"Kami baru saja sampai dari Panawijen untuk bertemu dengan Mpu Purwa..." kata Bapa Mpu Palot mengawali.
Aku mendengarkannya dengan seksama bersama dengan Umang. Sudah lama aku tidak bertemu dengan istriku ini dan ingin berbincang banyak berdua denganya untuk melepas rindu. Aku sangat ingin mendengar celotehannya walaupun tidak akan sebanyak dahulu saat dia belum menjadi dewasa dan berbeda seperti sekarang.
Namun belum tercapai angan-anganku, aku melihat Kebo Ijo lagi-lagi sedang mendekati Umang, bahkan dengan lancang memegang tangannya. Aku sangat marah hingga aku menampik tangan mereka dengan kasar. Aku tidak bisa berbuat apapun untuk mencegah Kebo Ijo berhenti menekati Umang karena ada peran yang sedang kami mainkan untuk mencapai tujuan kami. Tersadar akan hal itu, aku pun sebisa mungkin mengendalikan emosiku.
Setelah Kebo Ijo pergi, aku ingin kembali mencoba untuk berbincang dengan Umang agar aku dan dia kembali dekat seperti dulu dan tidak canggung seperti sekarang. Namun lagi-lagi keinginanku itu harus kutunda karena kami dipanggil untuk bertemu dengan para guru.
"Nduk Umang... Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Mahaguru Dang Hyang Lohgawe kepada Umang secara tidak terduga, keluar dari pembahasan yang dilontarkan oleh Bapa Mpu Palot.
Apakah Umang sakit? Mengapa aku tidak menyadarinya? Tanyaku dalam hati, sambil melihat wajanya dengan seksama.
"Saya baik-baik saja, Mahaguru... Silahkan melanjutkan apa yang ingin disampaikan. Saya siap." Kata Umang tenang.
Siap? Siap apa? Apa yang mereka bicarakan? Mengapa seolah mereka telah bertemu untuk membicarakan hal yang aku tidak tau sebelumnya ini? ah.. tapi sepertinya mustahil karena Umang hanya bertemu para guru ketika bersama denganku. Gumamku yang bertanya sekaligus menjawab keingintahuanku sendiri.
"Baiklah... Terimakasih untuk selalu memiliki pekerti yang luhur ya Nduk..." Mahaguru Dang Hyang Lohgawe menanggapi ucapan Umang dengan senyuman kasih dan seolah bangga. Aku masih tidak mengerti apa maksud beliau. Kulihat Umang hanya diam saja sembari melihat ke arah para guru dengan tenang.
Ekspresi itu lagi... gumamku.
Umang selalu menampakkan ekspresi itu ketika berhadapan dengan para Guru. Ekspresi yang rumit yang hingga sekarang aku tak paham makna dari tatap mata itu.
"Arok, Mpu Purwa bercerita bahwa kau dan Ken Dedes sudah dekat. Benarkah itu Arok?" tanya Bapa Mpu Palot. Para Mahaguru memang jarang memakai nama besar para petinggi jika sedang berbicara diluar Pakuwon Tumapel dan Istana Kadiri.
"Sendika Dawuh, Bapa... Benar, saya sudah lebih dekat dengan Sang Prameswari karena memang kami berdua bekerjasama dalam rangka mendapatkan hati para pejabat dan orang-orang di pakuwon agar mereka mau berada di pihak kami. Selain itu, melalui perbincangan dengan Sang Prameswari, saya mengetahui beberapa hal yang mungkin dapat membantu kita mendapatkan titik lemah Sang Akuwu. Beberapa hari ini kami juga telah menemukan beberapa sandi telik untuk kami manfaatkan." Jawabku secar rinci kepada Mpu Palot, sekaligus melaporkan kemajuan tugas yang diberikan para guru.
"Baiklah... bagus..." timpal Bapa Mpu Palot singkat.
Apakah pekerjaanku kurang baik? Batinku ragu karena tanggapan Bapa Mpu Palot yang tidak seperti biasanya..
Bukankah sepertinya aku telah melaksanakan segala hal dengan perhatian penuh, bahkan hingga tak bisa pulang dan bertemu dengan Umang? Gerutuku dalam hati, namun segera kutampik karena aku tidak boleh meragukan para guru. Mereka adalah kepanjangan tangan dari Sang Hyang Widhi untuk menuntun kehidupan kami di Marcapada ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ken Umang dalam cinta Ken Arok
Fiksi SejarahPria itu memandangku tersenyum lalu memandang lagi ke depan. Dia tidak memakai baju atasan, hanya selendang yang disampirkan ke samping dengan rambut disanggul dan memakai ikat kepala berwarna hitam seperti mahasiswa sedang demo. Dia hanya memakai c...