuk menjadi lebih kuat.

Aidan benar, Andrew tidak mungkin selamanya bersama sang kakak. Dan perkataan lain Aidan juga benar, bahwa Andrew tidak pernah tahu cara berterima kasih.

Aidan selama ini sudah menjaganya, tetapi Andrew tidak pernah berterima kasih kepada kakaknya itu. Apa yang harus ia lakukan? Bukankah sekarang terlambat untuk mengungkapkan rasa terima kasih? Bukankah dirinya sendiri yang telah membuat sang kakak kehilangan nyawa?

Andrew benar-benar terpikirkan dengan kata-kata kakaknya sebelumnya. Ia pun memandangi makam itu dari kejauhan, dan terlihat Olivia juga Willie di sana.

"Haruskah aku mengungkapkan rasa terima kasih-ku lewat ibunya Kak Aidan? Tetapi ... sekarang aku tidak bisa menemuinya. Dia pasti sangat sedih kehilangan anaknya. Mungkin saja jika aku kesana sekarang, maka aku akan mendapat masalah." Andrew bergumam dalam kesendiriannya.

Andrew benar-benar bingung harus melangkah ke mana setelah ini. Haruskah ia tetap memaksa untuk tinggal di sini, atau pergi ke tempat lain untuk memulai hidup baru?

***

Olivia terus menangisi makam anaknya. Semua orang sudah pergi, tetapi Olivia dan Willie tetap tinggal di sana. Wanita itu benar-benar tidak rela melepaskan anaknya terlalu cepat. Padahal, belum beberapa jam setelah pertemuannya dengan sang putra, Aidan malah memilih untuk pergi.

Olivia terus menangis. Sedangkan Willie yang berada di sisinya, hanya bisa menghibur dengan kata-kata. Keduanya benar-benar hancur saat itu.

"Cari anak itu dan bawa dia kemari!" Olivia menatap Willie.

Willie tidak mengerti. "Apa maksudmu?"

"Cepat cari anak itu dan bawa dia kemari padaku!" pinta Olivia, tetapi dengan suara yang tegas.

Willie menggeleng. Dia menatap makam Aidan. "Aku tidak ingin melihat wajah anak itu!"

"Cari anak itu agar dia membalas semua ini!" Olivia sekarang benar-benar menatap wajah Willie dengan muka serius.

***

"Sekarang aku harus kemana, ya? Aku benar-benar tidak tahu mau memulai darimana setelah ini." ucap Andrew menendang kaleng bekas yang ada di pinggir jalan.

Dia tak sengaja bertabrakan dengan seseorang yang sedang berlari. Andrew pun akhirnya terjatuh dan lututnya agak sedikit tergores.

"Kamu baik-baik saja?" Orang itu mengulurkan tangannya pada Andrew. Andrew menatap ke atas sebelum meraih tangan itu.

"Kak Johan?" Andrew terkejut.

Reaksi Johan juga sama. Dia terkejut saat tahu, bahwa anak yang bertabrakan dengannya adalah Andrew, orang yang paling ia benci.

"Kamu ...."

"Kakak," Andrew tersenyum dan berdiri tanpa dibantu oleh kakaknya. Dia berucap, "kakak kenapa ada di sini?"

"Kamu tidak perlu memanggilku kakak." Johan memasang muka acuh tak acuh.

"Ah, baiklah." Andrew mengangguk lalu memungut kembali tasnya. "Kalau begitu, aku pergi dulu, ya!"

Johan menoleh ke belakang. Dia menatap Andrew yang berlari menjauhinya. Dia menarik napas dalam-dalam.

"Dia memanggilku kakak."

"Orang yang kedua ..."

" ... setelah Aidan."

***

"Hei, Kak. Apa kemarin sore kakak ada di rumahmu?" tanya Aidan pada Johan.

Johan menggeleng. "Ah, kemarin aku ada di les. Kenapa emangnya?"

Aidan menggeleng. "Tidak. Bukan apa-apa. Aku dan adikku kemarin pergi ke alamatnya kakak. Katanya, kakak pandai main piano. Jadi, kami ingin ke sana untuk belajar. Eh, tahunya kakak tidak ada di rumah. Bahkan, tak ada orang di rumah itu sama sekali." ucap Aidan panjang lebar.

"Kemarin papa-ku belum pulang kerja. Mama juga kemarin menjemputku ke les. Kenapa kalian tidak ikut les saja?" tanya Johan kemudian.

"Ah ... aku dan adikku suka yang gratisan, hehe. Kami berpikir belajar dengan kakak pasti tidak perlu membayar uang sepeser pun." gurau Aidan.

Dia hanya berbohong soal ingin belajar piano. Dia sebenarnya hanya ingin tahu kenapa kemarin Andrew tidak bertemu siapa-siapa di alamat yang Johan berikan.

"Kalau begitu, aku tidak ada les hari Sabtu dan Minggu. Kalian bisa kesana untuk belajar. Kalau soal bayaran, aku akan mengajari kalian gratis."

Aidan mengangguk senang, lalu membungkukkan badannya bersamaan dengan berbunyinya bel masuk. "Terima kasih, Kak. Terima kasih banyak."

"Aku ke kelas dulu, ya!" Aidan berlari menuju kelas.

Johan menghentikannya dan melambaikan tangannya. "Hei, nama kamu siapa?"

"Aidan Graham. Panggil saja, Aidan."

***

Willie dan Olivia kini berdua di ruang makan, menyantap makanan malam mereka dengan duka yang masih belum terhapuskan.

"Kata Aidan, dia suka makan apa?" tanya Olivia memecahkan keheningan.

Willie tidak menjawab pertanyaan konyol Olivia itu.

"Aku akan memasak makanan kesukaannya besok. Siapa tahu, dia ...."

"Berhenti membahas tentang Aidan, Olivia!" Willie marah. Dia membanting garpunya ke lantai.

Olivia menatap Willie. "Kalau begitu, cari anak itu. Aku tidak tahu kau menyebut dia anak haram atau anak sialan. Aku tidak peduli. Sekarang tolong cari anak itu, dan aku ingin dia ...,"

Willie tiba-tiba berdiri dan membuat Olivia terkejut. Dia memasukkan dompetnya dalam saku celana, dan mengambil handphonenya.

"Aku akan melapor pada polisi. Pelaku yang melukai dan menghilangkan nyawa anakku akan membayar semuanya."

Willie pergi dan meninggalkan Olivia dalam keheningan. Olivia menatap telepon genggamnya dan meraihnya. Dia perlahan membuka galeri, di mana terdapat banyak foto-foto sang putra waktu masih bayi dan kecil.

Senyuman dalam foto itu, membuat Olivia kembali menangis. Tidak ada yang menghiburnya dalam kesepian itu.



















T. B. C.

Anak Haram [TERBIT✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang