30. Pamit (I)

24 4 1
                                    

Sang surya tengah menyilau terik. Terlihat dua insan yang tengah berdoa, bermunajat kepada sang pencipta untuk seseorang yang telah berpulang ke alam keabadian. Gadis dengan balutan dress hitam itu tersenyum simpul. Senyum penuh luka.

"Bang, tenang di Surganya Allah yah... Tunggu Mecha, di sana." ucapnya lirih sembari mengusap batu nisan milik Candra. Sudah satu jam lebih, dirinya memandang batu nisan yang bertuliskan 'Candra Yuda Pratama'.

"Udah yah, yuk balik" ajak Rey dengan lembut dan dibalas anggukan oleh Meysha.

Hingar bingar riuhnya jalanan memecah keheningan. Lalu lalang kendaraan dengan bising yang tak asing menemani Rey dan Meysha yang tengah duduk di bangku perempatan jalan malioboro, menikmati suasana kota di hari weekend.

"Dua minggu lagi Gua berangkat ke Inggris. Mungkin dalam waktu yang lama. Jangan kangen yah...!" ucap Rey dengan berat hati. Berat harus meninggalkan kota ini, kota yang penuh kenangan bersama perempuan yang sering Ia sebut sebagai kaleng kerupuk.

Deg... Apa lagi ini? Rasanya masih hampa ditinggal oleh Candra, sekarang haruskah Rey yang pergi?

"Yaudah pergi aja." alih-alih peduli, Meysha malah berpura-pura untuk cuek. Seakan tidak peduli dengan ucapan Rey. Nyatanya, ucapan dan hatinya berbanding terbalik. Sejujurnya Ia merasa berat hati, selama Meysha terpuruk karna kepergian Candra, Rey sangat berperan penting dalam hidup Meysha. Rey yang membantu Meysha untuk bangkit, namun sekarang? Rey harus meninggalkan Meysha demi mengejar cita-citanya.

"Lo nggak sedih gitu? Atau apa kek?"

"Nggak, ngapain sedih? Lo kan emang dari dulu jahat sama Gua." cicitnya diakhir kalimat.

Rey Menghembuskan nafas dengan berat. Apakah Meysha terluka dengan perilakunya selama ini? Bukan maksud untuk melukai hati gadis cantiknya, tapi Rey punya alasan mengapa dirinya pernah sedingin itu kepada Meysha.

"Jangan gitu dong!! Kan kita temen. Suatu saat Lo bakalan tau semuanya. Sekarang bukan waktunya yaah!!" ucapnya lembut dan tersenyum manis, sangat manis.

"Nungguin kiamat?" tanya Meysha ketus. Ia tidak suka dibuat penasaran seperti ini.

Bukannya menjawab, Rey hanya tertawa sambil mengacak rambut Meysha dengan gemas.

"Minggu depan Gua berangkat ke Jakarta, kemungkinan Gua berangkat dari sana. Lo harus jaga diri baik-baik yah!! Jaga kesehatan, kalau Lo sakit ntar Gua jauh jenguknya."

Mata Meysha sudah berkaca-kaca sedari tadi. Air yang menggenang di pelupuk matanya seakan ingin tumpah sekarang juga. "Boleh peluk nggak?"

"Boleh dong, sini...." dan sedetik kemudian Meysha memeluk erat tubuh Rey. Kenapa disaat Rey sudah berubah, Ia harus berpisah? Sakit rasanya, tapi Meysha tidak boleh egois. Dirinya juga masih punya perjalanan yang panjang, biarlah waktu terbaik yang akan mempertemukan mereka kembali. 

"Jangan lupain Mecha kalau udah banyak teman di sana. Tetap jadi si pangeran kulkas, jangan genit-genit sama cewek lain." Meysha berbicara seakan-akan Rey adalah miliknya. Bahkan Ia mewanti-wanti kalau Rey tidak boleh dekat dengan wanita manapun kecuali dirinya.

"Iyaaa iyaaa, Lo juga harus lanjutin karir Lo. Buat bangga Bunda, Ayah dan........ Bang Candra. Buktiin ke mereka semua kalau Lo bisa. Lo bisa bahagiain mereka." tutur Rey sambil mengusap pucuk kepala Meysha dengan lembut.

Meysha melepas pelukannya dan menyeka air matanya dengan kasar. Mengambil tissu dari dalam tas mungilnya dan segera mengeluarkan ingusnya tanpa rasa malu sedikitpun. Rey yang melihat tingkah Meysha bukannya ilfiel, Ia justru tertawa geli. Terlihat lucu dimata Rey.

***


Jalan Pulang

Jam sudah menunjukkan waktu 21:00. Terlihat Meysha yang sudah kelelahan dan memilih untuk tidur di sepanjang jalan pulang. Untung saja kali ini Rey memilih untuk naik mobil, jadinya Meysha bisa tidur sebentar. Sebenarnya Rey sudah mengajak pulang Meysha sedari tadi, namun Meysha menolak dan lebih memilih untuk menonton dan berbelanja keperluannya di supermarket. Dan tidak lupa Rey selalu memberi kabar kepada Bunda Meysha, tanpa sepengetahuan Meysha.

"Halo Assalamualaikum Bundaaa."

"Waalaikummussalam Rey."


"Ini Rey sama Meysha udah di jalan pulang Bunda, tapi jalanan lagi macet banget, jadi kemungkinan agak lama baru nyampe rumah Bunda."

Tidak bisa dipungkiri diwaktu weekend seperti sekarang ini, jalanan sangat terlihat ramai dan menyebabkan kemacetan di beberapa titik.


"Yaudah kalian hati-hati yah, ohiya Rey.... Ayah nitip martabak nih, yang depan kompleks yah Rey!!"


"Siap Bundaaa, ntar Rey beliin Bunda."

"Makasih Rey, Bunda tutup telfonnya yah... Assalamualaikum."


"Waalaikummussalam Bunda."

Entah sudah berapa lama Rey sangat akrab dengan keluarga Meysha, bahkan Rey memanggil kedua orang tua Meysha dengan sebutan Ayah, Bunda. Ia sudah dianggap seperti anak sendiri, dipercaya untuk selalu menjaga Meysha.

Setelah sekian lama terjebak dalam kemacetan jalanan, akhirnya kendaraan yang mereka tumpangi melenggang dengan bebas. Sorot lampu malam di tengah kota menemani perjalanan Rey dan Meysha. Rey menatap lekat gadis si kaleng kerupuk yang tengah tertidur pulas di sampingnya. Sesekali Rey tertawa saat mengingat kejadian-kejadian dimana saat Rey masih bersikap cuek terhadap Meysha

"Kok Bisa sih Gua beneran sayang sama Lo." Rey bergumam sendiri dan kembali fokus pada jalanan.

Sesuai intruksi dari Bunda, Rey berhenti di depan kompleks tempat si abang-abang menjual martabak. Rey memesan dan menunggu sebentar. Jangan tanyakan Meysha, gadis itu masih tertidur dengan anteng di dalam mobil. Entahlah dia tidur atau pingsan.


❤❤❤

Jazakumullah Khairan😚


Yuk tinggalkan jejak setelah membaca!!!🤗

Di Penghujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang