Pertemuan Pertama

371 56 0
                                    

Blitar, 31 Desember 2019

Riuh suara orang-orang yang menjajakan dan membeli jajanan di sepanjang jalan kompleks wisata ini. Kami sedang berada di tempat wisata Candi Penataran. Waktu menunjukkan pukul 17.20, sebentar lagi magrib. Seperti yang dijanjikan Tiara dan Ara, mereka menjemputku pukul 16.00 dan membawaku untuk ke festival tahun baru bersama teman-temannya. Suasana disini ramai, meskipun tidak senormal tahun-tahun sebelumnya karena adanya pandemi Covid-19 yang mengharuskan protokol kesehatan ketat meskipun di acara seperti ini. Jumlah pengunjung dibatasi dengan adanya tiket yang dibagikan gratis dengan reservasi sebelumnya melalui web, sehingga hanya pengunjung yang memiliki tiket saja yang boleh masuk. Beruntung Ara telah mem-booking tiket jauh-jauh hari.

Setelah melewati jalan kompleks yang dipenuhi pedagang dan festival makanan, kami sampai di kompleks candi yang didepan nya telah dibangun panggung untuk penampilan berbagai tarian dan cerita rakyat nanti malam. Terlihat para penabuh gamelan dan penari sedang gladi resik untuk terakhir kalinya sebelum tampil. Ara dan teman-temannya menemukan tempat untuk menggelar tikar yang telah kami bawa sebelumnya dari rumah dan kami mulai Menyusun beraneka jajanan dan makanan seperti sedang piknik.

"Ra, gue nyari masjid dulu yah. Kayanya bentar lagi magrib deh. Lu lagi dapet kan?" tanyaku kepada Tiara yang dibalas dengan anggukan.

"Mau tak temenin nggak mbak? Menowo mushalanya jauh. Sekalian aku tak tuku rokok. Hehee.." Tanya Andre sambil nyengir. Dan aku tersenyum mengangguk mengiyakan. Mushala nya memang cukup jauh dari tempat kami duduk tadi, dan tepat saat aku sampai Adzan magrib terdengar. Andre pamit untuk membeli rokok dahulu kemudian akan menjemputku kembali.

Setelah shalat magrib, kepalaku entah mengapa bertambah berat. Sambil terduduk dan terpejam, aku menunggu Andre di depan mushala. Suara lalu Lalang orang yang telah selesai menunaikan shalat dan suara terompet membuat alisku berkerut. Berisik. Kepalaku bertambah berat, sepertinya aku harus membeli paracetamol nanti saat selesai acara. Lambat laun, suara orang-orang itu menghilang. Mungkin mereka sudah bergegas ke venue acara utama. Ini lebih baik. Dengan keheningan yang berangsur-angsur datang, sepertinya rasa sakit di kepalaku akan berlangsung membaik. Hanya suara gamelan saja yang terdengar olehku. Sepertinya mereka sudah mulai acaranya, atau masih gladi resik? Entahlah, aku ingin terpejam beberapa saat lagi sambil menunggu Andre. Tiba-tiba handphone ku berdering, memaksaku membuka mata untuk mengangkatnya. Entah mengapa suara gamelan yang syahdu tadi tiba-tiba lenyap digantikan suara riuh pengunjung yang lalu lalang dan sayup-sayup suara gamelan dari panggung utama. Setelah mengangkat telepon, aku memejamkan kembali mataku dan menjawabnya.

"Eh, Lu dimana? Kok kaga balik-balik siih? Ini si Andre balik sendiri" terdengar suara Tiara di seberang sana. Alisku berkerut namun tetap enggan membuka mata, setengah kesal karena aku disini menunggu orang yang ternyata telah melupakan untuk menjemputku.

"Gua masih di mushala. Katanya si Andre mau jemput kesini. Gimana sih?" kataku sebal.

"Tuh, kan masih disana ndre. Jemput gih." Kata Tiara kepada Andre. "Lu tunggu sana bentar lagi ya, Andre bentar lagi kesana. Jangan tidur lu. Tidur magrib-magrib pamali." Kata Tiara mengingatkan dengan latar suara gamelan di panggung yang terdengar samar. Aku dengan ogah-ogahan mengiyakan dan melanjutkan kegiatanku tadi. Menutup mata dan mengosongkan pikiran agar kepalaku tidak bertambah sakit.

