Desa Aneh

295 54 0
                                    


Wilayah Asing, Siang hari sekitar pukul 11.00

Aneh. Seberapa jauhpun aku berjalan, aku tidak menemukan bangunan lain selain bangunan yang mirip dengan lingkungan cottage. Apakah ini adalah sebuah desa berkonsep purba? Pikirku sambil masih berkeliling.

Jahat sekali Tiara dan yang lain. Aku ditinggal sendiri mentang-mentang aku bangun kesiangan. Setidaknya mereka bisa menulis memo jika memang handphone kami disita untuk membangkitkan suasana purba. Sekarang aku harus berkeliling mencari mereka di desa aneh ini.

Tidak tau seberapa lama dan jauh aku berjalan dari cottage, aku berada di wilayah yang mirip dengan kosep pasar kuliner ala kerajaan jawa yang sering diadakan di beberapa kota seperti jogja, semarang, dan banyumas. Aku ingat pernah mengunjungi wisata kuliner itu. Dengan menukarkan beberapa puluh ribu rupiah, kami akan diberi uang kayu ala kerajaan untuk membeli beraneka ragam jajanan.

Aku melihat beberapa kios dengan atap Jerami, hampir mirip dengan yang biasanya berada di wisata kuliner yang aku kunjungi. Ada beberapa juga yang berjualan di tanah dengan beralaskan tikar Jerami. Desa ini benar-benar keren. Semua orang disini memakai pakaian ala-ala kerajaan jawa, seperti yang aku lihat di cottage. Seharusnya aku membawa kamera untuk memotret ini semua dengan aesthetic, sesalku. Hahh... jangankan kamera, harusnya aku membawa 2 hape untuk kusimpan satunya agar tidak menjadi orang bodoh yang kehilangan induknya seperti sekarang. Sekali lagi, aku menyumpahi Tiara dan teman-temannya dalam hatiku.

Tidak lama berjalan, aku melihat orang-orang sedang makan ayam goreng diatas piring tanah liat merah dengan lahap. Wuah. Sepertinya enak sekali. Aku juga sudah sangat lapar setelah berjalan berkeliling. Aku merogoh-rogoh bajuku untuk mencari apabila Tiara meninggalkan uang kayu untukku membeli beberapa jajanan. Dan aku menemukan 3 keping perak dan 5 keping emas. Dengan corak yang tidak biasa. Sekali lagi aku takjub dengan konsep desa ini. Mereka bahkan tidak memakai koin kayu seperti tempat wisata lain, tapi memakai koin beneran. Aku lihat lagi, koin-koin itu warnanya lebih cerah dan gemilang daripada koin 500 dan 1.000 rupiah. Dan bentuknya pun tidak terlalu beraturan. 

Tak terlalu memperdulikan lagi karena perutku sudah keroncongan, aku mendatangi kios yang menjual ayam goreng itu dan mulai memesan. "Ayam goreng kaya bapak itu satu ya, bu... lalapannya yang banyak. Terimakasih..." kataku sambil tersenyum lalu duduk di depan ibu tersebut. Kios itu memiliki bagian seperti warteg, terdapat meja yang menempel di semacam etalasenya (walaupun tidak ada etalase kaca sama sekali). Kemudian beberapa orang makan di sekeliling nya, seperti bar. Di sampingnya terdapat semacam tempat duduk lesehan dari kayu yang agak tinggi, dan beberapa meja di atasnya untuk orang-orang makan per meja sambil berkeliling dan bercengkrama.

Hey, ini masih pandemi. Mengapa mereka tidak memakai masker? Pikirku random. Kemudian lamunan singkatku buyar dengan suara dari ibu yang menjaga kios.

"Pripun nduk? Sampeyan arep mangan opo? Mature sing aku ngerti tho..." (bagaimana maksudnya non? Kamu mau makan apa? Ngomongnya dengan Bahasa yang aku mengerti tho...) katanya sambil menatapku aneh. Desa ini kuakui memang benar-benar totalitas, sampai bahasanya juga harus menggunakan Bahasa jawa. Aku akhirnya mengulangi pesananku menggunakan Bahasa jawa seadanya. Meskipun aku orang jawa, aku tidak begitu banyak menguasai Bahasa jawa, apalagi Bahasa jawa krama.

