Jakarta – Pertengahan Desember 2019
"Lila! Woy!!" panggil Tiara kepadaku sambil menggerak-gerakkan tangannya di depan wajahku.
"Hah? Apaan?" Kataku kaget dan tersadar dari lamunanku sendiri. Ekspresi Tiara terlihat sedikit marah tidak percaya diriku tidak memperhatikannya bercerita sembari menaikkan satu alisnya seolah menanyakan apa yang aku pikirkan.
"Sorry, Sorry. Apaan tadi? Si Kris nyuruh elu ngerjain proposal yang disuruh si boss dari bulan lalu dan harus siap buat meeting besok pagi?" kataku mencoba tenang dan mulai merangkai kalimat dari kata-kata yang sayup kudengar sejak dia menceritakan hal ini setengah jam yang lalu. Ekspresinya mulai mereda dan setengah percaya bahwa aku telah dengan khidmat mendengarkan ceritanya.
"Lu kenape sih? Perasaan akhir-akhir ini kayak space out gitu deh. Nge-blank mulu idup elu, gua liat liat. Kepikiran apaan?" katanya mengujiku untuk membenarkan dugaannya bahwa aku tidak 100% memperhatikan ceritanya.
"Iiiih, gua merhatiin cerita elu tauuuuk. Jadi lu akhirnya bingung kan, mau lu kerjain apa nggak nya, karena mau dikerjain atau ngga dikerjain akhirnya lu juga yan kena getahnya. Iya kan?" kataku merangkai kata yang keseluruhannya merupakan spekulasi dari kejadian-kejadian yang lalu-lalu. Hal ini sebenarnya bukan cerita baru, hanya cerita berulang yang junior-junior seperti kami selalu mengalaminya. Apalagi, kami bekerja di lingkungan birokrasi. Sistem senioritas yang kuno masih sangat kuat dan erat menurun jika tentang hal-hal yang tidak baiknya.
Setelah aku mengatakan hal ini, Tiara mulai mempertimbangkan dan mulai percaya bahwa aku benar-benar tidak meninggalkannya ke dunia lain saat dia berbicara. Dengan menggebu-gebu dia menumpahkan kekesalan yang berulang ini sambil menghabiskan martabak mini di depanya.
"Gila, yah. Dia tuh padahal S2 di Japan loh. Harusnya pinter kan yah, tapi malesnya itu Naudzubillaaaaaaaah pengen gua gampar pake pentungan Pak Sopran tau nggak sih ih. Kesel banget." Katanya sambil meneguk The Tarik yang sebelumnya kami beli di Mall samping kantor. FYI, Pak Sopran adalah Ketua Pamdal di kantor kami yang terkenal sangat galak dan disiplin kepada bawahannya. Saking galaknya, beliau menjadi terkenal karena beberapa tahun lalu beliau berhasil meringkus dan memukuli maling habis-habisan dengan pentungan Scurity yang selalu ia bawa dan ia banggakan.
"Yaudah sih, dinikmatin aja. Cuman kalo gue jadi elu, gue nggaakan gubris tuh. Gue bakal bilang dapet tugas dan arahan lain dari Pak Direktur, atau Pak Dirjen, atau Pak Menteri sekalian. Biar sekali-kali tau rasa dia kena batunya." Jawabku enteng sambil menyeruput Kopi Aren Susu favoritku yang expresso nya bahkan tidak lebih dair 1 sloki.
"Emangnya gue elu apa, yang udah dari CPNS dikasih kerjaan sama Pak Direktur. Heh, lu jam segini minum kopi ngga khawatir nanti malem insom lagi apa? Muke lu tuh, udah kuyu banget kaya mamang-mamang yang jualan kentang cilok." Timpalnya lagi sambil menghabiskan potongan terakhir martabak mininya.
"Biarlah, udah frustasi gue. Mau minum kopi atau kagak, sama aja insom. Kalopun tidur, mimpinya aneh-aneh. Takut juga kalo tidur." Kataku membayangkan mimpi-mimpi aneh yang beberapa kali sering mampir ke malam-malamku beberapa bulan ini. Sebenarnya, ini bukan tahun pertama mimpi ini datang. Beberapa tahun silam, saat aku SMP maupun SMA aku juga memiliki mimpi ini. Aku juga ingat saat aku kuliah, aku juga beberapa kali memiliki mimpi ini. Namun, akhir-akhir ini mimpi ini terlalu sering muncul. Membuatku sering malas untuk tidur. Buruk memang akibatnya, aku menjadi sering Blank dan tidak fokus saat bekerja atau melakukan hal-hal lain sehari-hari. Tapi entah mengapa, keinginanku untuk tidak bertemu dengan-"nya"di dalam mimpi sangat kuat sehingga aku memilih untuk benar-benar tidur saat otakku Lelah. Yang mana, pasti menunggu jam dinding berwarna biru silver dikamarku menunjukkan angka 02.00 atau lebih.
"Mimpi apaan sih lu emang? Ketemu sama Reea lagi?" tanya Tiara menyelidik. Ya, Reea adalah panggilan yang aku berikan kepada "Dia" yang selalu datang di mimpiku. Tiara adalah satu-satunya orang yang aku ceritakan tentangnya setelah di sepanjang tahun ini, aku terlalu sangat sering bertemu dengannya.
Aku hanya bisa merespon dengan tatapan pasrah dan mengangkat kedua alisku meng-iyakan pertanyaannya. Tiara diam sejenak dan bertanya dengan penasaran.
"Kan lu bilang, Reea yang nenangin elu pas di masa-masa sulit lu dulu. Kenapa sekarang lu takut ketemu dia lagi?"
"Kan gue udah bilang, ra. Dia terlalu sering dateng. Gua nggamau ketergantungan sama dia. Kan elu yang awalnya ketawa pas gue cerita serius tentang Reea, bilang kalo gua kebanyakan nonton Drama, kalo Reea Cuma karakter Imaginer yang gue captain di dalam diri gue. Gimana sih." Jawabku memberondong kata protes kepada Tiara yang seharusnya sudah dapat menebak. Atau, mungkin aku yang berharap dia menebak karena aku malas bercerita?
"Ya kali lu anggep gue psikiater, tau apa yang lu pikirin kalo lu ngga jelasin. Ya sorry deh, gue nganggep enteng pas dulu lu cerita. Habis, ngga masuk akal sih. Cuman liat lu setengah depressed kek gin ikan gue mau nggamau kepikiran juga." Katanya setengah merajuk meminta pemakluman.
"Udahlah, kaga usah stress. Anggep aja lu belajar untuk melupakan mantan, gausah mencoba melupakan. Biasa aja, nanti juga lupa sendiri. Eh, Ups. Lu juga belum bisa move on dari Dika ding yah. Hehee.. sorry," kata Tiara yang buru-buru meminta maaf setelah tau apa yang diucapkannya malah menambah beban pikiranku.
"Auk ah. Elu mah, kaga bikin gue gimana caranya kek biar ngga kepikiran. Ngasih solusi kek, apa kek. Malah nambah-nambahin cuka." Kataku menggerutu.
"Iyaa, deh iyaaaa. Nih, tahun baru gue mau balik ke kampung. Rencananya gue mau jalan-jalan ke Bromo sekalian. ikut ajalah yuuk? Gue tanggung deh biaya akomodasi selama disana. Lu cukup tiket PP Jakarta ajaa. Gimana?" katanya merayu.
"Ogah. Paling juga gue jadi obat nyamuk doang. Lu mau ajak Ara kan makanya akomodasi lu tanggung karena pake mobil Ara, dan pasti nginep di Villa temennya. Terus ntar gue kek babu jalan di belakang kalian bawa-bawa perlengkapan." Kataku menyelidik. Tiara langsung tertawa canggung dan cengengesan dan menampilkan ekspresi "Kok Tau?" yang seolah tertulis di jidatnya. Aku hanya memalingkan muka dongkol dan menghabiskan kopiku. Bisa-bisanya dia mengajakku yang masih menderita karena gagal move-on ini untuk menemaninya berkencan dan menjadi tameng untuk ditanyai oleh orang tuanya. Biar kata bakal ngelewatin tahun baruan sendirian di kosan, POKOKNYA AKU NGGA BAKAL MAU IKUT.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ken Umang dalam cinta Ken Arok
Historical FictionPria itu memandangku tersenyum lalu memandang lagi ke depan. Dia tidak memakai baju atasan, hanya selendang yang disampirkan ke samping dengan rambut disanggul dan memakai ikat kepala berwarna hitam seperti mahasiswa sedang demo. Dia hanya memakai c...