Suara berisik lalu lalang lambat laun mereda, dan aku akhirnya bisa mendengar sayup-sayup suara Gamelan yang bertambah nyaring. Sepertinya volume sound nya dibesarkan sehingga suara dari panggung utama dapat terdengar sampai sini. Tapi lambat laun, suara gamelan itu terdengar lebih lembut dan merdu, seolah-olah tidak ada perantara kabel dan sound didalam melodinya. Aku tersenyum dan merasa bahwa sakit kepalaku ini lama-lama menghilang. Entah berapa lama aku memejamkan mata dan menikmati melodi indah gamelan, aku tiba-tiba mulai kedinginan dan mau tidak mau menyalahkan Andre. Apakah dia menjemputku dari Jakarta? Apa yang membuatnya sangat lama?

Tiba-tiba terdengar suara yang khas remaja SMA disebelahku.

"Endah, yo Gendhinge. Aku seneng banget iso ngrungokke iki saiki bar sedino ngrungokke serat." (Indah ya melodi gamelannya. Aku seneng sekali bisa mendengarkan ini sekarang setelah seharian mendengarkan pelajaran).

Aku dengan malas membuka mata dan mendongak ke sumber suara yang entah mengapa memakai Bahasa jawa kepadaku dengan sok akrab. Pria itu memandangku tersenyum lalu memandang lagi ke depan. Dia tidak memakai baju atasan, hanya selendang yang disampirkan ke samping dengan rambut disanggul dan memakai ikat kepala berwarna hitam seperti mahasiswa sedang demo. Dia hanya memakai celana berwarna gelap yang ditutupi dengan batik sepanjang lutut. Apakah dia adalah salah satu penari untuk pertunjukan nanti malam? Aku hanya terheran-heran memandangnya, tak memberikan reaksi apapun.

"Kok meneng wae to? Sirahmu jek loro?" (Kok diam saja? Kepalamu masih sakit?) tanya pemuda itu lagi. Lagi-lagi sok akrab. Aku tidak menjawabnya karena heran. Darimana dia tau aku sakit kepala? Karena aku masih tidak memberikan reaksi apa-apa, dia membelai kepalaku dengan lembut seolah memastikan bahwa aku sudah tidak sakit kepala. Aku langsung menepis tangannya dan kami berdua kaget. Iya, kami berdua yang kaget. Dia yang kaget karena aku menepis tangannya, dan aku yang kaget karena pertama, seorang lelaki asing tiba-tiba sok akrab dan membelai kepalaku seenaknya. Kedua, karena aku menyadari bahwa di lengan hingga ujung tanganku, aku tidak melihat sweater yang jelas-jelas aku pakai tadi saat menuruni mobil. Aku otomatis memeriksa pakaianku, dan menatap tidak percaya. Mengapa aku tiba-tiba bisa memakai kemben dan jarik batik? Kemana sepatuku? Kenapa aku memakai sandal kulit seperti ini? Lalu tiba-tiba aku entah mengapa menengok ke sampingku, ke pemuda yang ditengah rasa kagetnya setelah aku menepis tangannya, kebingungan melihatku.

"Ono opo mang? Koe kenopo?"(Ada apa, mang? Kamu kenapa?) tanya pemuda itu dengan melihatku khawatir. Aku tiba-tiba berdiri mengerjap-ngerjabkan mata berulangkali sambil melihat sekeliling. Di depanku ada kumpulan orang-orang sedang menikmati gamelan dengan khidmat dan bersenang-senang. Sejak kapan disini ada gamelan? Bukankah gamelan ada di panggung utama? Lalu aku menengok ke belakang. Dimana mushalanya? Aku yakin aku belum beranjak sejengkalpun dari mushala tadi. Pemuda itu ikut berdiri dan menampakkan wajah khawatir seolah ingin tau apa yang sedang aku pikirkan.

"Ini dimana? Aku ingat tadi aku masih di depan mushala menunggu Andre. Dan kenapa tiba-tiba aku bisa memakai pakaian ini? Aku tidak ingat aku ikut menjadi penari untuk pertunjukan malam ini. Dimana barang-barangku? Dimana tas ku? Handphone ku mana? Aku mau telepon temanku Tiara. Kamu siapa? Bisakah – " tanyaku ditengah kebingunganku tak terkendali, tiba-tiba pemuda itu memegang kedua bahuku, dan menatapku.

"Alon-Alon,koe ngomong opo? Durung tangi po piye? Bar ngimpi ala?" (Pelan-Pelan, kamungomong apa? Belum bangun dari tidurmu? Habis mimpi buruk?) katanya sekali lagidengan Bahasa jawa. Ini orang ngga ngerti Bahasa Indonesia apa? Kepalaku kembali sakit, bahkan lebih sakit dari sebelum aku memejamkan mata tadi. Mau tidak mau aku memegang kepalaku dan menghentikan semua pikiran panikku. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

Ken Umang dalam cinta Ken ArokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang