Tumapel, 1220 awal
Setelah menyelesaikan 'Urusan' ku, akhirnya aku bertekad membuat resolusi hidupku pagi ini. Aku harus segera beradaptasi dan mempersiapkan segala hal untuk 'hidup dengan nyaman' di zaman kuno ini. Aku harus segera menemukan cara bagaimana orang-orang disini hidup sehari-hari, dan mengingat orang-orang yang ada di sekitar kehidupannya Umang.
Aku segera mencari daun pisang kering yang aku temukan tidak jauh dari pondokanku, lalu meminta arang kepada pelayan yang sedang menyapu di depan pondokanku.
Aku mulai menuliskan hal-hal apa yang harus aku ketahui selama aku hidup disini, juga nama-nama orang-orang di sekitar Umang. Ada Arok, Mpu Palot, Bango Samparan, Nyi Prenjak, dan Tita. Aku sertakan informasi sekilas di sampingnya agar aku tidak lupa. Aku sungguh sangat pelupa sehingga saat di kehidupanku di abad ke 20 itu, aku harus mencatat segala hal yang menurutku penting di notes yang ada di handphone. Tapi tidak kusangka, sepertinya otak yang ada di tubuh ini tidak sebebal otakku sebelumnya yang mungkin mengalami penurunan daya ingat akibat terlalu banyak terpapar radiasi. Otak Umang ini, sepertinya mampu dengan mudah mengingat hal-hal yang terjadi.
Tidak selang berapa lama, ini bahkan mungkin belum waktu dzuhur, tapi Arok sudah muncul di hadapanku. Ia melihatku menulis diatas daun pisang yang mengering dengan arang. Dia terlihat heran (lagi). Mungkin karena ini pertama kali dia melihat orang menulis diatas daun pisang kering menggunakan arang? Memangnya alat tulis apa yang mereka gunakan disini? Aku jadi penasaran.
"kamu sedang apa?" katanya dengan ekspresi aneh. Sepertinya dia juga tidak pernah melihat huruf abjad. Yaiyalah, lila.
Aku hanya mendiamkannya lalu mulai bertanya sesuai dengan urutan 'pertanyaan seputar kehidupan kuno' yang aku susun bak susunan pertanyaan wawancara untuk penelitian.
"Dimana aku bisa mandi? Dan bagaimana orang-orang disini mandi?" kataku tanpa basa-basi. Iya, hal pertama yang aku pikirkan adalah bagaimana dan dimana aku bisa mandi. Aku sadar bahwa dari kemarin aku belum mandi. Aku hanya sempat berwudhu tadi subuh dengan air kendi yang sebenarnya untuk minum. Aku sudah tidak tahan karena gatal. Meskipun aku termasuk orang yang jarang mandi di kehidupanku sebelumnya, tapi aku pasti akan mandi ketika sudah merasa gatal dan bau.
Arok sekali lagi hanya menatapku dan entah mengapa pemuda di depanku ini menunjukkan ekspresi malu dan kemudian menjawab "Kamu sungguh sangat aneh. Awalnya aku mengira Mpu Palot aneh karena dia menyuruh putrinya untuk menemuimu dan mengajarkan hal-hal sehari-hari, tapi sekarang aku mengerti apa yang dimaksud Mpu Palot. Sebenarnya seberapa banyak hal yang hilang dalam kepalamu itu, Umang? " tanya-nya yang dia sendiripun tau bahwa pertanyaannya bukanlah untuk memiliki jawaban.
Tidak lama kemudian, datang seseorang gadis cantik yang anggun berjalan ke arah kami sambil memandangiku takjub. Aku tidak tahu apa yang dikatakan ayahnya, Mpu Palot kepadanya. Tapi sepertinya dia tau apa yang menjadi permasalahanku sekarang. Dengan senyum dia menyapaku dan secara halus memberi kode kepada Arok untuk meninggalkan kami.
"Memangnya apa yang akan kalian bicarakan? Umang masih perlu mengetahui tentang kehidupan dia biasanya, dan aku juga harus mengenalkan orang-orang kepadanya agar ingatannya pulih. Sebagai kakandanya, aku akan tetap menemani Umang." Kata Arok sedikit kesal karena dia baru datang dan sepertinya sudah siap dengan rentetan kata dan kalimat yang telah disusun menjadi makalah dikepalanya dengan judul 'Sekilas info kehidupan Umang' untuk di presentasikan kepadaku. Ekspresinya sekarang benar-benar seperti mahasiswa yang telah dengan seksama dan rajin mempelajari skripsinya untuk sidang, namun tiba-tiba sidang diundur. Aku terkekeh dengan kelakuan Arok sekarang.
"Sudahlah, aku bisa mengetahui itu pelan-pelan. Sekarang aku harus memahami bagaimana caraku hidup terlebih dahulu, Arok. Dan kamu sudah pasti tidak bisa membantuku." Kataku menenangkannya sambil tersenyum. Anak Mpu Palot juga tersenyum mengiayakan. Namun sepertinya Arok masih belum puas dan masih tetap ingin bersamaku, apalagi aku masih memanggilnya dengan namanya. Yang sebenarnya untuk ukuran orang jawa cara memanggilku sekarang tidak sopan mengingat Arok lebih tua dariku.
"Memang cara hidup apa yang tidak bisa aku beri tahu ke kamu? Aku juga bisa mengajarimu, terutama mengajarimu bagaimana caramu memanggilku dengan biasa." Kata Arok yakin. Dia sepertinya memang benar-benar seorang remaja lugu yang tidak mau kucing kesayangannya diambil untuk diasuh orang lain. Sepertinya aku harus memaksanya untuk mundur dengan memberikan serangan skak matt.
"Baiklah, kalau begitu bisakah kau memberitahuku dimana dan bagaimana cara perempuan disini mandi dan bertindak saat datang bulan?" tanyaku tanpa basa basi langsung melihat ke matanya. Tidak hanya Arok yang kaget dan langsung salah tingkah, sepertinya anak Mpu Palot yang seumuran dengan Arok ini juga tidak menyangka seorang Umang, seseorang yang masih muda ini bisa mengatakan hal tersebut terang-terangan.
"Be.. Baiklah, aku akan menemuimu sore ini setelah aku bertemu dengan Nyi Prenjak." Kata Arok agak tergagap, kemudian langsung berjalan cepat keluar dari pendopo. Aku hanya terkikik saja melihat tingkahnya.
"Awalnya aku tidak mengerti apa yang Ayahanda maksudkan diriku ini untuk membantumu, Jeng Umang... tapi sekarang setelah aku mendengar caramu berbicara, sepertinya aku sedikit paham. Pasti berat bagimu untuk menyesuaikan diri sekarang...." Kata anak Mpu Palot lembut kepadaku.
"Apakah kamu tau darimana aku datang? Oh, iya. Siapa namamu?" tanyaku sejurus kemudian.
"Panggil saja aku Ngesti. Aku lebih tua darimu, kamu bisa memanggilku mbak. Aku tidak tau darimana kamu datang, Ayahanda-pun tidak tau darimana kamu datang. Beliau hanya berpesan bahwa kamu yang sekarang bukanlah seutuhnya Umang dan aku diminta untuk menjawab segala persoalan seputar cara masyarakat disini hidup." Kata Ngesti menerangkan. Jadi bahkan Mpu Palot mungkin tidak tahu bahwa aku dari masa depan? Pikirku heran. Mengapa dia seolah-olah tau? Darimana dia tau?
"Darimana Ayahandamu tau bahwa aku yang sekarang bukan Umang yang seutuhnya?" kalau benar Umang masih ada di tubuh ini, mengapa aku tidak memiliki sebutir saja ingatan tentang kehidupannya? Lanjutku dalam hati. Setelah termenung sejenak, Ngesti menjawab.
"Malam saat Arok tiba-tiba membawamu ke padepokan, Ayahanda melihat cahaya tak berbentuk sedang mengitari dan mengikutimu. Kemudian saat beliau tidur malam itu, beliau mendapat penglihatan dari Sang Hyang Widhi bahwa beliau harus membantumu untuk dapat hidup disini meskipun kamu bukan dirimu." Katanya agak berbelit. Aku mengerutkan alisku tanda aku sedang berpikir. Jadi intinya bahkan dia tak tahu apa yang terjadi dan hanya mengikuti petunjuk Tuhan-nya? Di Jaman ini sepertinya orang-orang memang benar-benar sakti sampai bisa dapat ilham seperti itu. Dan dari penjelasan Ngesti, sepertinya Tuhan-nya tidak memberitahu Mpu Palot bagaimana agar aku bisa kembali. Pikirku sedih. Baiklah, sepertinya mau tidak mau aku harus hidup disini entah sampai kapan. Aku menghela nafas panjang dan menyimpulkan keadaanku sekarang. Ngesti entah mengapa seperti mengerti kegundahanku dan tersenyum kepadaku.
"Tenang saja, Umang. Mulai sekarang aku akanmenjadi mbakyumu yang dapat kamu andalkan untuk menjalani takdirmu. Jangan merasatersesat dan kesepian. Sang Hyang Widhi memiliki catatan takdir yang baik untuksemua orang di Bumi-Nya." Kata Ngesti yang bertindak seperti kakak yang inginmelindungi adiknya ini. Aku cukup terharu, di usianya yang sepantaran Arok ini,dia sepertinya sudah dewasa. Tapi sebagaimanapun aku terharu, Aku tetapingin pulang....
KAMU SEDANG MEMBACA
Ken Umang dalam cinta Ken Arok
Historical FictionPria itu memandangku tersenyum lalu memandang lagi ke depan. Dia tidak memakai baju atasan, hanya selendang yang disampirkan ke samping dengan rambut disanggul dan memakai ikat kepala berwarna hitam seperti mahasiswa sedang demo. Dia hanya memakai c...