Guncangan Pertama

202 34 4
                                    


Daerah Pinggiran Tumapel, 1220

Hari begitu cerah, aku berjalan-jalan keluar padepokan Mpu Palot sendirian, bermaksud untuk mendapatkan waktuku sendiri, dan menjauhi sejenak Arok dan orang-orang disekelilingku selama aku terdampar disini. Aku terlalu sering bersama dengan banyak orang, dan sangat butuh waktu sendiri.

Suasana desa hari ini tidak jauh berbeda dari hari-hari biasanya saat aku berjalan ditemani dengan dengan Arok atau dengan Ngesti. Terkadang ada daerah-daerah yang ramai dengan jual beli, sabung ayam, dan lain sebagainya. Terkadang juga ada daerah yang lumayan sepi dari hiruk pikuk seperti di pemukiman penduduk.

Rumah-rumah disini jaraknya tidak terlalu berdekatan dan sempit-sempitan seperti di daerah Jakarta dengan gang sempitnya. Ugh, Of course it is. Jaman ini manusia di Indonesia belum ada-lah 270an juta jiwa kaya tahun 2020.

Aku terus berjalan melalui jalan utama ke arah keluar desa. Hari ini sepertinya aku sedang sangat menikmati suasana hingga aku tak tau berapa lama dan seberapa jauh aku berjalan.

Ketika aku menyadarinya, Aku telah jauh keluar dari desa, memasuki salah satu pemukiman yang tampak agak berbeda dengan pemukiman desa di sekitar padepokan Mpu Palot.

Aku tak tau apa perbedaannya, namun aku merasa tau bahwa desa ini somehow membawa perasaan yang tak nyaman yang mengusik dalam diriku. Suasana desa ini sangat tenang dan sunyi meskipun aku melihat banyak orang yang bermukim dan menjadi penduduk disini. Jarak rumah-rumahnya saling berdekatan meski tidak berhimpitan, dan pola tata letak rumah mereka seperti mengitari satu titik. Pemukiman ini dikelilingi oleh pepohonan dan pohon bambu yang sangat rindang, membuat pemukiman ini lebih teduh sekaligus suram, berbeda dari suasana cerah terang yang kulihat di desa sebelumnya. Aura yang ditampilkan pemukiman ini begitu misterius dan tersembunyi.

Aku terus berjalan masuk kedalam pemukiman, dan melihat-lihat aktivitas penduduk yang pada umumnya ada di desa Mpu Palot. Ada ibu-ibu yang sedang menumbuk padi, dan para bapak yang beberapa diantaranya baru pulang dari bertani dengan cangkul kotor yang mereka bawa diatas pundak mereka.

Aku juga melihat beberapa anak kecil dan anak-anak remaja tanggung yang sedang bermain-main dengan bambu dan batu. Aku tak tahu permainan apa yang mereka mainkan. Beberapa anak perempuan juga bermain dengan dakon (congklak) sederhana yang terbuat dari kayu, dan beberapa juga ada yang membantu ibu mereka menumbuk padi.

Namun anehnya, mereka semua terdiam dan terasa seperti menjaga volume suara mereka. Baru kusadari, bahwa sejak aku masuk ke pemukiman ini, mayoritas orang-orang berbicara dengan nada yang sangat pelan hampir berbisik. Anehnya mereka mengetahui maksud satu sama lain. Apakah ini adalah kultur mereka untuk berbicara pelan?

Satu satunya bunyi yang terdengar keras hanyalah bunyi tumbukan padi yang tertahan.

Tidak, orang-orang disini tidak seperti terlihat sedang berduka ataupun sedang bersedih akibat tertimpa bencana dengan kesuraman yang nampak dari pemukiman ini. Ekspresi mereka benar-benar biasa saja. Seperti penduduk biasa yang menjalani kehidupan mereka dengan senyuman tulus kepada sesama, ada juga yang memperlihatkan ekspresi marah dan jengkel seperti seorang kakek-kakek yang marah-marah kepada anak-anak yang mengambil mangga di pohon pekarangannya. Namun lagi-lagi anehnya, tidak ada teriakan. Bahkan anak-anak yang berlari kegirangan pun, mereka tertawa tertahan.

Apa yang sebenarnya membuat mereka tertahan? Pikirku.

Tak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara gedebuk kuda yang berlari ke arah pemukiman, dan suara banyak orang laki-laki yang berteriak memasuki pemukiman. Aku tak terlalu paham apa yang mereka teriakkan. Penduduk desa tiba-tiba berlarian ke segala arah. Suasana yang tenang tadi tiba-tiba berubah menjadi riuh dan ricuh. Semua orang tua berlarian mencari anaknya untuk bersembunyi. Tapi itu semua terlalu terlambat. Kelompok orang yang sepertinya prajurit itu telah memasuki pemukiman. Mereka secara onar memasuki satu persatu rumah sambil menunjuk-nunjuk segala hal, mengambil semua barang berharga yang ada di dalam rumah penduduk, membuat para penduduk bersimpuh dan menungkupkan tangan mereka memohon pengampunan.

Ken Umang dalam cinta Ken ArokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang