Umang Milikku

186 19 3
                                    

Umang menangis.

Ia menangis dengan sangat kencang seolah tak peduli jika suaranya bisa terdengar dari balik dinding kamarnya pada malam yang sunyi ini.

Hatiku sakit. Ulu hatiku perih karena mendengarnya menangis dengan lelah.

Tepat saat aku sudah tak tahan untuk masuk melihat kondisi Umang, Mahaguru keluar dari kamar. Beliau menatapku dalam lalu sambil tersenyum berkata, "Masuklah nak... Umang membutuhkanmu. Kau harus selalu ada di sampingnya beberapa hari ini."

Setelah mengatakan hal tersebut, Mahaguru Dang Hyang Lohgawe pergi di antarkan oleh Tita dan Nyi Prenjak.

Aku masuk ke kamar, dan mendapati Umang menangis tertunduk memeluk kakinya. Suara tangisnya tidak lagi sekencang tadi, namun karena melihatnya menangis tertahan hingga badannya bergetar hebat, aku tak tahan untuk langsung memeluk badannya yang dingin.

Aku menenangkannya cukup lama hingga akhirnya tangisnya berhenti.

"Apakah kau ingin minum?" tanyaku padanya setelah ia sudah tidak lagi menunduk dan kemudian berbalik menatapku. Tatapan kosong dengan pipi yang memerah dan matanya yang basah karena terlalu banyak menangis membuat hatiku kelu.

Apa yang bisa membuatmu sesedih ini, Umang?

"Kau..." katanya tercekat.

"Kau sudah bertemu Dedes?" tanya Umang padaku. Membuat aku bingung.

Kenapa hal pertama yang ia tanyakan setelah menangis dengan kencang seperti itu adalah Sang Prameswari? Apakah ia tidak mau membicarakan permasalahannya dan hanya ingin membicarakan pekerjaan saja? Lalu mengapa dia memanggil Prameswari dengan namanya saja? Apakah mereka saling kenal sebelumnya?

"Belum..." kataku menjawabnya. Membuat umang memiringkan kepalanya heran.

Imutnya... pikirku bodoh di situasi ini.

"Bagaimana bisa kau belum bertemu dengannya saat kau adalah kepala pengawal pakuwon dan selama 3 bulan ini mengumpulkan informasi disana?" Umang mengerutkan dahinya dan menautkan alisnya saat bertanya padadku, entah mengapa aku melihatnya kesal dengan jawabanku. Apakah dia sedang mengevaluasi hasil pekerjaanku di pakuwon dan ingin menyatukan informasi yang ia dapat dari panawijen?

"Aku hanya melihatnya sekilas dari jauh saat ada keacaraan di pakuwon. Aku menjaga acara dari kejauhan agar bisa melihat keadaan secara menyeluruh, sehingga aku tidak terlalu memperhatikannya. Pun saat aku mengumpulkan informasi, aku hanya butuh mendekati orang-orang yang bekerja di Puri Timur saja. Aku tidak merasa perlu untuk melihat Prameswari untuk mendapatkan informasi." Kataku menjelaskan.

Apa dia benar-benar hanya ingin membicarakan pekerjaan saja?

Setelah apa yang terjadi padanya, yang membuatnya menangis sedemikian rupa?

Mendadak aku merasa bahwa rendah diri. Apakah diriku ini hanya dianggap seseorang yang bisa diajak bekerjasama oleh Umang dibandingkan dianggap sebagai suami yang ia butuhkan untuk bersandar?

Aku merasa tertohok. Aku ingin berbagi hal diluar pekerjaan dengannya, mendengarkan keluh kesahnya, atau setidaknya mendengarkannya marah karena kejadian yang menimpanya kemarin.
Aku ingin menghiburnya dan di depannya, aku ingin menampilkan sosok suami yang marah dan sanggup melakukan apa saja agar dia merasa terhibur, dan membuatnya merasa aman karena ada aku sebagai suaminya. Selayaknya suami istri yang saling berbagi cerita dan beban serta berbagi kasih.

Ken Umang dalam cinta Ken ArokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang