7

384 102 3
                                    

***

Jiyong kembali masuk setelah melihat Lisa duduk di mobilnya. Bersandar ke kap mobil itu sebab ia tidak bisa masuk ke dalam. Tas dan kunci mobilnya masih ada di meja kerjanya. Jiyong tidak kembali ke dalam ruang kerjanya, hanya dengan kemeja hitamnya, pria itu mengambil kunci mobil Lisa juga tas dan ponsel gadis itu. Semua mata menatapnya, namun tanpa banyak bicara Jiyong membawa barang-barang Lisa keluar.

"Lanjutkan saja pekerjaan kalian seperti biasanya," pesan Jiyong sebelum ia meninggalkan ruang editorial itu.

Tanpa menyerahkan kunci mobil dan barang-barang Lisa pada pemiliknya, Jiyong membuka kunci mobil Lisa. Ia melangkah mendekat, menghampiri Lisa yang hanya menatapnya. "Masuk," suruh Jiyong setelahnya.

Pria itu masuk ke dalam mobil Lisa, duduk di kursi pengemudi sementara Lisa masih berdiri di tempatnya semula, memperhatikan Jiyong dan sikapnya. Jiyong tidak mengulang perintahnya, pria itu justru menyalakan mobil Lisa, menekan klakson mobilnya dan menunggu Lisa masuk ke dalam mobil sendiri, di kursi penumpang.

"Kemana?" tanya Jiyong kemudian. "Rumahmu atau rumah orangtuamu?" susulnya, asal menebak.

"Rumahku," pelan Lisa, menghindari kontak mata dengan Jiyong, gadis itu menatap keluar.

Lima menit perjalanan keduanya tetap diam. Lisa diam di posisinya dan Jiyong pun mengemudi dengan tenang. Sampai akhirnya Lisa yang pertama kali membuka mulutnya— "apa aku salah?" tanyanya.

"Tergantung darimana kau ingin dinilai."

"Jadi aku yang salah?"

"Aku mengerti maksudmu. Asisten Kim sudah bekerja keras, dia pantas dapat tugas yang lebih baik daripada sekedar membuat kopi. Sudah enam tahun dia jadi asisten editor, dia harusnya sudah jadi editor sekarang. Aku tahu maksudmu, tapi caramu memprotes sama sekali tidak membantu. Kau masih baru di sini, kau belum bisa merekomendasikannya. Tapi Editor Kim bisa merekomendasikannya dan sekarang dia marah. Kau membuatnya marah."

Lisa menghela nafasnya. Kesal karena apa yang terjadi tidak berjalan seperti keinginannya. Ia marah tapi seperti yang Jiyong katakan— kemarahannya hanya memperburuk keadaan.

"Aku harus meminta maaf pada sialan itu?"

"Hm," angguk Jiyong. "Besok saja, lakukan secara pribadi. Sekarang semua orang sedang kesal."

"Apa yang harus ku berikan untuk minta maaf?"

"Tidak ada. Minta maaf saja, katakan kalau kau mengakui kesalahanmu, lalu membungkuk. Setelah itu abaikan apapun yang mereka katakan."

"Iya," tunduk Lisa, dengan kepala yang juga tertunduk seolah ia menyesali perbuatannya.

Lisa terus menghela nafas setelahnya. Menunjukkan dengan jelas kalau ia sedang murung sekarang. Ia buat Jiyong menepikan mobilnya di depan kedai es krim, lantas pria itu berucap— "turun lah, beli beberapa es krim untuk dibawa pulang. Aku tunggu di sini, tidak ada tempat parkir," katanya, ingin sedikit menghibur editornya itu.

Direktur Kwon mengantar Lisa sampai ke rumahnya. Di tempat parkir apartemen Lisa, ia kembalikan kunci mobil gadis itu. "Beristirahat lah, besok jangan terlambat," pesan Jiyong, yang menyimpan kedua tangannya di dalam saku celananya lantas lebih dulu melangkah ke lift. Jiyong harus kembali ke kantor.

Di depan lift, sembari menunggu pintunya terbuka, Lisa bertanya tentang alasan Jiyong mengantarnya pulang hari ini. Jiyong tidak punya alasan khusus, dengan tenang pria itu mengatakan kalau ia mengantar Lisa sebab merasa perlu bicara dengannya. Jiyong perlu menyuruh Lisa meminta maaf agar pekerjaan semua orang di kantor tidak terganggu terlalu lama.

"Aku tidak bisa menikah denganmu. Aku ingin pergi ke Paris, aku dapat pekerjaan di Paris, tapi aku tidak bisa pergi kalau menikah, jadi aku memutuskan untuk tidak menikah dan pergi ke Paris," ucap Lisa, menahan Jiyong yang berdiri di ambang pintu lift. "Itu yang aku katakan pada orangtuaku tiga tahun lalu," susulnya, menjawab pertanyaan yang Jiyong ajukan siang tadi.

Awalnya pria itu beranjak masuk, namun kakinya membeku setelah mendengar kata-kata Lisa. Seperti ada nitrogen dingin yang menyerang kakinya, Jiyong tidak bisa menggerakkan kakinya. Benar-benar tidak bisa bergerak. Ia tetap diam, tanpa mengatakan apapun ia terjatuh, duduk di ambang pintu lift, memukul kakinya yang tidak mau bergerak. Sama seperti tiga tahun lalu— nilai Lisa. Gadis itu lantas mendekat, berlutut di depan Jiyong, memeluk pria itu.

"It's okay," bisik gadis itu, yang justru mendapatkan penolakan.

Lisa di dorong, cukup keras hingga bokongnya bertemu lantai lift yang dingin. Enggan untuk menyerah, Lisa kembali berlutut, kembali memeluk Jiyong yang mulai kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Jiyong terus mendorong Lisa menjauh, namun gadis itu terus berusaha memeluknya. Sampai akhirnya Jiyong menyerah dan balas memeluk Lisa.

"Aku tidak bisa merasakan kakiku," bisik Jiyong, dengan suara parau, gemetar.

Lisa membawa Jiyong ke rumahnya. Ia memapah pria itu, pelan-pelan melangkah lantas mendudukannya di atas tempat tidurnya. Jiyong kembali meremas pergelangan kakinya yang tidak mau bergerak, sedang Lisa mengambilkan segelas air untuknya.

Lisa duduk di ranjang, membungkuk untuk meremas kakinya yang mati rasa seolah beku. Sedang Lisa duduk di lantai, bantu memijat kaki Jiyong dengan sebelah tangannya sementara sebelah lainnya memegangi air yang tidak juga Jiyong terima. Jiyong tidak ingin minum sekarang. Kakinya tidak bisa digerakkan dan dadanya sesak, membuat pria itu harus menarik dasinya, melonggarkannya juga melepaskan kancing kemejanya yang paling atas.

"Apa oppa punya obat yang harus oppa minum?" tanya Lisa kemudian dan Jiyong menganggukan kepalanya. Sayangnya obat itu ada di saku jasnya, di kantor. "Tetap di sini, aku akan mengambilkan obatmu, tunggu sebentar, hm?" susul Lisa, hendak bangkit namun Jiyong menahan tangannya. Pria itu menggeleng, melarang Lisa untuk pergi meninggalkannya.

Dengan posisi menyamping, Jiyong bersandar ke kepala ranjang. Kakinya masih terasa dingin, masih terasa sangat berat, namun tidak separah sebelumnya. Sedang Lisa tetap duduk di lantai, menyadarkan tubuhnya pada tepian ranjang, juga menyandarkan kepalanya ke paha Jiyong. Tangan gadis itu tidak berhenti memijat kaki Jiyong yang terasa kaku, sedang sebelah tangan Jiyong hanya menyentuh ujung-ujung rambut panjang Lisa. Ia ingin mengusap rambut gadis itu tapi tidak berani melakukannya.

"Maaf, karena pernah meninggalkanmu sendirian," gumam Lisa. "Aku sudah kembali sekarang, meski sedikit terlambat."

"Untuk apa kau kembali?"

"Tentu saja karena aku merindukanmu."

***

Nightmare for The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang