***
Sabtu malam, Lisa berkunjung ke rumah Jiyong setelah ia menemui orangtuanya di rumah. Gadis itu masuk ke dalam apartemen Jiyong, membawakan seporsi makan malam untuk si pemilik rumah yang juga baru kembali dari pertemuannya. Jiyong sedang menelepon ketika Lisa datang, memeluknya kemudian melepaskan pelukan itu dan berjalan ke dapur, menyajikan makanan dari restoran yang ia bawa.
"Aku sudah makan," ucap Jiyong, setelah ia mengakhiri panggilan bisnisnya. "Bukankah tadi aku sudah bilang kalau aku makan malam dengan seseorang dari Bank?"
"Hm... Karena itu aku hanya membeli satu porsi, ini camilan," angguk Lisa, yang selanjutnya duduk di meja makan, ia pun sudah makan malam bersama orangtuanya tadi. "Aku butuh tutor, tutor sungguhan," ucapnya tiba-tiba, sama sekali tidak berhubungan dengan makanan yang Jiyong bicarakan.
Jiyong duduk di sebrang Lisa, memperhatikan gadis itu sembari sesekali melirik handphonenya yang bergetar. Beberapa pesan baru saja masuk, Jiyong seharusnya mengecek pesan-pesan itu namun ia justru mematikan handphonenya.
"Jadi bagaimana hasil pertemuanmu tadi? Lancar?" tanya Jiyong sembari menekan mati handphonenya.
"Aku melanggar kata-kataku sendiri," jawab Lisa. "Aku menemui ayahku, aku bilang padanya kalau aku sudah keluar dari rumahmu dan tinggal di rumahku sendiri. Lalu dia bilang kalau aku boleh berhenti dari perusahaan dan mencari kerja sendiri, seperti sebelumnya. Aku mendapatkan kembali kebebasanku. Tapi... Aku tidak bisa melakukannya."
"Kau akan tetap bekerja di perusahaan?"
"Hmm... Iya," angguk Lisa. "Aku tidak bisa melepaskan orang-orang itu begitu saja. Kalau aku mengundurkan diri begitu saja, mereka akan terus begitu. Sebelumnya aku berencana memberitahu mereka kalau aku putri ayahku, lalu mengundurkan diri sambil menangis, mengadu pada Ravi dan mereka dipecat. Tapi aku berubah pikiran. Jadi tadi, aku minta ayahku untuk memberiku jabatan yang lebih tinggi di kantor. Ayahku mau memberikannya, tapi aku harus belajar. Memalukan kalau aku membuat perusahaan rugi karena tidak tahu apapun."
"Wah... Ayahmu pasti senang sekali sekarang, dia baru saja berhasil membangunkan ambisimu. Kau tidak pernah menunjukkan ambisimu padanya, dia pasti terkejut."
"Karena itu aku butuh tutor... Aku tidak pernah berbisnis sama sekali. Aku belum tahu jabatan yang akan ayahku berikan, tidak mungkin jadi direktur utama, itu posisi Ravi, mungkin kepala marketing? Pokoknya, aku harus jadi atasan Park Jihyo yang menyebalkan itu. Akan ku buat dia datang ke neraka setiap hari sampai dia menyerah dan mengundurkan diri."
Jiyong menganggukan kepalanya. Ia memahami apa yang Lisa inginkan, ia tahu apa yang harus dilakukannya. Lantas pria itu bangkit, melangkah masuk ke ruang kerja yang hampir tidak pernah ia singgahi, mencari sesuatu di sana. Tidak lama setelahnya, Jiyong keluar dengan sebuah buku di tangannya. Bukan buku bacaan hasil terbitan penulis terkenal, tapi sebuah buku catatan dengan sampul kulit tebal.
"Tiga hari harusnya cukup untuk mempelajari semua ini. Sebagian istilahnya perlu di hafal," ucapnya, memberikan buku catatan yang ia buat tiga tahun lalu. Isinya bukan kisi-kisi ujian bisnis atau marketing, namun apa-apa saja yang Jiyong anggap penting di awal jalannya menjadi direktur tiga tahun lalu. "Jangan mempermalukanku karena tidak tahu istilah-istilah pentingnya," pesan Jiyong, sengaja mengusap rambut Lisa sedang gadis itu mulai membuka buku catatan yang ia berikan.
"Wahh..." seru Lisa, seolah ia akan memuji semua catatan yang Jiyong buat untuk pria itu pelajari sendiri. "Tulisanmu jelek sekali... Apa tidak ada versi yang sudah diketik?" susulnya, masih sembari membaca kata demi kata yang ada di dalam buku catatan itu.
"Bagaimana kalau kau ikut kelas bisnis saja? Belajar dengan orang lain yang memang profesional?"
"Tidak mau," geleng Lisa. "Sejak ibuku pertama kali membawamu ke rumahku, aku sudah memutuskan tidak akan memperkerjakan tutor lainnya. Hanya oppa yang bisa mengajariku."
"Kau memutuskan itu karena tidak mau belajar. Akan ku buat ibuku menyesal karena membawa seorang tutor pulang, dia akan jadi tutor terakhirku— itu yang kau pikirkan waktu itu, iya kan?"
"Waktu itu aku nakal sekali ya?" tanya Lisa dan dengan santai Jiyong menganggukan kepalanya.
Mereka banyak berbincang malam ini, namun Lisa memilih untuk pulang meski jam sudah menunjuk pukul dua dini hari. Jiyong mengantar gadis itu sampai tempat parkir, lantas beberapa menit kemudian mereka kembali bicara di telepon setelah Lisa sampai di rumahnya. Kali ini pembicaraannya tidak berlangsung lama, mereka perlu tidur.
Minggu siang, Jiyong menelepon Lisa ketika gadis itu masih tidur. Ia tunggu dering teleponnya berubah jadi suara gadis yang di carinya, lantas berucap, "dimana kau sekarang?" tanyanya setelah ia mendengar Lisa menggumam menyapanya. "Masih tidur?" susulnya, yang kemudian Lisa iyakan dengan suara paraunya.
"Apa kita ada janji hari ini?" tanya Lisa kemudian.
"Tidak, apa kode pintumu?"
"Sama seperti milikmu, kenapa? Oppa akan datang?"
"Aku sudah datang," jawab Jiyong, membuka pintu rumah Lisa, melangkah masuk lalu menutup kembali pintu itu sembari mematikan panggilannya.
Lisa duduk di ranjangnya ketika melihat Jiyong datang. Ia mengatakan kalau pelayan dari rumah Lisa baru saja datang ke rumahnya, mengantarkan makanan untuk mengisi lemari esnya. Meski sebenarnya pelayan itu disuruh datang untuk memastikan kalau Lisa sudah pindah ke rumahnya sendiri.
"Aku tahu bibi akan datang, karena itu aku bersikeras pulang tadi malam," jawab Lisa, mengusap kedua matanya dengan punggung tangannya lantas memerhatikan Jiyong yang berdiri di depan meja makan, sedikit bersandar pada meja kayu itu dan memperhatikan Lisa. "Tapi, oppa akan pergi ke suatu tempat? Kenapa rapi sekali?" tanyanya, setelah ia melihat Jiyong dengan setelan jasnya yang biasanya.
"Ayo berkencan."
"Kemana? Dengan siapa?"
"Belanja?"
"Yang jelas, jangan menyuruhku berfikir sekarang, otakku masih tidur."
"Bazar VIP di mall, aku dapat undangannya."
"Ada mereka semua?" tanya Lisa, menunjuk sebuah rak berisi tas-tas bermereknya.
"Pasti ada."
"Yey! Kalau begitu aku mandi dulu," seru Lisa, bergegas bangkit, melangkah ke kamar mandi tanpa menoleh lagi pada ranjangnya yang masih berantakan. Sampai gadis itu pergi tidur lagi, Lisa tidak akan merapikan ranjangnya.
Kalau ia pergi sendirian, Lisa tidak akan berdandan. Akan ia pakai pakaian santainya, memakai sepatu ketsnya, tanpa tas, hanya dengan handphone dan dompetnya. Namun karena Jiyong memakai setelannya, mau tidak mau gadis itu harus berdandan, membuat rambutnya jatuh bergelombang, memoles wajahnya dengan warna-warna lembut kemudian memakai pakaian formal yang sesuai dengan pakaian Jiyong. Lisa butuh satu jam untuk bersiap-siap.
"Biasanya oppa mengeluh kalau aku membuatmu menunggu terlalu lama," komentar Lisa, yang sekarang masih mengisi tasnya dengan beberapa barang.
"Setelah aku mulai bekerja di kantor, aku tahu kalau cantik butuh waktu dan usaha. Setidaknya kau lebih baik, tahun lalu saat pergi dengan rekanku, aku harus mengantarnya ke salon. Dia membuatku menunggu tiga jam di salon."
"Siapa rekanmu itu?"
"Dasom."
"Aku cemburu," sebal Lisa. "Oppa tidak pernah menemaniku ke salon."
"Lain kali aku akan menemanimu ke salon. Atau setelah belanja kita pergi ke salon?"
"Enak saja. Setelah belanja harus makan."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare for The Devil
FanfictionDalam pikirannya, ia yang paling kejam. Dalam kenangannya, ia yang paling keji. Namun gadis itu datang kemudian menyeretnya ke mimpi buruk dalam terowongan gemerlap tanpa ujung.