"Tak akoni, akuwu sing saiki apik. Deen ngolehke dewe judi, terus kene dadi pasar gedhe sing gawe tambah rame." (kuakui, akuwu yang sekarang bagus. Beliau memperbolehkan judi dan daerah ini menjadi pasar besar yang membuat tempat ini menjadi semakin ramai) kata Pria dengan rambut cepol tanpa ikat kepala sambil mengunyah pisang di tangannya. Apakah semua pria yang datang di desa ini gondrong? Pikirku geli.

"Heeh, kok. Iki akuwu yo gek gawe pakuwon. Jare meh dadi koyok sing ning kediri kana. Tapi yo kui, Upeti sing kudu dibayar yo dadi luwih gedhi." (iya, kok. Sekarang akuwu juga sedang membangun istana pakuwon. Katanya akan dijadikan sama seperti yang ada di ibu kota kediri. tapi ya itu, pajak yang harus dibayar menjadi lebih besar.) timpal pria lain yang memiliki penampilan hampir sama dengan pria pertama.

Apakah mereka sedang menghafalkan naskah pentas? Hmm, mungkin nanti malam akan ada pentas api unggun di desa ini menyambut tahun baru. Pikirku acuh. Aku tak memperdulikan lagi latihan naskah para pemeran drama kolosal itu, dan fokus kepada makananku. Tiba-tiba aku merasa haus setelah tersadar aku belum memesan minuman.

"Mbok, kula nyuwun es the e setunggal nggih, ampun manis-manis." (Mbok, saya minta es teh satu jangan manis-manis ya). Kataku sambil lalu ke mbok penjaga kios. Dia diam sejenak sambil berpikir, kemudian tak lama menyajikan the manis hangat untukku di gelas bambu. Aku mengernyitkan alis karena yang disajikan bukan yang aku pesan. Tapi tanpa mengatakan apapun, aku menghabiskannya. Mungkin, si mbok penjaga kios sudah agak pikun sehingga salah memberikan pesanan. Akupun terkadang melakukan hal yang sama saat menjaga warung mamahku di semarang dulu sebelum bekerja. Bahkan lebih parah. Saat pesananan jelas-jelas tertulis "jus jambu", yang aku buat dan sajikan adalah "Jus Mangga". Aku diam-diam terkikik mengingat hal itu.

"Heh! Wes tangi ora ngajak-ngajak malah mrene dewean. Mambengi aku gotong kowe tekan omah ngerti rak? Mbok, sego pecel siji yo!" (Hey! Sudah bangun ngga ngajak-ngajak malah kesini sendirian. Semalam aku membopongmu sampai rumah kamu tahu tidak? Mbok, nasi pecel satu ya!). Pemuda itu menepuk pundakku dan tiba-tiba berkata hal yang aku tidak mengerti sambil memesan pesanannya. Aku hanya sekali lagi menatapnya aneh. Deja fu.

"Anda siapa? Apakah saya mengenal anda?" kataku setelah tak sabar lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada di otakku. Hari ini aku terlalu banyak berpikir, bertanya dan menjawab sendiri semua hal yang terjadi di sekitarku. Semua bisa aku logika kan dan dengan tak peduli berjalan-jalan sambil mencari teman-temanku. Tapi, perkataan pemuda ini barusan tiba-tiba meruntuhkan logika yang telah kubangun sejak aku membuka mata pagi ini. Membuatku kembali ke malam itu. Malam saat aku pertama kali bertemu dengannya dan melihat pertunjukan gamelan di tengah hutan itu. Tiba-tiba kepalaku kembali merasakan sakit sekelebat sehingga aku menampakkan ekspresi yang sepertinya membuat pemuda itu khawatir.

"Heh, kowe nopo meneh? Kok ujar ora nggenah meneh. Loro meneh po sirahmu? Kene tak delok." (Heh, kamu kenapa lagi? Kok berbicaraaneh lagi. Kepalamu sakit lagi? Sini aku lihat). Ujar pemuda itu sambil memegang lembut kepalaku. Aku hanya bisa terpaku kaku tanpa mengeluarkan suara apapun. Mencoba untuk merangkai kembali logikaku.

Ken Umang dalam cinta Ken ArokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang