***
Sedari kecil, Lisa sama sekali tidak tertarik untuk bekerja di perusahaan ayahnya. Gadis itu bahkan memilih kuliah di tempat yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan bisnis keluarganya. Biar saja ayahnya, paman dan bibinya, lalu sepupu-sepupunya yang mengurus bisnis keluarga itu. Lisa tidak menginginkannya. Perusahaan yang awalnya hanya perusahaan kecil, sekarang punya cabang hampir di setiap kota. Bisnisnya berkembang pesat meski Tuan Kim tidak punya anak laki-laki untuk mewarisinya. Dari rumor yang beredar, sepupu Lisa yang akan mewarisinya, keponakan kesayangan Tuan Kim.
"Oh anak laki-laki kesayangan ayahku," sapa Lisa, pada seorang pria yang duduk di kursi kerjanya. "Hai Ravi, lama tidak bertemu," susulnya, mengambil duduk di salah satu sofa kemudian memperhatikan sekeliling ruang kerja itu. "Bagaimana rasanya menjadi kepala cabang paling muda di sini? Apa orang-orang tua di sini merundungmu?"
"Halo anak kandung kesayangan pamanku, lama tidak bertemu, kau bahkan tidak datang ke pesta pernikahanku," balas Ravi, melangkah meninggalkan kursinya kemudian duduk di hadapan Lisa.
"Maaf, saat itu aku tidak bisa pergi. Aku ingin terbang ke sini, tapi tidak bisa. Aku harus di operasi hari itu. Hanya operasi kecil, di perut, tapi sakit sekali... Jangan sampai kau di operasi di perut. Kau tidak akan bisa makan. Menyebalkan," ucap Lisa, yang kemudian mengatakan kalau ia mengirim hadiah untuk Ravi sebagai ganti kedatangannya— gaun pengantin dan tuksedo, karya seorang desainer terkenal dari Paris.
"Jadi, apa kesalahanmu sampai kau dikirim ke sini, nona?" tanya Ravi.
"Karena sudah tiga tahun tidak pulang?" asal Lisa. "Jadi apa pekerjaanku? Aku harap bukan sesuatu yang sulit. Yang aku bisa hanya menulis. Aku tidak tahu tentang urusan lainnya."
Awalnya Ravi ingin Lisa bekerja sebagai salah satu sekretarisnya. Bekerja di kantor sekretaris tentu akan sangat mudah untuk Lisa yang selama ini hidup dengan menulis. Lisa hanya perlu menyusun jadwal Ravi dan meringkas berkas-berkas bersama tiga orang lainnya. Namun Tuan Kim punya rencana lainnya. Ia tidak ingin putrinya jadi sekretaris, terlebih bekerja untuk Ravi. Lisa hanya akan bermain kalau begitu situasinya. Ia tidak akan menyerah kemudian pergi dari rumah Jiyong kalau ditempatkan di posisi yang nyaman. Karenanya, sesuai permintaan Tuan Kim, Ravi memperkerjakan Lisa di tim marketing, bagian periklanan.
Lisa akan bekerja dengan tiga orang lainnya dan seorang ketua tim. Tugasnya membuat iklan-iklan menarik untuk setiap produk yang akan mereka jual— makanan. Lisa tidak keberatan. Ia bersedia ditempatkan di tim manapun, dengan satu syarat. "Aku tidak mau dikenal sebagai putri ayahku. Aku tidak suka didekati para penjilat. Akan lebih baik kalau mereka merundungku, jadi aku punya alasan untuk berhenti dari sini," syarat Lisa, dengan sedikit candaan di akhir kalimatnya.
"Hm... Hanya aku yang tahu kalau kau putri ayahmu. Orang-orang di sini hampir tidak pernah ke kantor pusat. Aku jamin mereka tidak pernah melihat fotomu di ruang kerja ayahmu. Hubungi aku kalau kau kesulitan. Jangan mengadu pada ayahmu kalau pekerjaannya terlalu sulit," pesan Ravi.
"Baiklah," angguk Lisa. "Aku akan mengirimimu pesan setiap lima menit sekali. Ravi, AC-nya panas... Ravi, kopinya pahit... Ravi tehnya-"
"Selamat bekerja," potong Ravi, membuat Lisa terkekeh kemudian melangkah keluar dari ruang kerja sepupunya itu.
Begitu tiba di ruang kerjanya, ternyata Lisa menggantikan seorang karyawan yang baru saja mengundurkan diri. Lisa tidak tahu alasan orang sebelumnya mengundurkan diri namun suasana di ruang kerjanya terasa sangat begitu tidak menyenangkan. Ketua timnya seorang pria lima puluh tahun bernama Park Taeoh. Lalu tiga orang anggota tim yang kelihatannya tidak begitu akur. Ada Park Jihyo yang kelihatan paling senior di antara anggota tim lainnya, usianya mungkin ada di pertengahan empat puluh tahun. Kemudian ada dua pria yang kelihatannya sepantaran dengan Lisa, Kim Seonho dan Cha Eunwoo.
Hari pertama berlalu begitu saja. Tidak banyak hal spesial yang terjadi kecuali Park Jihyo yang dengan jelas menunjukan ketidak sukaannya pada Lisa. Entah apa yang sudah wanita itu dengar, namun sikapnya terasa begitu dingin pada Lisa. Seolah ia tidak suka dengan kehadiran Lisa di sana.
Malamnya, sepulang kerja, Lisa menelepon Jiyong. Jam sudah menunjuk pukul sebelas ketika Lisa menelepon. Gadis yang sempat membuat Jiyong khawatir itu meminta Jiyong untuk menjemputnya malam ini. Dengan suara yang lemah, jauh berbeda dari pagi tadi, ia berucap— "aku ada di jembatan sekarang, bisakah oppa ke sini?" tanya Lisa, sebelum Jiyong sempat bertanya.
"Jembatan mana?"
"Dekat rumah."
"Kau sendirian di sana?" tanya Jiyong, bergegas bangkit dari ranjangnya, meraih dompetnya untuk pergi mencari taksi, untuk menjemput Lisa yang kedengarannya sakit.
"Hm..."
"Jangan keluar dari mobilmu, tetap di sana."
"Hm..."
"Aku akan naik taksi ke sana- tidak, aku akan secepatnya ke sana, tetaplah di sana."
"Hm..."
Sepuluh menit, Jiyong datang sembari terengah-engah. Pria itu berlari, melewati taman di sebelah gedung apartemennya, gerbang besar di depan kompleks apartemennya, jalan setapak sepanjang dua halte kemudian sampai di jembatan. Sialnya, Lisa ada di ujung lain jembatan itu, membuat Jiyong harus berlari lebih jauh lagi. Jaraknya tidak terlalu jauh. Kalau senggang Jiyong bisa berlari lebih jauh dari itu, namun kali ini Jiyong berlari lebih cepat dari biasanya.
Akhirnya, ia temukan mobil Lisa, mengetuk jendelanya kemudian membuka pintunya. Lisa ada di dalam, mendorong sandaran kursinya kebelakang, berbaring di sana dengan lengan yang menutupi wajahnya, pipinya basah dan ia berpaling untuk menghindari tatapan Jiyong. "Aku tidak ingin bekerja di sana," bisik Lisa, di hari pertamanya bekerja. "Aku tidak ingin kembali ke sana, aku tidak ingin melakukan apapun. Perutku sakit, kepalaku sakit, dadaku juga sakit, aku tidak bisa bekerja di sana," lanjutnya, berusaha keras untuk memunggungi Jiyong, menghindari pria yang ia minta datang.
Jiyong tidak mengatakan apapun. Ia ulurkan tangannya, menarik lengan Lisa yang menutupi wajahnya kemudian tersenyum. "Pindah ke sebelah, kau akan ditilang lagi kalau terlalu lama berhenti di sini," tenang Jiyong, membuat Lisa harus berguling untuk bergerak ke kursi sebelah.
Setelah duduk di kursi penumpang, Lisa menghapus air matanya. Jiyong melangkah masuk ke dalam mobil itu, duduk di kursinya, menarik kembali sandaran kursinya namun sengaja mengulurkan tangannya untuk merendahkan sandaran kursi Lisa.
"Tidur lah sebentar, kita jalan-jalan sebentar sebelum pulang," ucap Jiyong, sengaja mengusap dahi Lisa, lantas memasang seat belt-nya dan mulai mengemudi, melajukan mobil itu melewati jembatan, melewati kompleks apartemennya, terus melaju tanpa tujuan. "Berapa banyak kau minum-minum hari ini? Pesta penyambutanmu membosankan?" tanya Jiyong, sebab ia tahu Lisa tidak benar-benar tidur. Gadis itu hanya menutup matanya dengan lengannya, mencoba menyembunyikan matanya yang terus mengeluarkan air.
"Itu neraka."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare for The Devil
FanfictionDalam pikirannya, ia yang paling kejam. Dalam kenangannya, ia yang paling keji. Namun gadis itu datang kemudian menyeretnya ke mimpi buruk dalam terowongan gemerlap tanpa ujung.