Perjalanan

418 51 0
                                    


Jawa Timur – Akhir Desember 2019

"Nasi Ayam Geprek, Nasi Goreng, Mie, Kopi dan Tehnya silahkan" terdengar suara setengah teriak dari Prama dan Prami (Pramugara dan Pramugari di Kereta Api) yang sebisa mungkin mengontrol suaranya agar tetap sopan namun terdengar oleh para penumpang yang sebagian telah terlelap. Dengan penampilan yang sebagaimana mungkin harus terdengar ramah dan sopan, mereka mendorong kereta makanan kecil denga nagak cepat seolah melewati Lorong ditengah kursi penumpang itu hanya merupakan formalitas saja. Terkesan sebenarnya mereka tidak terlalu mengharapkan ada yang akan membeli makanan yang mereka tawarkan karena waktu telah menunjukkan pukul 11.00 dan sebagian besar penumpang terlihat telah terlelap.

Aku, yang seperti biasa masih insomnia hanya memandang lurus dan kosong lingungan di luar jendela yang gelap dan hitam. Dugaanku, sekarang kami telah sampai di jalur Pantura, dimana hanya ada sawah ataupun pantai yang membentang di kiri dan kanan. Jarang terlihat ada rumah warga di sepanjang lintasan rel kereta api ini. Tiba-tiba suara dering telepon berbunyi, membangunkanku dari lamunanku. Kulihat Tiara, rekan kerja sekaligus sahabatku kaget dan membuka matanya, sembari mencari-cari ponsel di tas jinjingnya.

"Hallo?" jawabnya setengah sadar dengan suara parau. "Iyaa... hah? Oh, Iyaa..." jawabnya dengan konsisten masih menutup matanya setengah ogah untuk mendengar apa yang dibicarakan oleh lawan bicaranya. "Iyaa. Sampe sana jam 5. Tunggu di parkiran aja biar langsung jalan. Kita ngga bawa barang banyak kok. Parkir jangan jauh-jauh tapi dari gerbang kedatangan" pesannya kepada Ara, tunangannya. Lalu ia menutup telepon, dan dengan ogah menatapku sekilas seolah bertanya mengapa aku tidak tidur. Namun, sepertinya belum sempat pertanyaan itu terlontar, ia telah jatuh kembali kedalam tidurnya. Aku hanya bisa memandangnya sekilas tidak mengharapkan lebih banyak agar dia menemaniku ngobrol sampai aku ngantuk. Mau tidak mau, aku harus memakluminya karena dia memang tipe orang yang di kendaraan manapun dan kapanpun akan otomatis tertidur bahkan sebelum driver menginjak rem nya.

Dan, ya. Aku melanggar tekadku sendiri untuk tidak mengikuti Tiara ke Bromo bersama pacarnya. Beberapa hari kebelakang, Reea datang hampir setiap malam. Entah mengapa dia memakai baju yang tidak biasanya dia pakai untuk menemuiku. Biasanya dia akan memakai kemeja longgar putih dan celana berwarna putih juga, sambil tersenyum dia akan menatapku dan menenangkan ku atas kejadian pilu yang menekan hatiku pada tahun-tahun lalu.

Sepanjang tahun ini, saat dia sering datang ke dalam mimpiku pun, dia juga memakai pakaian yang sama dan tetap tersenyum mempesona dan seperti biasa, aku akan menceritakan hal-hal yang menekan hati dan jiwaku. Aku mulai resah saat aku sudah tidak memiliki hal untuk di ceritakan namun dia masih ada dan menemuiku. Jika memang dia hanya karakter imaginerku, bukankan dia hanya akan datang saat aku membutuhkannya? Maksudku, bukan berarti aku tidak ingin bertemu dengannya ketika aku bahagia, namun seperti yang aku katakana tempo lalu kepada Tiara, aku tidak mau ketergantungan kepadanya. Nyatanya, Reea bukanlah orang yang akan bisa menemaniku membeli ayam cabe ijo di taman dekat kosanku dan melewati hari-hari normal yang orang-orang lain miliki bersamaku. Dia hanya ada ketika aku menutup mataku. Itupun tidak setiap hari, tidak setiap aku menginginkan, dan tidak setiap aku merindukannya. Dia datang secara acak.

Beberapa hari kebelakang, Reea setiap hari mendatangiku sesedikit apapun aku tertidur. Bahkan jika aku tidur pukul 02.00 dan bangun pukul 05.00 untuk shalat subuh, dia tetap datang untuk memamerkan senyumnya yang mempesona. Aku tidak berlebihan saat aku berkata senyumnya mempesona. Kenyataannya, senyumannya memang benar-benar mempesona. Namun, sebesar apapun pesonanya, aku akan lupa bagaimana fitur wajahnya saat aku membuka mata. Andai aku bisa mengingatnya, mungkin aku bisa bertemu dengan satu atau dua orang yang memiliki wajah yang sama dengannya untuk aku jadikan teman di kehidupan nyata.

Kami tiba tepat pukul 05.00 di Stasiun Blitar. Ara, yang sok romantis telah menunggu kami tepat di depan gerbang kedatangan dan otomatis menjunjung tas yang dibawa oleh Tiara. Dan aku yang masih setengah sadar setelah tidur beberapa jam, masih kepayahan dengan tas ku sendiri. Hah.... Ini baru permulaan tapi aku sudah mengasihani diriku sendiri.

"Mbak Lila, baru pertama kali ke Blitar kan? Berapa pak?" tanya Ara sambil membayar parkir kepada petugas penjaga gerbang parkir. Tiara, otomatis duduk di samping kursi Driver. Kalian bisa membayangkan aku berada di belakang ditemani dengan tas gendongku. Aku mulai bertanya kepada diri sendiri dan meragukan keputusanku, apakah ini yang dinamakan simalakama? Tidak ikut Tiara, aku akan menderita kesepian sepanjang minggu selama tahun baru dengan mimpi yang menyiksa. Namun dengan ikut Tiara, aku malah semakin merasa menjadi orang kesepian.

Aku hanya membalas dengan senyuman malas dan canggung kepada Ara. Ini adalah pertemuanku yang pertama juga dengannya. Selama ini kami hanya saling sapa saja kalau Tiara sedang teleponan dengannya.

"Kalo gitu nanti aku ajak jalan-jalan deh muter-muter blitar, mbak. Jangan khawatir, nanti aku ajak temen-temenku juga jadi nggaakan sepi." Katanya seolah memaklumi dan mengasihaniku apabila aku sendirian saja menonton mereka bersama.

Sesampainya di rumah Tiara, aku beristirahat karena tiba-tiba merasa tidak enak badan. Mungkin ini efek dari jam tidurku yang kacau, juga mungkin mengalami jetlag setelah perjalanan. Aku izin kepada orang tua Tiara untuk beristirahat setelah beberapa saat ber-basa basi untuk menjaga kesopanan. Secara tidak langsung, aku memberi waktu kepada Tiara dan Ara untuk menikmati waktu mereka berdua. Mereka berjanji untuk menjemputku sore untuk ikut ke festival yang diadakan di salah satu tempat wisata di Blitar.

Aku merasa aku tidak terlalu lama beristirahat, aku dikagetkan oleh suara mengetuk pintu. Suara mamah Tiara mengagetkanku. "Nduk, bangun nduk, ayo Shalat Dhuhur dulu sudah mau jam 2 terus makan siang ya... Tante tunggu di ruang makan." Kata beliau lembut yang dengan sopan aku iyakan. Kepalaku masih terasa berat. Entah mengapa hari ini kondisi badanku sangat berat dan sakit di kepalaku belum hilang juga. Aku bertekad untuk konsultasi ke dokter agar meresepkan obat tidur untukku begitu aku sampai lagi di Jakarta.

Setelah mandi, aku shalat dan pergi ke dapur untuk menemui Mamah Tiara. Hari ini beliau menyiapkan sop iga karena Tiara berkata kepada Mamahnya bahwa aku menyukai sop iga. Aku menatap sop di depanku dengan terharu dan tidak tau harus menangis atau tertawa. Karena dalam keadaanku sekarang, makan sop iga yang memiliki banyak lemak ini bukannya akan membuatku merasa segar, namun menaikkan asam lambungku dan membah beban pada kepalaku. Mual.

"Kata Tiara kamu suka sop iga ya.... Tante sudah pesan iga terbaik dari Mang Bejo tukang sayur komplek langganan tante. Semoga kamu suka ya..." kata tante dengan tulus dan senyuman penuh harap bahwa aku akan menyukai usahanya menyenangkan tamu ini. Aku dengan senyum canggung dan gamang mencoba untuk menampilkan ekspresi terimakasih dan syukur untuk menghargai masakan tante.

Barusaja aku mengambil sop iga itu kedalam mangkuk, aku sudah merasa bau lemak inimenusuk hidung dan membawanya ke kepalaku yang bertambah berat ini. KAU PASTIBISA, LILA.

Ken Umang dalam cinta Ken ArokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang