Suara isak tangis...
Siapa itu?
Mengapa terdengar sangat pilu?
Aku melangkah perlahan di Lorong gelap yang terasa tiada ujungnya ini sendirian. Berjalan menelisik ke suatu arah yang aku pun tak tau ke arah mana kaki ku ini melangkah. Hanya kegelapan total yang terlihat.
Hu... hu... hu...
Suara isak tangis itu lagi... semakin kencang terdengar.
Aku mempercepat langkahku ke arah suara itu berasal.
Aku terus menapakkan kakiku perlahan, dengan secara tidak sengaja sebegitunya memberi perhatian pada langkahku agar tidak terlalu terdengar dan mengagetkan orang yang sedang menangis itu.
Sayup-sayup terlihat cahaya temaram yang mencuri tampak dari sela pintu yang sedikit terbuka. Aku membuka pintu itu perlahan, dan melangkah masuk ke dalam ruangan itu.
Ruangan itu tidak begitu luas. Hanya sekitar 3x4 meter dengan jendela besar di sisi yang berseberangan dengan pintu. Jendela itu cukup besar hingga hanya menyisakan seperempat bagian tembok di bawah dan seperempat bagian tembok di atasnya. Kurasa akan sangat terang ruangan ini terlihat saat siang hari dengan jendela yang dibuka penuh.
Namun, jendela itu benar-benar tertutup rapat.
Satu hal yang akan terbersit pada pikiran semua orang yang pertama kali melihat ruangan ini adalah, hampa.
Terlihat seorang gadis menatap kosong ke tempelan hiasan dinding dengan berwarna hitam putih dimana terdapat beberapa kupu-kupu terbang mengelilingi bunga-bunga lili yang mekar dengan indahnya. Meski tatapannya kosong, gadis itu menatap hanya pada satu titik di ornamen dinding yang luas itu.
Kepada tulisan 'ensemble pour toujours' yang terletak di sebelah ornament Menara Eiffel.
Gadis itu tidak lagi menangis terisak. Ia hanya terus menatap kalimat itu dengan hati yang penuh duka.
Aku merasakan betapa hati gadis itu sangat terluka seolah semua yang ada di dunia ini telah direnggut olehnya, yang hanya menyisakan kehampaan total pada jiwanya.
Tetesan air hangat mengalir dari pelupuk mataku.
Hatiku terasa sangat sesak.
Tiba-tiba gadis itu menoleh ke arahku. Melihat tajam kepada mataku, sembari berkata tanpa suara:
"Jangan lupa."
....
....
Aku membuka mataku perlahan.
Ah... Cuma mimpi...
Aku merasakan tangan hangat pada pipiku, yang telah menyeka air mata yang diam-diam keluar karena mimpiku tadi.
Aku melihat Arok yang menatapku dengan wajah khawatir.
"Kau akhirnya pulang..." kataku perlahan padanya, menyentuh tangan yang masih dengan lembutnya mengusap pipiku.
"Maafkan aku... Aku terlambat..."
Aku merasakan ada rasa bersalah yang tulus dari nada suaranya.
"Tak apa... aku mengerti..."
Kami menatap mata satu sama lain.
Aku menyentuh pipinya.
"Bukankah memang sudah takdirku untuk tersakiti pada peranku ini..." kataku perlahan sambil mengusap lembut pipinya.
__________________________________''''_______________________________
Sebentar lagi fajar akan datang. Aku masih memeluk Umang yang tertidur di lenganku dengan pulas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ken Umang dalam cinta Ken Arok
Historical FictionPria itu memandangku tersenyum lalu memandang lagi ke depan. Dia tidak memakai baju atasan, hanya selendang yang disampirkan ke samping dengan rambut disanggul dan memakai ikat kepala berwarna hitam seperti mahasiswa sedang demo. Dia hanya memakai c...