16

305 92 3
                                    

***

Lisa datang ke rumah Jiyong dengan tiga kopernya. Gadis itu ingin segera masuk ke dalam rumah pria itu, tapi Jiyong sudah mengganti kode pintunya. Ia sudah mencoba semua angka yang mungkin Jiyong pakai, namun tetap gagal membuka pintunya. Sejak tiga puluh menit lalu, Jiyong sudah tiga kali meneleponnya. Mungkin pria itu khawatir setelah melewatkan satu panggilan Lisa. Gadis yang tinggal sendirian meneleponnya tengah malam begini, Jiyong tentu khawatir karenanya.

"Dimana kau sekarang? Apa yang terjadi di rumahmu?" tanya Jiyong, begitu Lisa menjawab panggilannya yang keempat.

"Ya?"

"Apa yang terjadi di rumahmu? Kenapa pintunya rusak? Dimana kau sekarang?!"

"Ah... Oppa di rumahku? Aku ada di depan rumahmu. Apa kode pintunya? Kenapa oppa mengganti kodenya?"

"Kenapa kau- heish! Kode lama, di balik. Tunggu di sana, aku akan mengantarmu ke rumah orangtuamu-"

"Tunggu sebentar!" potong Lisa. "Carikan kunci mobilku, aku tidak bisa menemukannya. Aku ke sini naik taksi tadi. Aku rasa, aku meninggalkannya di meja, tapi dia tidak ada. Perbaiki pintuku juga, buang TV-nya, carikan seseorang untuk membersihkan rumahku juga," susulnya, memberi Jiyong banyak pekerjaan sebelum membiarkannya kesal dan marah.

Jiyong akhirnya menunggu seorang ahli kunci memperbaiki pintu rumah Lisa. Selama menunggu, ia juga merapikan beberapa barang di rumah itu, mencari kunci mobil Lisa namun yang ditemukannya justru formulir pendaftaran pernikahannya tiga tahun lalu. Lisa sudah menandatangani formulir itu, orangtuanya yang jadi saksi juga sudah menandatanganinya. Hanya Jiyong yang belum melakukannya.

Sembari duduk di lantai, ia memperhatikan formulir pendaftaran itu. Membacanya berulangkali sementara di pintu ada seorang paruh baya yang sedang memperbaiki kunci. "Dia seharusnya membuang ini," gumam Jiyong, memandangi selembar kertas di tangannya.

Setelah kurang lebih dua jam ia tinggal di rumah Lisa, merapikan sedikit kekacauan di sana, pria itu pulang ke rumahnya. Tidak ada banyak hal yang berbeda di rumahnya, selain tiga koper Lisa yang berdiri di depan pintu kamarnya. Gadis itu sudah tidur ketika Jiyong datang. Lisa tidur di kamar utama, di kamar Jiyong. Pintu kamar tamu terbuka, Jiyong tahu Lisa sudah ke sana, karena biasanya pintunya selalu tertutup. Lisa tidak bisa tidur di kamar tamu sebab tidak ada seprei dan selimut di sana.

Di atas ranjangnya, Lisa terlihat begitu tenang. Tidurnya amat nyenyak hingga gadis itu tidak menyadari kehadiran Jiyong di sana. Lisa tidak tahu kalau Jiyong berdiri di sebelahnya, menatapnya dalam diam untuk beberapa menit lamanya. "Apa yang harus kulakukan padamu? Kau tidak boleh ada di sini. Hari-hariku seperti neraka. Aku bernafas tapi tidak benar-benar bernafas. Kau tidak boleh tinggal bersamaku. Setiap kali aku merasa sedikit senang, tiba-tiba aku mengingatnya. Apa aku berhak bahagia seperti ini? Apa aku boleh tertawa seperti ini? Apa aku berhak makan enak? Apa aku pantas tidur nyenyak? Setiap hari aku tersiksa karena pertanyaan-pertanyaan itu. Kau tidak boleh tersiksa bersamaku. Mana tega aku membiarkanmu hidup seperti ini?"

Sepanjang malam Jiyong tidak bisa tidur. Ia berbaring di sofa, menutup matanya, sama sekali tidak bicara, namun tidak benar-benar tidur. Sampai pagi datang dan pria itu perlu kopi untuk memacu detak jantungnya yang melemah. Tubuhnya lelah karena ia tidak tidur, jadi ia perlu kopi meski matanya sama sekali tidak mengantuk.

"Oppa, kau tidak tidur semalaman?" tanya Lisa, melangkah keluar dari kamar tidur utama dengan piyamanya. Ia terus bergerak, lantas kembali berbaring di sofa yang sebelumnya Jiyong tiduri. "Kenapa? Karena aku memakai kamarmu? Sebenarnya aku ingin tidur di sofa, tapi aku tidak mau merepotkanmu lagi, aku tidak ingin oppa menggendongku ke ranjang, jadi aku tidur di kamarmu," ocehnya, seolah ia baru saja melakukan sesuatu yang berguna.

"Apa yang terjadi di rumahmu? Pencuri?"

"Tidak. Aku yang melakukannya," jawab Lisa, masih berbaring, menatap pantulan bayangannya di TV besar di depannya. Bayangan Jiyong yang berdiri di dapur, sedang menunggu mesin kopinya selesai bekerja, juga ada di layar TV itu. "Apa oppa ingat aku dan teman-temanku pernah mencuri di laboratorium biologi di sekolahku karena tidak ingin praktikum membedah katak? Ibuku di panggil ke sekolah dan aku dipukuli setelah itu, ingat? Kemarin aku ingin melakukannya lagi. Aku acak-acak rumahku, berpura-pura kalau ada pencuri yang datang ke rumahku, aku takut lalu memohon padamu agar diizinkan tinggal di sini, begitu rencanaku. Tapi gagal. Aku malu melakukannya. Ah! Dan soal kunci mobilku, aku lupa kalau asisten Kim mengantarku pulang kemarin, kunci mobilku terbawa olehnya, semalam dia meneleponku setelah oppa mematikan teleponmu."

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan?! Kenapa kau bersikap sampai seperti ini?! Apa susahnya pergi dariku? Kau sudah pernah melakukannya, kenapa kau kembali dan membuatku hampir gila begini?!" kesal Jiyong, membentak Lisa dari dapurnya yang hanya di batasi sebuah rak-rak kayu kosong.

Lisa yang sebelumnya berbaring, kini duduk di sofa, menghadap ke belakang, menatap Jiyong di dapur. Ini masih terlalu pagi untuk bertengkar tapi bertengkar jauh lebih baik daripada di abaikan. Lisa tidak menunjukan ekspresi apapun ketika mendengar marah Jiyong. Gadis itu turun dari sofa, melangkah ke dapur untuk menghampiri Jiyong. Di depan pria itu, ia berdiri, meraih tangan Jiyong kemudian tersenyum.

"Aku tahu oppa kesulitan sekarang. Tapi cobalah untuk menahannya. Meski hatimu sakit, tahan. Hm?" tenang Lisa. "Meski harus dipukuli ibuku lagi, aku akan tetap tinggal di sini. Aku akan tetap menempel padamu, jadi meski sedikit menganggu, tahan."

"Kenapa kau sangat keras kepala?!" Jiyong menyingkirkan tangan gadis itu dari miliknya. Namun Lisa justru memukul kepala pria itu, tidak benar-benar keras tapi cukup untuk mengejutkan Jiyong. Pukulan Lisa membuat Jiyong membulatkan matanya.

"Kepalamu juga keras," jawab Lisa yang selanjutnya mengusap tempat ia memukul Jiyong tadi. "Sejak dulu aku memang keras kepala. Tiga tahun lalu aku sudah mengalah. Aku sudah pergi seperti yang oppa mau. Sekarang, giliranmu, giliran oppa yang mengalah. Setidaknya, mengalah lah selama tiga tahun, sama sepertiku. Oppa bisa melakukannya untukku, kan?"

"Kau hanya membuang-buang waktu-"

"Aku punya banyak waktu, aku bisa membuang beberapa. Hanya tiga tahun, tidak akan lama. Saat bersamaku, waktu akan cepat berlalu," tenang Lisa.

Dengan sengaja ia peluk Jiyong, mengejutkan jantung pria itu, membuatnya hampir mati karena tersengat listrik yang tiba-tiba memenuhi hatinya. Selama ini tidak ada seorang pun yang memeluknya selain Lisa. Tidak ada juga yang memukul kepalanya selain wanita itu.

"Sudah saatnya pergi kerja, aku mandi duluan... Tapi, boleh aku pulang lebih awal hari ini? Aku perlu bersih-"

"Tidak. Kau tidak akan tinggal di sini."

"Oppa!" kesal Lisa, yang sebelumnya berfikir kalau kata-katanya sudah berhasil memikat Jiyong. Sepertinya Lisa lupa, darimana ia belajar jadi orang keras kepala sebelumnya.

***

Nightmare for The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang