28. Pergi untuk selamanya

125 12 1
                                    

Jalanan seakan terasa semakin jauh, mobil yang Ia tumpangi berjalan layaknya siput, waktu berdenting amat lambat, perasaan gundah menyelimuti hati yang cemas, air mata mengalir semakin deras layaknya hujan yang tengah melanda kota malam ini.

Fikirannya melayang entah kemana, firasatnya mulai digeluti dengan rasa takut. Mimik wajahnya menampilkan kecemasan yang mendalam, bibir mungil itu terus-terusan menggerutu memaki pengendara yang menghalangi jalannya menuju tempat tujuan.

Parkiran masih terlihat ramai, koridor masih menampung orang yang berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Hujan semakin deras mengguyur bumi. Lagi-lagi langit menumpahkan rahmat-Nya yang tiada bandingnya.

Terlihat dua orang berlari menembus rintikan hujan, seakan sudah tak peduli dengan keadaan sekitar. Langkahnya mulai melambat, pandangannya buram karna air yang menggenang dipelupuk matanya.

Terdengar jeritan histeris dari seseorang yang berdiri didepan pintu ruangan. Semakin dekat dan langkahnya semakin terseok, tertatih ingin berhenti. Sebuah gelengan membuyarkan segalanya. Dada itu kini terasa sesak, air matanya berhenti mengalir. Katakan bahwa Dia sedang berada di alam mimpi.

"ini bohongkan Bunda? Bilang sama adek kalau ini cuman mimpi!" teriak seorang gadis dengan tubuh gemetar ketakutan.

Gadis itu berlari ke arah pria yang tengah terduduk lemah tak berdaya. Dunia seakan gelap, dinginnya ubin rumah sakit tak mereka hiraukan. Menangis sejadi-jadinya. Hari ini kelabut pilu kembali menyelimuti, tak ada secercah warna sedikitpun yang mampu merangkul dalam rintihan duka.

"Ikhlasin yah sayang!!"

"Nggaaaaak. Ini semua cuman mimpi, Ayah bangunin adek sekarang juga Ayah! Adek tau ini cuman mimpi, siapapun tolong bangunin A—k..u," kepanikan semakin menjadi tatkala tubuh mungil itu tergeletak tak berdaya. Kesedihan terpatri amat jelas di wajah kusam, mata sembab dengan penampilan acak-acakan.

Hati yang hancur kini makin hancur. Andai waktu dapat diputar, Ia tak akan pernah menyianyiakan waktunya, mengabadikan setiap moment, menciptakan bahagia disetiap kebersamaan.

Lembaran demi lembaran kenangan terus berputar dan terngiang di kepalanya. Raganya berucap ikhlas, namun hatinya terlalu memberatkan.

"Adek kuatkan?" tanya seorang wanita paruhbaya yang mencoba tegar, menerima kenyataan yang mengguncang jiwanya, dan mengiris perih hatinya.

Lamunan gadis itu buyar, Ia mencoba tersenyum walau rasanya hambar. Mengangguk untuk meyakinkan dan memeluk sang Bunda dengan erat.

"Pemakamannya sebentar lagi dimulai, adek yakin mau ikut?"

"Iya Bunda, InsyaAllah adek kuat kok. Adek mau nganterin Bang Candra ke rumah barunya." ucapnya getir diiringi senyum dan air mata penuh luka.

Candra Yuda Pratama, meninggal setelah beberapa bulan mengalami koma. Kemarin pagi keadaannya sempat membaik, namun kembali drop dan menghembuskan nafas terakhir pada pukul 18:55. Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, namun Tuhan berkehendak lain. Kullu Nafsin dzaiqotul maut.

Meysha merasa gagal menjadi adek yang baik. Bahkan didetik Abangnya merasakan sakaratul maut, Ia tidak ada disamping Candra. Meysha marah, menyesal, kecewa pada dirinya sendiri. Nasi sudah menjadi bubur. Kata ikhlaspun terlalu sulit Meysha cerna masuk kedalam hatinya.

Bahkan Meysha memilih menghabiskan waktunya dengan Rey, dan melupakan Abangnya yang sekarat di rumah sakit.

Flashback on

17:15

"Assalamualaikum." ucap Meysha dan Rey bersamaan.

"Mungkin Bunda sama Ayah lagi di rumah sakit, Lo mau masuk dulu?" tawar Meysha kepada Rey.

Di Penghujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang