4

405 100 6
                                    

***

Dua hari lalu Yeo Nabi meninggal dunia. Ia meninggal saat melahirkan anak pertamanya. Jiyong baru mendengar kabar itu malam ini dan ia ingin datang untuk memberi penghormatan terakhir pada teman kuliahnya itu. Sayangnya, hubungannya dengan Park Jaeeon yang tidak begitu baik, membuatnya sedikit ragu untuk datang. Beruntung karena ia mengingat Lisa— yang juga saling kenal dengan pasangan itu.

Lisa mengendarai mobilnya ke rumahnya. Gadis itu perlu berganti pakaian sebelum melayat. Tidak mungkin ia datang dengan rok merah muda sepanjang lutut dan kemeja putih favoritnya. Pakaiannya terlalu cerah untuk suasana berkabung di rumah sakit.

Gadis itu membawa Jiyong ke rumahnya. Ke sebuah gedung apartemen yang tidak terlalu besar. Lisa tinggal di sebuah apartemen studio yang tidak terlalu luas. Sebuah hunian sesuai untuk ia yang tinggal sendirian dan sibuk bekerja. "Tunggu di sini," suruh Lisa, meninggalkan Jiyong di tempat parkir, di dalam mobilnya, sementara ia turun dan melangkah masuk ke apartemennya.

Jiyong menatap gadis itu pergi menjauhinya. Padahal sejak tadi ia sengaja menyibukkan dirinya dengan pekerjaan agar tidak perlu berbincang. Semakin Lisa menjauh, semakin sesak dadanya. Setelah tiga tahun kenapa gadis itu harus kembali ke kehidupannya? Ia datang tanpa perasaan apapun, seperti mimpi buruk yang membuat Jiyong susah tidur.

Kalau kita bertemu lagi, bersikaplah seolah kau tidak mengenaliku— dulu Jiyong tidak tahu kalau kata-kata itu sama mengerikannya dengan sebuah kutukan. Kalau tahu kata-katanya itu akan jadi mimpi buruk baginya, ia tidak akan pernah mengatakannya. Apakah Lisa merasakan perasaan yang sama sepertinya? Jiyong penasaran tapi tidak cukup berani untuk menanyakannya. Ia takut jawaban Lisa tidak sama seperti yang ia harapkan. Ia takut jawaban gadis itu tidak akan memuaskannya atau justru membuatnya merasa tertikam.

Dengan senyum kecut, Jiyong menatap layar ponselnya. Melihat galeri foto di ponselnya, melihat foto Lisa dengan gaun pengantinnya di sana. "Harusnya aku tidak menerimanya," gumam Jiyong, bersamaan dengan munculnya Lisa di tempat parkir. Gadis itu melangkah dengan sepatu hak tingginya yang berwarna hitam, celana panjang yang juga hitam juga kemeja putihnya yang tadi.

"Bukankah pakaianmu masih terlalu cerah? Ganti," ketus Jiyong, sementara Lisa kembali duduk di mobilnya.

"Dimana rumahmu?" tanya Lisa kemudian, menyalakan mobilnya kemudian melaju keluar gedung. "Masukan alamatnya ke GPS," suruhnya, sama ketusnya.

"Kenapa rumahku?"

"Anda bilang bajuku masih terlalu cerah, Direktur Kwon," jawabnya dengan nada malas. "Kau pasti punya jas hitam lain di rumahmu, pinjamkan satu jasmu padaku," susulnya, mengulang kembali perintahnya, menyuruh Jiyong memasukan alamatnya.

"Kau tidak punya pakaian hitam?"

"Belum dicuci, aku sudah memakainya bekerja minggu lalu."

"Hanya itu pakaian hitammu?"

"Ada yang lain."

"Lalu kenapa tidak memakainya?"

"Kau ingin aku memakai mini dress dengan stoking jaring-jaring? Atau gaun malam dengan punggung terbuka? Atau kaus ketat untuk olahraga? Kalau ada yang pantas untuk ku pakai, aku pasti sudah memakainya! Cepat lah kemana harus pergi?! Haruskah aku belanja dulu? Kita bisa melayat besok."

"Tidak, besok aku ada meeting dengan investor," tolak Jiyong, yang akhirnya memasukan alamatnya ke navigasi di dalam mobil mewah itu.

Rumah Jiyong tidak terlalu jauh dari lingkungan tempat Lisa tinggal. Mereka hanya perlu berkendara selama lima belas menit untuk sampai ke rumah Jiyong— sebuah apartemen mewah yang tiap unitnya terlalu besar untuk seseorang yang tinggal sendirian. Mungkin pria itu sudah menikah dan tinggal bersama keluarga kecilnya yang bahagia di sana— anggap Lisa.

Sama seperti Jiyong yang diminta menunggu di tempat parkir, Lisa juga menunggu di tempat parkir. Sementara pria itu masuk dan mengambilkan sebuah jas hitam miliknya, Lisa duduk di mobilnya menatap pintu kaca dengan pinggiran keemasan yang sebelumnya Jiyong lewati. Sebahagia apa keluarga mereka? Sebahagia apa istri pria itu? Lisa benar-benar penasaran.

Tidak berapa lama, Jiyong keluar dengan satu jasnya. Jas itu ada di dalam sebuah hanger khusus, tertutup, anti debu. Jauh berbeda dengan Lisa yang bahkan belum sempat mencuci sejak minggu lalu, Jiyong memperlakukan pakaiannya dengan lebih baik. Pasti istrinya yang melakukan itu— pikir Lisa, menerima jas dari Jiyong, meletakannya di kursi belakang yang jauh lebih sempit kemudian kembali mengemudi ke rumah sakit.

Sepanjang jalan keduanya diam. Sama sekali tidak ada obrolan, sama sekali tidak suara selain suara-suara lalu lintas di sekitar mereka. Lisa sibuk dengan lalu lintas sembari sesekali memainkan rambutnya sendiri, sedang Jiyong asik bersama ponselnya. Mengetik beberapa pesan panjang lalu mengirimnya pada asisten juga anak buahnya— bawahannya bukan hanya orang-orang di ruang editorial.

"Apa anda tidak tahu yang namanya jam kerja Tuan Kwon?" tanya Lisa, sebab ia melihat pop up pesan dari Jiyong di grup ruang editorial. Lisa bahkan tidak membuka pesan itu sebab lampu jalan di depannya sudah berubah jadi hijau.

"Aku hanya meminta Kepala Redaksi mengirim beberapa berkas," jawab Jiyong.

"Hm... Hanya beberapa berkas tapi bagaimana kalau berkasnya ada di kantor? Anda ingin membuat kepala Lee kembali ke kantor untuk berkas itu? Apa anda akan mati kalau berkasnya dikirim besok pagi saat jam kerja?"

"Hentikan, ini hanya berkas, berkasnya sudah ada. Dia hanya perlu mengirimnya."

"Tapi berkas keuangan itu ada di kantor. Anda membuat Kepala Redaksi kembali ke kantor hanya untuk beberapa berkas. Uang taksi dan uang lembur, harusnya Kepala Redaksi mendapatkannya, apa anda tidak memperhitungkannya?"

"Lisa, hentikan. Ini hanya berkas dan Kepala Lee tidak keberatan!" kesal Jiyong.

"Tidak mau," tolak Lisa. "Keluar dari mobilku kalau anda tidak mau mendengarkanku, haruskah aku menepi?"

Kwon Jiyong tidak pernah berhasil mengalahkannya. Si anak nakal yang ia kenal sejak masih sekolah menengah, hampir mustahil ia kalahkan. Sesekali Jiyong memang sengaja mengalah, sebab ia tidak ingin membuat wanita itu kesal, tapi itu hanya 40%, sisanya Jiyong benar-benar kalah telak, seperti malam ini. Lisa menepikan mobilnya, menunggu Jiyong memilih antara kalah atau melarikan diri.

Gadis itu adalah mimpi buruk. Mimpi yang mustahil jadi kenyataan, namun tetap sukses membuat Jiyong berkeringat ketakutan. "Baiklah. Jalan," sebal Jiyong, sembari mengetik pesan selanjutnya— membatalkan perintahnya dan meminta Seungri untuk memberikan berkas itu besok pagi, jam delapan.

"Terimakasih, aku harap anda tidak meminta karyawan untuk bekerja lewat dari jam kerjanya lagi, Direktur Kwon," balas Lisa, yang akhirnya menginjak kembali pedal gas mobilnya, kembali berbaur dengan banyak mobil lainnya di jalanan. Sedang Jiyong menghela nafasnya, menyandarkan tangannya ke jendela mobil kemudian memijat sendiri pelipisnya. "Ah! Ada-"

"Apa?! Apa lagi?! Apa lagi yang mau kau protes?! Karena aku menyuruhmu menyetir diluar jam kerja?!"

"Tidak," pelan Lisa. "Aku tidak menganggap perjalanan ini sebagai pekerjaan," susulnya. "Aku hanya penasaran, siapa pemilik meja di depan mejaku. Meja siapa itu?"

"Mejaku," asal Jiyong, yang tentu saja tidak berhasil membuat Lisa percaya. "Tidak tahu, dia editor dari Jepang. Tanya yang lainnya."

"Ah... Jadi benar-benar Nana yang ku kenal. Reaksimu mudah sekali ditebak, payah."

***

Nightmare for The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang