***
Lisa sudah selesai mencuci panci supnya, sementara Jiyong ada di dalam kamarnya. Entah apa yang pria itu lakukan, Lisa tidak berusaha mencari tahu. Gadis itu melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan senyum lebar di wajahnya. Ia mengenal Jiyong. Pria itu mudah sekali khawatir. Semakin khawatir, ia akan semakin melunak.
"Haruskah aku terus memasak? Agar dia semakin khawatir?" gumam Lisa, berbaring di atas ranjangnya sembari memandangi foto prewedding-nya yang dipasang tepat di sebrang ranjangnya. Lisa bisa melihat foto itu begitu ia bangun tidur. "Ya! Kwon Jiyong, kecuali kau berhenti mencintaiku, aku tidak akan pergi lagi. Jadi perhatikan sikapmu. Kalau kau terus khawatir seperti tadi, aku justru merasa senang, apa lagi hal sedikit berbahaya yang bisa ku lakukan di rumah ini?" tuturnya, bicara pada foto pria yang tersenyum di hadapannya. Ia terkekeh karena ucapannya sendiri, sementara pemilik rumah itu mungkin hampir gila sekarang.
Lisa terus berbaring, sampai telinganya mendengar suara bel rumah yang berbunyi. Makan malam mereka datang, sushi yang Lisa inginkan. Lisa mendengar pintu rumah terbuka kemudian tertutup beberapa menit setelahnya dan di saat itulah ia keluar dari kamarnya.
"Makan?" tanyanya, sementara Jiyong melangkah meninggalkan pintu depan dengan satu tas kertas di tangannya. Pria itu masih memakai pakaian kerjanya, minus jas juga dasinya.
Dengan dingin, Jiyong memberikan makanan itu pada Lisa. Sedang kakinya terus melangkah kembali masuk ke dalam kamar tidurnya. Jiyong tidak ingin makan malam dengannya— duga Lisa. Maka, Lisa bawa makanannya ke meja makan. Ia susun meja makan untuk makan malamnya, menyajikan sushi juga minuman yang diambilnya dari lemari es. Selanjutnya ia ketuk pintu kamar Jiyong, membuka pintunya dan melihat pria itu berbaring di ranjang dengan kepala tertutup bantal.
"Oppa, kau tidak ingin makan bersamaku?" tanya Lisa. Ia tentu sudah tahu jawabannya— Jiyong tidak mau makan bersamanya— tapi ia tetap ingin bertanya. "Oppa, kau tidak sakit kan? Maksudku bukan sakit yang itu... Tapi sakit fisik, demam atau flu? Atau sakit lainnya?"
"Pergilah."
"Baiklah. Aku ada di luar kalau oppa butuh bantuan."
"Bisakah kau membantuku dengan pergi dari sini? Aku sudah melihatmu seharian di kantor, haruskah aku melihatmu juga di rumah?"
"Untuk yang satu itu, aku tidak bisa membantu. Memang apa salahnya melihatku? Dulu oppa suka melihatku. Dulu oppa senang melihatku," jawabnya. "Hatimu sakit saat melihatku? Atau oppa tidak ingin melihatku karena hatimu sudah lebih dulu sakit? Apapun itu, aku ingin bersamamu. Aku akan makan di rumahku, jadi keluarlah untuk makan," pesannya, menutup kembali kamar tidur itu kemudian melangkah ke meja makan.
Lisa sempat diam di sana. Duduk menatap meja makan yang sudah ia siapkan. Setelah menghela nafasnya, gadis itu menutup kotak sushi milik Jiyong. Sedang miliknya ia bawa masuk ke dalam kamarnya. Namun belum sampai gadis itu ke kamarnya, Jiyong sudah lebih dulu keluar. Mereka berpapasan di ruang tengah, sempat bertemu tatap namun Jiyong mengalihkan pandangannya lebih dulu.
"Ayo makan," gumam Jiyong kemudian. Melangkah mendahului Lisa menuju meja makan.
"Ya," angguk Lisa, berbalik, kembali ke meja makan untuk makan di sana dengan Jiyong.
Satu potong sushi pertama, keduanya hanya diam. Mereka makan tanpa mengatakan apapun. Jiyong terus menunduk, menatap sushi-sushi di kotaknya. Sedang Lisa menggoyang-goyangkan kakinya, tersenyum memperhatikan Jiyong yang kelihatan canggung di depannya. Ini kali pertama mereka makan berdua, benar-benar hanya berdua setelah tiga tahun tidak bertemu. Lisa menyukainya, meski Jiyong kelihatan tidak nyaman berada di dekatnya.
"Pesan di grup tadi pagi, kau sengaja, iya kan?" tanya Jiyong, memulai percakapan lebih dulu.
"Hm... Aku sengaja," angguk Lisa. "Aku pikir oppa akan membalasnya. Aku berharap oppa tidak sadar kalau itu di grup dan membalasnya."
"Jangan melakukannya lagi."
"Kenapa?"
"Aku akan menyerah, jadi jangan melakukannya lagi."
Kini keduanya diam. Tenggorokan Jiyong terasa begitu kering setelah menelan sushi pertamanya. Sementara Lisa tidak bisa menelan potong kedua sushinya. Dengan susah payah ia menelan sepotong sushi itu, mendorongnya masuk dengan beberapa teguk air, mengosongkan mulutnya.
"Menyerah seperti apa yang oppa maksud? Aku punya beberapa definisi menyerah dan sebagian definisinya tidak menyenangkan."
"Pakai definisi yang menurutmu menyenangkan. Makan lah."
"Iya," angguk Lisa, tersenyum kemudian mengambil potong ketiga dari sushinya.
Jiyong pun melanjutkan makan malamnya, senyum tipis sempat terulas di wajahnya, namun pria itu buru-buru menghapus senyumnya. Lisa menyadarinya, senyum tipis yang langsung pergi itu, namun ia enggan membicarakannya. Jiyong memutuskan untuk menyerah saja sudah luar biasa menyenangkan untuknya, ia tidak boleh terlalu rakus sekarang.
Malam pergi dan mentari datang. Jiyong bangun seperti biasanya hari ini. Mengecek handphonenya, membalas beberapa pesan kemudian bersiap untuk pergi ke kantor. Untuk beberapa saat, ia melupakan tetangga barunya— Lisa. Pria itu pergi ke dapur untuk kopinya, menunggu cangkirnya penuh sembari menatap pintu kamar tamu yang hampir tidak pernah ia kunjungi.
Saat muda pria itu tinggal di apartemen semi basement. Saat hujan percikan airnya masuk, membuat meja belajarnya sesekali basah karena percikan itu. Di beberapa kesempatan ada pria tua yang mabuk dan buang air di sebelah jendelanya. Musim panas terasa sangat pengap, musim dingin membuatnya hampir beku. Kalau mengingat rumah semi basement itu, rumahnya yang sekarang terasa seperti sebuah kastil. Bersih, luas, mewah, sayangnya sepi.
Dalam beberapa pertimbangan, Jiyong mengerti kenapa Lisa yang sedari lahir tinggal di kastil besar memilih sebuah apartemen studio sempit untuk tempat tinggalnya. Tinggal di rumah besar seorang diri memang sedikit menakutkan. Sembari memandangi pintu kamar tamu itu, Jiyong membayangkan bagaimana rupa Lisa ketika keluar nanti. Akan kah ia keluar dengan piyamanya, tanpa riasan dengan rambut acak-acakan yang menggemaskan atau justru muncul dengan pakaian bersih, wajah cantik yang dirias tipis dan rambut halus tergerai? Namun gadis itu tidak kunjung keluar bahkan setelah Jiyong menghabiskan kopi paginya.
Jiyong baru bisa melihat Lisa ketika dirinya sudah duduk di kursi mobilnya. Seorang asisten pribadi Jiyong datang menjemputnya, lagi-lagi mereka harus bertemu orang penting. Jiyong duduk di kursi penumpang bagian belakang mobilnya, asistennya mengemudi di depan sedang Lisa melangkah di tempat parkir sembari menelepon. Gadis itu muncul dengan celana jeans dan kemejanya, membawa sebuah ransel kecil dengan kunci mobil di tangannya yang senggang.
Lisa melihat ke arah mobil Jiyong, lantas melangkah mendekat, mengetuk jendela di sebelah Jiyong— padahal Jiyong sudah berekspektasi Lisa akan menerobos masuk dan minta diantar ke kantor seperti kemarin. "Selamat pagi," sapa Lisa setelah Jiyong membuka jendela mobilnya, membungkuk untuk menatap Jiyong juga asistennya. "Aku akan pulang terlambat hari ini, makan malam lah lebih dulu, aku mencintaimu, sampai nanti," susulnya, setelah ia mengejutkan Jiyong dengan sebuah kecupan manis di pipinya.
Bukan hanya Jiyong, asisten sang direktur juga terkejut karena melihatnya. Kedua pria itu mendadak jadi canggung, sedang si penyebab kecanggungannya justru melambai, melangkah menjauh. Seolah tidak terjadi apapun, Lisa melangkah ke mobilnya masih sembari menelepon, membicarakan masalah pemotretan untuk artikel-artikelnya.
"Ng- kita- kita berangkat sekarang," canggung Jiyong, belum menutup kembali jendela mobilnya.
"I- iya- baik Direktur Kwon," canggung asistennya, mulai menyalakan mesin mobil itu, melaju di belakang mobil Lisa yang sudah lebih dulu bergerak keluar dari tempat parkir.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare for The Devil
FanfictionDalam pikirannya, ia yang paling kejam. Dalam kenangannya, ia yang paling keji. Namun gadis itu datang kemudian menyeretnya ke mimpi buruk dalam terowongan gemerlap tanpa ujung.