It is what it is...
Pikirku sambil memandangi api pada obor yang kobat-kabit diterpa angin malam. Angin malam ini tidak terasa dingin. Biasa saja... namun memang hembusannya dapat membuat api obor menari. Terkadang, tariannya seolah terlihat enggan untuk terus mempertahankan kobarannya karena hembusan angin yang nakal.
Soon, he will really left me for his ambition. Soon, his ambition will become true and I could go back to place where I belong. Habis dia tau apa makna cahaya yang dia lihat itu, aku yakin dia akan berambisi untuk memiliki Dedes. Just like another man yang haus akan kekuasaan. Pikirku sambil memakan popcorn.
In case kalian bertanya kenapa aku bisa makan popcorn, aku membuatnya dengan jagung dan susu yang dimasak agar menjadi seperti mentega lalu memasaknya di dalam kuali tanah yang panas. Pertama kali randu memakan ini, dia bilang bahwa ini akan jadi menu yang sangat disukai dan akan laku keras. But Nope. Aku ingin menyimpan makanan ini sendiri, untuk mengingatkanku bahwa aku bukan berasal dari zaman ini, dan aku harus kembali ke zaman dimana makan popcorn di bioskop adalah salah satu kegemaranku.
"Mbak Umang." Panggil Randu sambil menepuk pundakku.
"Yeeaaah?" jawabku malas dengan gaya hip-hop ala G-Dragon. Kurasa Randu sudah terbiasa dengan caraku yang terkadang menjawab sapaannya dengan Bahasa abad ke 21. Terkadang aku bahkan memanggilnya dengan 'sis', atau 'sistah', bahkan terkadang 'ma bro'.
"Mbak Umang lagi banyak pikiran lagi ya? Dari tadi menghela nafas terus." Tebak Randu.
"Nope, my sist. Tidak kok..." jawabku singkat.
"Daritadi lho, mbak Umang cuma liatin pintu gerbang sambil ngawang dan menghela nafas. Sudah ingin sekali bertemu Kang Arok ya? Hihiii..." tanya nya jahil.
"Hissh. Kata siapa aku liat pagar? Aku ngeliat obor tuuh, obor disitu." Jawabku ngotot.
Eh? Ngapain ngotot? pikirku sambil menghela nafas menyadari reaksi spontanku yang berlebihan.
Iya. Aku lihat obor, dan tertarik karena obornya gerak-gerak di terpa angin. Udah. Nggak, aku nggak nunggu Arok. Kataku meyakinkan diri.
"What the F did you do, Lila....." Pekikku kesal kepada diriku sendiri yang berpikir untuk meyakinkan diri bahwa aku tak menunggu Arok. Randu yang melihat dan mendengarku berteriak tiba-tiba menggunakan Bahasa yang tidak ia mengerti, hanya manggut-manggut sambil melihatku.
"Wes, yakin aku kalo Mbak Umang emang nunggu Kang Arok. Ahhahaa... soalnya setiap mbak Umang ngomong e pake bahasa langit yang nggak jelas dan kaya orang gila, itu pasti ada hubungannya sama kang arok. Hihihi..." sambung Randu menggodaku lagi. Aku hanya bisa menghela nafas dan membiarkannya.
"Jadi ada apalagi kali ini?" kata Randu mencoba untuk mengajakku berbicara.
Dia ini, memang selama ini menjadi teman bicaraku karena dia lah yang menemaniku di kedai hingga di panawijen. Karena pemikirannya yang sederhana dan tingkahnya yang kekanak-kanakan, aku terkadang berbicara lepas dengannya dan membiarkannya bertanya-tanya tentang apa yang telah aku katakan.
Aku mengalihkan perhatianku dan menatap Randu.
"Randu, setelah ini kau harus benar-benar pastikan bahwa yang mengetahui bahwa aku dan Arok adalah suami istri hanyalah orang-orang di padepokan, saudari-saudari di bawah Nyi Prenjak, dan segelintir orang di Kelompok Rampok. Okey?"
".....Hmmm... Okei" Jawab Randu kepadaku, walaupun dia tak tahu alasan aku mengatakan hal tersebut. Oh, ya dan sebagaiw informasi hanya Randu yang bisa menjawab dengan Bahasa-bahasa abad ke-21. Yah.. walaupun hanya beberapa kata saja. Setidaknya, berbicara dengan Randu bisa membuatku merasakan aroma kampung halaman yang sama sekali tidak ada di masa ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ken Umang dalam cinta Ken Arok
Historical FictionPria itu memandangku tersenyum lalu memandang lagi ke depan. Dia tidak memakai baju atasan, hanya selendang yang disampirkan ke samping dengan rambut disanggul dan memakai ikat kepala berwarna hitam seperti mahasiswa sedang demo. Dia hanya memakai c...