Cottage Aneh

371 60 0
                                    


Wilayah Asing, Pagi hari sekitar pukul 09.00

Aroma asing menyergap indra penciumanku. Kepalaku masih terasa agak sakit walau tak sesakit sebelumnya. Dengan mengerutkan kening, aku mencoba untuk membuka mataku sambil bertanya-tanya, apakah aku semalam tertidur di depan mushala sambil menunggu Andre? Apakah teman-temanku membawaku ke klinik karena aku pingsan setelah mendapat serangan sakit kepala yang hebat?

Aku mencoba untuk duduk dan mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Bagaimanapun aku mencoba untuk melihat, ini bukan seperti klinik pada umumnya. Aku memandang aneh kepada lantai kayu, perabotan khas jawa dan batang terbakar yang tertancap di atas vas kecil. Sepertinya ini adalah Reed Diffucer Aromatherapy. Tapi mengapa bentuknya kuno sekali? Apakah aku sedang berada di tempat SPA dengan konsep jawa? Hmm... sepertinya masuk akal bila aku menengok pakaianku yang seperti kemben dan jarik ini. Tapi, dimana tukan pijitnya?

Wait. Memangnya ada dalam rencanaku dan Tiara untuk mengunjungi tempat tempat SPA? Tanyaku pada diri sendiri. Ah, mungkin karena kemarin aku sakit kepala makanya Tiara mengajakku kesini. Tapi bagaimanapun aku memikirkannya, aku tidak ingat sama sekali. Yah, mungkin aku sudah mulai pikun karena terlalu stress dan otakku juga lelah jika mengingat kembali satu bulan ini aku sering sekali lembur karena banyak persiapan untuk perencanaan program tahun depan. Ditambah dengan Reea yang meresahkanku dan memaksaku untuk memperkecil jangka tidurku. Sepertinya aku benar-benar harus memeriksakan saraf otakku ke Rumah Sakit begitu aku kembali ke Jakarta.

Setelah lama menunggu, tidak ada tanda-tanda akan ada SPA Therapist yang masuk akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Aku mengambil jarik yang ada di dalam lemari ruangan tersebut untuk menutupi pundak dan lenganku. Bagaimanapun, aku tidak nyaman jika harus keluar dengan hanya memakai kemben dan rok jarik ini saja. Hmm... ada jarik, kemben, dan bahkan ada beberapa kotak kayu, entah apa isinya. Aku tak begitu memperdulikannya.

Aku berjalan keluar kamar pijat tersebut. Saat aku berjalan keluar, mau tak mau aku mengernyitkan alisku lagi. Didepanku terlihat taman kecil khas pedesaan jawa yang berjejer pot-pot dari tanah liat. Aku mendekati pot-pot itu dan mengetuknya. Benar-benar terbuat dari tanah liat dan memiliki ukiran-ukiran indah. Wuah, pasti mahal. Mengapa mereka tidak membeli saja pot plastik yang terlihat seperti ini? Pikirku random.

Biasanya, SPA dengan konsep jawa yang totalitas akan membuat tamannya lebih indah dari ini. Akan ada air mancur kecil, dan jalan yang terbuat dari susunan batu gamping. Tapi ini benar-benar hanya taman dengan tanaman-tanaman dengan sedikit bunga dan banyak herbal. Tertata rapi, namun tidak telalu terlihat aestethic. Apakah mereka tidak ingin menjadikan taman ini sebagai salah satu tempat foto? Ah, jika dipikir-pikir lagi, sepanjang Lorong yang mengelilingi taman ini tidak ada sofa tunggu dan lukisan-lukisan ala jawa yang tergantung di dinding. Benar-benar polos seperti layaknya hotel berkonsep Cottage dengan beberapa kamar dan Lorong teras kayu di masing-masing kamar. Apakah aku salah paham? Mungkinkah sekarang aku bukan sedang di SPA, tapi di Villa teman Ara? Apakah kita sudah sampai di Bromo?

Sebentar. Itu terlalu jauh. Kita merencanakan untuk ke Bromo 2 hari setelah sampai di Blitar. Apakah aku benar-benar melewatkan 2 hari tanpa sadar? Jangan-jangan aku Demensia. OH MY GOD. Di umurku yang masih 26 tahun ini aku sudah Demensia. Pikirku lucu dan miris sekaligus.

Aku mengedarkan kembali pandanganku. Disini sangat sepi. Cottage biasanya mahal, dan konsep Cottage ini terlalu tidak seperti Cottage-Cottage yang pernah aku kunjungi di Bogor maupun beberapa tempat lain. Di samping kiri kanan masing-masing Cottage hanya ada rumput pendek yang aku yakin bukan merupakan rumput taman (biasanya hotel dan cottage memakai rumput jarum, atau lebih sering disebut rumput jepang sebagai hiasan agar taman terlihat lebih rapi). Namun ini tidak. Lebih seperti cottage yang benar-benar diperuntukkan untuk survival dan merasakan menjalani hidup di era kerajaan. Aku dengar, orang-orang eropa sering datang ke Indonesia untuk berlibur dan merasakan hidup ala purba seperti ini. Yah, masuk akal jika cottage ini mengusung tema ini. Entah ini memang konsep mereka, atau karena manajemen yang tidak memiliki banyak budget. Aku dengan lucu memikirkannya.

Setelah puas mengedarkan pandangan, aku ingat bahwa tadinya aku ingin mencari orang untuk kutanyai kenapa belum ada therapist yang masuk ke ruanganku. Namun setelah sepertinya aku bukannya berada di SPA namun di cottage, aku memutuskan untuk keluar berjalan-jalan mencari teman-temanku.

Aku agak kesulitan berjalan dalam balutan kemben dan jarik ini. Aku benar-benar penasaran apa yang terjadi 2 hari kemarin sampai aku saat sadar tiba-tiba memakai pakaian aneh dan tidak menemukan satupun barang-barangku. Apakah mereka mengambil handphone kami agar kami lebih nyata merasakan pengalaman tinggal di zaman purba? Cottage yang aneh.

Ketika aku berjalan keluar area cottage, aku menemukan beberapa orang laki-laki sedang menyapu menggunakan sapu lidi. Mereka sangat kurus dan rata-rata memiliki kulit kecoklatan, khas jawa. Mereka tidak memakai kaos ataupun baju. Hanya memakai celana hitam sepanjang lutut, dengan rambut dicepol dan memakai ikat kepala. Mereka bahkan tidak memakai sandal. Mereka menyapaku dengan senyum dan anggukan.

Wuah... bahkan cleaning service disini juga memiliki seragam yang unik. Apakah mereka tidak protes ke Kementerian Ketenagakerjaan karena dipaksa untuk tidak memakai baju saat bekerja? Aku tidak habis pikir. Beberapa saat berjalan, tidak jauh dari situ aku melihat beberapa perempuan memakai kemben dan jarik yang hampir sama denganku sedang menumbuk sesuatu di alang panjang sambil bercengkrama. Apa-apaan itu? Apakah cottage ini sebegitunya total dalam menampilkan vibe jaman kerajaan? Aku bertambah tidak habis pikir saat melihat ada semacam rumah joglo dengan lantai kayu yang tidak memiliki tembok. Hanya ada pilar-pilar dan pagar kayu rendak yang mengelilingi joglo tersebut.

Didalam joglo tersebut, berjejer pemuda-pemuda yang sedang duduk bersila memperhatikan seorang kakek di depan. Seperti sedang mengajar sesuatu. Mereka memakai pakaian yang seragam. Atasan tanpa kaos dan hanya memakai semacam kain selendang yang disampirkan, bawahan celana hitam dan dilapisi jarik batik setinggi lutut dengan corak yang sama. Hanya kakek yang di depan yang memakai baju putih yang hampir mirip seperti ihram (pakaian untuk lelaki yang berhaji). Aku sekali lagi terkesima. Cottage ini benar-benar totalitas. Bahkan tamu yang mengadakan seminar-pun harus bertindak ala-ala belajar dipadepokan. Tapi aku tidak melihat satupun whiteboard atau infocus yang lumrah dan pasti ada di acara seperti ini. Mereka benar-benar memegang prinsip "back to nature". Tanpa sadar aku mengikik takjub dengan konsep yang benar-benar professional seperti ini.

Saat aku masih geli dengan takjub dengan bayangan totalitas konsep cottage ini, seorang pemuda di barisan belakang sendiri yang sedari tadi seperti berpura-pura mendengarkan kakek yang di depan tiba-tiba melihatku. Raut mukanya berubah dari bosan menjadi extreamely happy dengan mata yang berbinar dan senyum yang melebar. Aku melihatnya mencoba untuk mengingat-ingat. Sepertinya aku pernah melihat pemuda ini.

Dia kemudian melambaikan tangannya rendah sembari mengucapkan beberapa kata tanpa suara kepadaku. Sayup kulihat dia bertanya "koe rapopo wesan?" Aku hanya memandang aneh kepadanya lalu berjalan keluar kembali, meninggalkannya.

Ken Umang dalam cinta Ken ArokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang