04

23K 2.1K 26
                                    

Andrew mengikuti sang bibi keluar. Dia menarik kaki baju bibi dan tersenyum memelas. "Bi, aku ingin ke sekolah sekali saja."

Bibi menggeleng dan menepuk-nepuk kepala Andrew. "Kau tidak boleh ikut ke sekolah. Nanti jika ayahmu tahu ... dia pasti akan menghukummu! Bibi tidak bertanggung jawab untuk itu. Jadi, tetaplah di sini anak manis!" ucap bibi mencubit hidung Andrew.

Andrew hanya mengangguk tanda mengiyakan. Ia melambaikan tangan ke arah bibi setelah bibi keluar dari pagar rumah.

***

"Aku sudah berusaha menggugurkan janin ini." Adena menunduk lesu. Di sampingnya, ada Linda yang dia jadikan sandaran.

"Apa saja yang kau lakukan?"

Adena melihat ke arah Linda. "Aku sudah meminum obat untuk menggugurkan kandungan ini. Bahkan, aku selalu memberinya tekanan agar dia segera berakhir!"

Linda meraih bahu dan menggoyangkan tubuh Adena. "Kau salah! Yang kau lakukan ini adalah salah!"

Adena menangis dan berucap, "aku memang sudah melakukan dosa!"

"Lalu? Apa kau akan terus melakukannya? Apakah ... kau akan tetap berniat menggugurkannya?"

Adena hanyut dalam diam. Dia tak menjawab.

Selang beberapa menit keduanya mematung, Linda kemudian mengusap punggung tangan sahabatnya. "Hei! Lihatlah! Anakmu ingin hidup. Kau sudah berusaha menggugurkannya, tapi dia masih tetap berada dalam perutmu. Dia ingin hidup! Bagaimana kalau kau merawatnya saja. Kau pasti akan tersenyum bahagia saat dia lahir lalu dia mengucapkan 'mama' padamu!
Ah, bayi kecil adalah hal paling cantik di dunia."

"Bayangkan saja, Adena! Jika keluargamu dan putra pertamamu tidak lagi menerimamu, maka calon bayi yang ada di perutmu adalah keluargamu satu-satunya. Kau harus merawatnya. Ya?" lanjutnya.

Adena mengangguk lalu menggenggam erat tangan Linda. "Terimakasih sudah ada untukku sejauh ini."

Linda memeluknya lalu berbisik, "ya, sama-sama! kita akan selalu bersama."

'untuk sesaat'

***

Andrew menatap keluar jendela. Dia melihat mobil jemputan Aidan berangkat menuju sekolah. Hari sudah siang, dan sekolah pasti sudah berakhir. Andrew menuju dapur, menyiapkan makan siangnya Aidan bersama bibi.

"Bagaimana, Bi? Apa Kak Aidan kena masalah tadi? Bibi mengantar bukunya tepat waktu, kan?"

Bibi mengangguk. "Ya! Kalau saja kau tidak memberitahu bibi, mungkin Aidan sudah terkena masalah di sekolahnya."

"Syukur deh ...."

---

15-20 menit berlalu, kini mobil jemputan Aidan sampai di rumah. Andrew segera menyambutnya. "Kakak!"

"Hari yang melelahkan!" Aidan masuk dan menatap Andrew, "aku ingin minum."

"Aku akan membawakan air minum. Tunggu ya, Kak!" Andrew menuju meja makan, lalu mengambilkan segelas air untuk kakaknya.

"Bagaimana hari kakak di sekolah? Apa semuanya berjalan lancar?" Andrew mengulurkan gelas pada Aidan.

Aidan meminum airnya lalu menatap Andrew. "Seperti biasa. Melelahkan dan tidak ada yang spesial!"

"Baiklah. Apa kakak tidak terkena masalah soal buku gambarnya? Aku menemukannya saat membereskan buku kakak tadi. Lalu, aku ingat ada kelas gambar hari ini."

"Untuk kelas gambar ... baik-baik saja. Namun, tidak dengan kelas yang lain." Aidan menuju kamarnya. Mukanya pucat. Dia sepertinya benar-benar kelelahan.

"Setelah ganti baju, kita makan siang ya, Kak!" teriak Andrew. Aidan hanya mengiyakan.

***

"Apa kau tidak ingat kejadian 3 bulan lalu, Dena?"

Wanita yang sedang meminum bir itu menatap sosok Willie di hadapannya. "Aku ingat. Kau dan kejadian konyol itu."

"Rupanya otakmu masih bekerja dengan baik. Oh, ya! Kau kan sedang hamil! Kenapa kau minum bir dengan santainya?"

Adena, ya, wanita yang sedang bersama Willie itu menyeringai. "Aku tidak peduli. Dia bukan anakku."

"Heh! Jangan begitu ... dia calon bayi kita." Willie melangkah mendekati Adena dan mengelus perutnya.

Adena mengangkat dagu Willie menggunakan jari telunjuknya. "Kau beruntung! Aku menanggung semua ini sendirian. Jika sampai istrimu tahu, aku mengandung anak darimu ... kau pasti terkena masalah."

Willie menatap mata Adena dengan sebuah senyuman yang menyebalkan. "Tidak! Aku yakin, kau berbohong pada suamimu karena kau takut. Kau mengatakan bahwa ini calon bayi hasil persetubuhanmu dengannya, padahal ini adalah anak kita!" Willie menekan perut itu dengan telunjuknya.

"Kau takut. Karena itulah kau berbohong padanya. Kau takut karena keluargamu akan hancur jika identitas calon bayi ini terbongkar."

Adena menjatuhkan gelas bir-nya, lalu menyilangkan tangannya di depan dada.
"Ya. Bukan hanya aku, tapi kau dan keluargamu juga akan hancur jika saja identitas calon bayi ini terbongkar."

Willie tertawa kecil, "aku sih tidak masalah. istriku tidak akan percaya kalau aku yang menghamilimu."

"Dan mungkin saja suamimu percaya. Bukankah 3 bulan yang lalu, suamimu keluar kota? Itu bisa memperkuat bukti bahwa janin ini bukan anaknya." lanjutnya.

"Lalu apa maumu?" Adena menatap Willie dengan tatapan tajam.

"Aku akan membongkar identitas janin ini."

***

"Kakak kelihatan lelah sekali, ya? Memangnya, aktivitas kakak di sekolah apa saja?" Andrew menambah nasi di piring Aidan. Aidan hanya mengaduk-aduk makanannya dari tadi dan tak kunjung memakannya.

"Tidak ada. Hanya belajar, dan di-bully. Itu saja."

Andrew mengerutkan keningnya, "Bully? Maksudnya?"

Aidan seketika tersenyum. Dia meraih garpu di samping piringnya dan menatap Andrew, "Lupakan saja itu! Sekarang kita makan, yuk!"

Andrew terkekeh geli, "Kak! Aku sudah selesai makan selagi kakak bengong."

"Kalau begitu, kau masih lapar? Kau bisa menambah makananmu. Aku tidak bisa menghabiskan ini semua." Aidan tersenyum.

"Sungguh? Terima kasih, Kak!"

"Sama-sama. Ngomong-ngomong, bibi di mana?" Aidan berdiri setelah menghabiskan 2 sendok makan nasi.

Mulut Andrew yang penuh dengan makanan itu masih bisa berucap dengan jelas. "Bibi keluar. Katanya ingin membeli sesuatu. Memangnya ada apa, Kak?"

"Tidak! Jika dia pulang, katakan padanya untuk ke kamarku. Ya?"

---

Selesai makan siang, Aidan pergi ke kamarnya untuk tidur siang. Sedangkan Andrew keluar untuk mencuci mobil ayahnya. Dia menatap pantulan wajahnya di kaca jendela mobil.

"Aku juga ingin bersekolah seperti kakak."

Andrew mengelap air yang memburamkan kaca jendela mobil itu, "kakak benar-benar beruntung, ya."

T. B. C.

Anak Haram [TERBIT✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang