***
Tiba di rumah, malam sudah larut. Ketika Lisa datang, Jiyong tengah duduk di ruang tengah, duduk tegak dengan dua orang tamu di hadapannya. Sebelumnya, Jiyong biasa menghabiskan waktunya di kamar. Ia hanya ke dapur untuk mengambil minum kemudian tinggal di kamarnya sampai pagi datang dan ia harus pergi bekerja lagi.
"Oppa-"
"Kau sudah pulang? Kemana saja? Kenapa tidak menjawab teleponmu?" potong tuan Kim— ayah Lisa.
Mendengar suara ayahnya, Lisa berlari ke ruang tengah. Di sana, ia menemukan kedua orangtuanya dengan raut kesal di wajah mereka. Tentu Lisa bertanya bagaimana dua orang paruh baya itu bisa ada di sana. Lisa bertanya darimana orangtuanya tahu kalau ia tinggal di sana dan apa alasan mereka datang. Namun hanya ada satu jawaban untuk semua pertanyaan itu— Jiyong yang memberitahu mereka.
Merasa dikhianati, Lisa menatap sebal pada Jiyong. Padahal Jiyong tahu kalau Lisa akan dapat masalah jika kedua orangtuanya tahu ia tinggal dengan seorang pria. Bahkan saat mereka masih berkencan, Jiyong tidak pernah diizinkan menginap di rumah Lisa, begitu juga sebaliknya. Saat itu, setiap kali berkencan, mereka selalu berpisah sebelum tengah malam.
"Ayo bicara di rumahku," ajak Lisa, menghampiri kursi roda ibunya lantas mendorong kursi itu masuk ke dalam rumahnya— kamar tamu. Sang ayah mengekori mereka, sedang Jiyong baru bisa menghela nafasnya setelah pintu kamar tamu itu tertutup.
"Separah apa dia akan dimarahi?" resah Jiyong, bertanya pada seorang pelayan yang ada di dapur, baru saja selesai memasukan makanan ke dalam lemari es— pelayan di rumah Lisa.
"Dua tamparan di bahu seperti biasanya? Nyonya tidak pernah melakukan yang lebih parah dari itu," jawab si pelayan, memperhatikan Jiyong yang datang mendekat padanya.
"Tapi, kenapa kalian membawakanku makanan? Aku terkejut saat kalian tiba-tiba datang, ku pikir kalian akan datang besok," tanya Jiyong.
"Nyonya yang ingin membawakan anda makanan dan kenapa kami datang sekarang? Aku pun tidak tahu," jawabnya. "Jangan terlalu khawatir Tuan Kwon, nona Lisa akan baik-baik saja," tenang sang pelayan namun dari dalam kamar itu mereka mendengar suara keramik yang pecah.
Sementara Jiyong dan pelayan keluarga Kim salah paham pada suara benda pecah itu, di dalam kamarnya Lisa menatap terkejut pada kedua orangtuanya. "Whoa- maaf, aku tidak sengaja," bisik Lisa, yang baru saja tersandung karpet kemudian menjatuhkan sebuah vas bunga dari atas rak. "Kira-kira berapa harga vas itu? Itu punya Jiyong oppa," susulnya, sedang kedua orangtuanya hanya memalingkan wajah, menggeleng pelan melihat kecerobohan putri semata wayang mereka.
"Kau terluka?" tanya sang ayah dan Lisa menggelengkan kepalanya. "Sudah, nanti saja. Biar Bibi yang membersihkannya. Duduk lah," suruh sang ayah, menunjuk ranjang Lisa dengan dagunya sementara ia duduk di ujung sofa, di sebelah ibunya yang ada di kursi roda. Nyonya Kim sedang memperhatikan foto putrinya dengan gaun pengantin saat itu.
"Jiyong yang menyimpan foto ini?" tanya Nyonya Kim, terlihat kesal.
"Iya," pelan Lisa, setelah ia duduk di ranjang, berhadapan dengan ayah dan ibunya. "Sebelum kalian marah, ada satu hal yang harus aku katakan. Aku sakit. Jiyong oppa tidak tahu, tidak ada seorang pun yang tahu-"
"Kau mau bilang hidupmu tinggal sebentar lagi jadi kami harus mengizinkanmu melakukan apapun yang kau mau? Drama seperti itu tidak akan berhasil kali ini!" potong ibunya. "Meskipun kau sangat menyukainya, kau tidak boleh melakukan ini. Dimana harga dirimu sebagai perempuan?! Kenapa kau harus memohon untuk tinggal di sini?! Kau tidak punya rumah?! Apa tidak ada pria lain di dunia ini?! Kenapa kau memohon pada pria yang tidak menyukaimu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare for The Devil
FanfictionDalam pikirannya, ia yang paling kejam. Dalam kenangannya, ia yang paling keji. Namun gadis itu datang kemudian menyeretnya ke mimpi buruk dalam terowongan gemerlap tanpa ujung.