Wilayah Asing, Siang hari sekitar pukul 14.00
Pemuda itu masih menatapku khawatir mengelus kepalaku dan mengucapkan kata-kata jawa yang aku tidak bisa lagi mendengarkan secara utuh. Beberapa kata yang aku tangkap adalah dia membahas bahwa aku sudah sakit kepala selama beberapa bulan karena sulit tidur dan sebulan ini bertambah parah. Dia juga memanggilku dengan sebutan "Umang". Aku masih sulit memahami ini. Apakah ini semacam lelucon untuk merayakan ulang tahunku? Apakah Tiara dan teman-temannya menyembunyikan kamera? Tapi, siapa aku? Aku bukan artis yang segitunya harus diberikan kejutan sebegini terencana dan rinci. Apakah Tiara juga bercerita dengan pemuda ini tentang penyakitku setahun ini? Untuk apa?
"Mang. Piye? Opo dewe kondo wae karo Mpu Palot? Menowo ono obate?" (Mang, gimana? Apakah kita bertanya saja kepada Mpu Palot? Barangkali dia memiliki obat untukmu). Katanya lagi. Siapa pulak ini Mpu Palot? BAH! Aku menyumpah dengan logat batak meskipun aku orang jawa. Aku memang cenderung memakai berbagai Bahasa saat berpikiran kalut, terlalu excited atau marah. Aku mengernyitkan dahiku dan menanggapinya dengan Bahasa jawa menanyakan siapa yang dia maksud.
Dia menanggapi dengan ekspresi tidak percaya dan langsung menarikku keluar dari kios setelah meninggalkan 1 koin emas di meja sembari berkata: "Mbok, tak tinggal seg ya. Pecel e nggo wong liyo wae, iki susuke sesuk wae." (Mbok, aku tinggal dulu ya. Pecel nya buat orang lain saja, ini kembaliannya besok saja). Katanya sambil membawaku keluar kios. Kami kembali ke cottage.
Di Cottage, pemuda ini membawaku ke kakek yang tadi mengajar di joglo. Sepertinya dialah yang bernama Mpu Palot. Aku tidak begitu yakin karena otakku kosong sejak aku ditarik keluar dari kios tadi. Aku sama sekali tidak bisa merangkai logikaku. Atau mungkin, aku terlalu takut merangkai logikaku. Aku berdiri di samping pemuda itu, dan pemuda itu panik menjelaskan kepada kakek itu kondisiku. Mpu Palot hanya mengangguk dan memandangiku seolah mengerti. Dia kemudian menepuk pundakku sembari berkata. "Sugeng rawuh, nduk. Iki wes dadi titimangsamu. Kowe kudu ning kene ngancani Arok ngelewati titimangsane." (Selamat datang, nduk. Ini sudah menjadi masamu. Kamu harus disini menemani Arok melewati waktunya) kata Mpu Palot kepadaku lalu menoleh kepada Arok yang masih bingung dengan maksud gurunya itu. Aku tidak tau harus bagaimana, sehingga aku langsung jatuh terduduk di lantai kayu itu, di depan Mpu Palot dan pemuda yang di panggil Arok itu.
Aku tidak bodoh, aku adalah orang yang cepat membaca situasi. Namun aku hanya sangat teramat tidak sanggup dan berani untuk menyimpulkan. Aku sebenarnya sudah sadar dan curiga sejak aku membuka mata pagi ini, atau bahkan sejak semalam? Bahkan kecurigaanku bertambah ketika aku keluar dari padepokan yang dengan mencoba yakinnya ku anggap cottage ini. Aku hanya secara tidak sadar menepis kenyataan itu dan menyusun logikaku sendiri untuk menenangkan pikiran dan hatiku. Semuanya terlalu tidak masuk akal namun sangat masuk akal sekaligus.
Beberapa lama terdiam, aku menghela nafas panjang lalu bangun dan berkata kepada Mpu Palot: "kenopo kula ting mriki, Mpu? Kula pengen wangsul mawon, mriki dudu panggone kula." (mengapa saya disini, Mpu? Saya ingin pulang, disini bukan tempat saya). Kataku dengan Bahasa jawa campur antara Krama dan Inggil. Tapi aku tidak peduli, karena aku memang tidak bisa berbahasa jawa krama secara sempurna. Mpu Palot hanya tersenyum dan mengulangi kalimatnya.
"Iki wes dadi Pinesthimu. Kowe ora iso mlayu. Jenengmu Umang, Ken Umang. Kowe mesti ngerti kenopo aku ngomongi kowe kudu ngancani Arok. Ora sah tak jelasne, Kowe wes ngerti Pinesthimu saiki." (Ini sudah menjadi takdirmu. Kamu tidak bisa lari. Namamu Umang, Ken Umang. Kamu pasti tau mengapa aku bilang kamu harus menemani Arok. Tidak usah aku jelaskan, kamu pasti sudah paham takdirmu sekarang) jawabnya sambil tersenyum lembut kepadaku dan Arok.
Aku masih terdiam tak percaya dan merasa hampir menangis untuk mengerti hal apa yang sedang menimpaku sekarang. Aku memandang pemuda yang di panggil Arok itu. Tiba-tiba muncul bayangan Arok memakai mahkota dengan rambut gondrong yang digerai. Aku memejamkan mata dan mengerjapkannya. Ah, hanya bayanganku saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ken Umang dalam cinta Ken Arok
Historical FictionPria itu memandangku tersenyum lalu memandang lagi ke depan. Dia tidak memakai baju atasan, hanya selendang yang disampirkan ke samping dengan rambut disanggul dan memakai ikat kepala berwarna hitam seperti mahasiswa sedang demo. Dia hanya memakai c...