***
Mereka akhirnya pulang setelah satu jam berkeliling tanpa tujuan. Jiyong memegangi lengan Lisa sampai mereka tiba di rumah, di ruang tengah. "Aku ganti baju sebentar," pamit Jiyong, meninggalkan Lisa di sofa untuk melangkah ke kamarnya, mengganti pakaiannya yang lembab karena keringat setelah berlari.
Begitu kembali, Jiyong duduk di atas meja. Ia ulurkan sebotol air mineral yang baru diambilnya dari lemari es kemudian memperhatikan raut wajah gadis itu. "Kenapa kau menangis?" tanya Jiyong kemudian, setelah Lisa menghabiskan air mineralnya dalam sekali minum.
"Kesal," singkat Lisa.
"Sangat kesal sampai menangis?"
"Hm..."
"Kenapa?"
"Ini hari pertamaku bekerja di kantor, Ravi menyuruhku bekerja di bagian periklanan. Tapi ada seorang senior yang sangat menyebalkan di sana. Sampai jam makan siang dia mengabaikanku. Dia bahkan tidak menjawab sapaanku. Lalu di jam makan siang, semua orang mengabaikanku, kami pergi makan sendiri-sendiri. Tuan Kim bilang dia ada janji dengan seorang fotografer lalu pergi lebih dulu. Tuan Cha pergi begitu sana dengan Nona Park dan Kepala Park. Aku diabaikan. Tapi tidak apa-apa. Aku bisa makan sendirian. Aku tidak tahu dimana kafetarianya, jadi aku pergi keluar kantor. Saat kembali, aku membelikan mereka semua kopi, tapi di lift seseorang membicarakanku. Hari ini ada staff baru di bagian iklan. Masih muda, tapi tidak tahu apa-apa, dia diterima bekerja di waktu-waktu seperti ini, tanpa kemampuan, dia pasti simpanan salah satu direktur di sini. Begitu katanya, padahal sampai jam makan siang aku tidak di beri tugas apapun. Aku hanya diabaikan. Aku bertanya apa tugasku, tapi tidak ada yang memberiku tugas. Bahkan ketua timnya hanya menyuruhku menunggu di mejaku. Lalu mereka mengadakan pesta penyambutan untukku. Katanya itu untukku, tapi sampai pesta itu selesai dua ronde, di restoran lalu ke tempat karaoke, hanya Tuan Kim yang mengajakku bicara! Apa mereka tidak melihatku?!" kesal Lisa, terus mengoceh sementara pria di hadapannya hanya diam, mendengarkan.
"Simpanan direktur? Direktur mana yang berani menjadikanmu simpanan di sana? Dia pasti sudah gila-"
"Oppa menjadikanku simpanan, karena kau berpura-pura sudah menikah," potong Lisa, yang kemudian berbaring di sofa. "Tadi oppa berlari menjemputku?"
"Hm... Tidak ada taksi. Kau sudah merasa lebih baik?"
"Perutku masih sedikit sakit tapi sudah lebih baik setelah menangis."
"Perlu ke dokter?"
"Tidak. Perutku memang selalu sakit saat stress, dokter bilang jangan minum obat kalau masih bisa di tahan. Sekarang sakitnya sudah berkurang, tidak perlu ke dokter," tenang Lisa. "Tapi oppa, malam ini saja, bisakah oppa melupakan Sohyun eonni dan jadi oppaku?" pinta Lisa, yang justru membuat Jiyong sedikit canggung. Sejak Lisa menelepon tadi, Jiyong tidak mengingat Sohyun sama sekali. Pria itu melupakannya untuk beberapa waktu, ketika kepalanya hanya dipenuhi oleh rasa khawatir, oleh Lisa.
"Malam ini saja jangan menolakku, aku ingin ditemani sekarang, tidak ingin yang lain. Oppa hanya perlu duduk di depanku, atau memelukku kalau kau tidak keberatan. Kalau sepanjang malam terlalu lama, hanya sampai aku tidur, ya?" pintanya sekali lagi.
"Hapus dulu riasanmu, ganti pakaianmu lalu tidur-"
"Lakukan untukku," potong Lisa. "Penghapus riasannya ada di kamar, kode pintunya sama seperti kode pintu depan," susulnya.
Jiyong kemudian bangkit, melangkah ke kamar tamu, membuka pintunya kemudian masuk ke dalam kamar itu. Sesaat, pria itu terdiam, terkejut melihat kamar tamu yang sebelumnya kosong terasa sangat hidup. Ranjang, pernak-pernik, lemari pakaian, meja rias, sofa, karpet sampai rak berisi tas dan sepatu, semuanya tertata rapi, sangat manis meski kelihatan sedikit penuh. Sangat berbeda dari sebelumnya.
Ia kembali setelah menemukan cairan penghapus riasannya. Dengan beberapa lembar kapas, ia bersihkan wajah gadis yang tetap berbaring di sofa. Mereka melakukannya tanpa mengatakan apapun. Dengan lembut Jiyong mengusap wajah Lisa, memperhatikan lekuk wajahnya, garis rahangnya, bentuk hidungnya, lengkung bibirnya. Semuanya sempurna, Jiyong menyukainya.
"Apa tawaranmu masih berlaku?" tanya Jiyong tiba-tiba.
"Tawaran yang mana?" balas Lisa, tanpa membuka matanya. "Aku akan pergi dari sini kalau menyerah bekerja di kantor? Aku belum menyerah. Aku hanya menangis dan merusak maskaraku."
"Bukan yang itu."
"Lalu?" tanya Lisa, kali ini ia buka matanya, menatap Jiyong yang masih mengusap wajahnya dengan kapas basah. "Tidak bisakah oppa langsung mengatakannya? Aku gugup kalau kau ragu-ragu begitu."
"Kau akan menungguku, kau akan merawatku, kau tidak akan pergi," jawab Jiyong, menyelesaikan pekerjaannya, kemudian bergerak menjauhi Lisa. Ia kembali duduk di atas meja sembari mengelap tangannya dengan sisa kapas yang ia bawa. "Tawaran yang itu, masih berlaku?"
"Masih!" seru Lisa, bergegas bangkit dari tidurnya, duduk di sofa kemudian mencondongkan tubuhnya untuk memeluk Jiyong.
Kwon Jiyong masih merasa canggung untuk balas memeluk Lisa. Pria itu hanya diam, membeku di tempatnya. Lisa tidak keberatan. Ia bisa memeluk Jiyong meski pria itu tidak memeluknya.
"Temani aku menemui dokter juga?" tanya Jiyong, lalu Lisa menganggukan kepalanya.
Perlahan Lisa melepaskan pelukan itu. Lantas bertanya kenapa Jiyong tiba-tiba berubah pikiran. Kenapa Jiyong tiba-tiba mau menerimanya kembali. Namun semua itu tidak tiba-tiba terjadi. Sementara Lisa berusaha membuat Jiyong kembali padanya, Jiyong juga berusaha keras memenangkan debat batinnya. Jiyong juga berusaha memberanikan diri untuk meraih Lisa kembali.
"Aku akan berusaha sekarang. Tapi sebelum itu, aku harus minta maaf padamu, iya kan?" ucap Jiyong yang kemudian menundukkan kepalanya. "Aku minta maaf karena membatalkan pernikahan kita. Aku juga minta maaf karena membuatmu harus berbohong tentang alasannya. Aku tidak punya keberanian untuk mengatakan pada orangtuamu kalau aku yang menyuruhmu pergi. Tapi sekarang aku akan mencoba meluruskannya. Kita berpisah karenaku. Aku tidak ingin melukaimu dengan rasa bersalahku. Tapi aku justru melukaimu dengan cara yang lainnya. Maafkan aku,"
"Tidak perlu mengatakan apapun pada orangtuaku. Tapi berusaha lah. Aku banyak terluka karenamu. Saat oppa bertanya-tanya, apakah kau boleh bahagia setelah membiarkan Sohyun eonni pergi begitu saja, aku juga bertanya-tanya, boleh kah aku bahagia sementara keluargaku tersiksa karena rasa bersalahnya? Pantaskah aku tidur nyenyak sementara pria yang kucintai sengsara sendirian? Apa aku berhak makan enak di sini?"
"Kau mendengarnya."
"Hm... Aku tahu oppa datang. Aku ingin bangun dan menjawabnya, tapi tubuhku tidak mau bergerak. Hatiku sakit saat mendengarnya," jawab Lisa. "Tapi, setelah sepanjang malam aku memikirkan jawabannya, aku mendapat dua jawaban yang berbeda. Oppa boleh bahagia, oppa berhak tidur nyenyak, oppa pantas makan enak. Tapi aku tidak, aku tidak boleh bahagia, tidak berhak tidur nyenyak, tidak pantas makan enak. Alasannya, oppa sudah melakukan semua yang oppa bisa untuk Sohyun eonni. Tidak ada lagi hal yang bisa oppa lakukan untuknya. Tapi aku, aku tidak melakukan apapun untukmu, aku melarikan diri darimu, aku meninggalkanmu. Karena itu, sekarang aku akan berusaha. Aku akan melakukan semua yang ku bisa untuk membantumu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare for The Devil
FanfictionDalam pikirannya, ia yang paling kejam. Dalam kenangannya, ia yang paling keji. Namun gadis itu datang kemudian menyeretnya ke mimpi buruk dalam terowongan gemerlap tanpa ujung.