30

289 88 3
                                    

***

Jiyong berbaring di sofa panjang, di dalam sebuah kamar hotel. Di sebelahnya, seorang wanita duduk dengan blouse biru lembut dan celana putih yang bersih. Wanita itu di atas sofa lainnya, diam sembari membaca lembaran kertas di depannya. "Ini kali pertamaku menemui pasienku di hotel, apa anda merasa nyaman Tuan Kwon?" tanya wanita itu— psikiater yang Eric kenalkan.

"Ini juga kali pertamaku menemui seorang psikiater yang bukan temanku, di hotel," jawabnya. "Sedikit canggung, tapi tidak apa-apa," angguknya, sembari menatap langit-langit di atas kepalanya.

"Bagaimana biasanya anda bertemu dengan dokter anda sebelumnya?" tanyanya kemudian.

"Dia temanku,  seniorku di kampus, beda fakultas. Kami bertemu di restoran, atau lapangan golf, kalau mendesak aku pergi ke kliniknya," jawab Jiyong yang sama seperti Lisa, tidak bisa leluasa pergi ke rumah sakit. "Orang-orang bersimpati pada mereka yang sakit jantung, paru-paru, liver, kanker, tumor, tapi menyebut seseorang yang pergi ke psikiater sebagai orang gila, bodoh, lemah. Karena itu aku tidak pergi ke psikiater, aku hanya menemui temanku, bicara padanya dan sesekali dia memberiku obat. Isinya hanya vitamin, tapi sampai beberapa bulan lalu cukup membantu."

Mereka terus bicara. Berbincang dengan posisi yang sama selama hampir satu jam. Jiyong hanya membicarakan masa kecilnya selama satu jam. Menceritakan bagaimana orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Menceritakan bagaimana hidupnya sejak kepergian kedua orangtuanya, kemudian menceritakan bagaimana ia bisa bertemu dengan Ibu Lisa, bertemu dengan Lisa kemudian bertemu dengan Tuan Kim dan berencana menikahi putrinya.

"Kisah cinta antara guru dan muridnya, cerita Cinderella yang bertemu seorang putri Raja kaya raya, tidak direstui sampai akhirnya diizinkan menikah, aku sudah merasakan segalanya. Tapi tidak ada satupun cerita yang benar-benar berakhir bahagia. Setelah semua yang aku lalui, aku tahu kenapa drama-drama berakhir dalam enam belas episode. Episode ketujuh belasnya, tidak menyenangkan. Kenapa cerita-cerita selalu berakhir dengan bersatunya seorang pria dan seorang wanita yang saling mencintai, berkencan, pernikahan, seolah endingnya selalu happily ever after, padahal kenyataannya tidak begitu. Selalu ada masalah lain setiap kali satu masalah berhasil diatasi. Tapi tidak apa-apa, apapun masalahnya dia tetap berdiri di sisiku."

"Dia gadis pertama yang ku kencani. Dia bukan cinta pertamaku, tapi karena aku sangat menginginkannya, aku memberanikan diri untuk meraihnya. Sebelumnya aku selalu menghindar, setiap kali menyukai seseorang aku selalu menjauhinya. Aku tidak punya apapun yang bisa ku berikan padanya. Keluarga, uang, waktu, tidak ada satupun yang bisa ku berikan pada orang lain. Aku tidak punya semua itu. Tapi dia terlihat sangat senang hanya karena aku menjawab teleponnya, karena itu aku memberanikan diriku, meski tidak langsung berhasil. Aku berikan semua yang bisa ku berikan padanya. Sepuluh sampai lima belas menit waktu senggang diantara dua jadwal kerja sambilanku. Lima menit waktu makan siang sebelum kelas selanjutnya, dua menit sebelum dia tidur, semua waktu yang sedikit itu, aku berikan untuknya. Aku mendengarkannya, apapun ceritanya meski cerita itu tentang pria yang sedang ia kencani. Bahkan setelah aku bekerja di kantor berita, aku masih punya hutang pendidikan yang harus aku lunasi. Jadi aku tetap sibuk, bekerja di kantor saat siang, kerja sambilan saat malam. Setelah hutang-hutangku lunas, baru aku punya lebih banyak waktu untuknya, aku juga bisa menabung untuk hidup bersamanya, saat itu aku baru berani mengajaknya menikah, dan dia mau."

"Anda sudah melalui banyak hal, Tuan Kwon," komentar sang dokter yang mendengarkan cerita itu. Sembari berbaring, Jiyong menganggukan kepalanya. Namun kali ini ia menutup matanya dengan lengannya yang tertutup kemeja berkain halus.

"Aku sudah melalui banyak hal dan aku pikir pernikahan kami bisa berakhir bahagia, happily ever after seperti dalam dongeng. Tapi ternyata tidak begitu. Di kantor aku melihat seseorang yang sama sepertiku. Namanya Sohyun. Dia kesulitan dan aku kasihan padanya. Perusahaan ingin memecatnya, dia melakukan pekerjaannya dengan baik, dia rajin, tapi terlalu tua. Kenapa wanita seusianya baru lulus kuliah? Kenapa wanita seusianya tidak pernah magang di tempat A, B, C, D? Kenapa wanita seusianya tidak pernah kursus ini dan itu? Padahal orang-orang yang lebih muda darinya punya dua lembar pencapaian di CV mereka. Atasan tidak menyukainya, atasan tidak tahu kalau selama ini ia sibuk bertahan hidup jadi tidak punya waktu, uang dan tenaga untuk mengisi CV-nya. Kalau Nona Kim tidak mengundurkan diri, kau akan dipecat, jadi berterimakasih lah pada Nona Kim, jadi bekerjalah dengan baik, jangan sampai posisimu di rebut karyawan baru yang datang bulan depan. Itu yang atasan katakan pada Sohyun sebelum Sohyun meninggal. Malam itu Sohyun ingin menceritakannya padaku, tapi aku sudah lebih dulu memberikan waktuku untuk calon istriku. Kalau malam itu aku memberikan dua menit waktuku untuknya, dia tidak akan meninggal, iya kan?"

Sementara Jiyong sibuk dengan pengobatannya. Di seberang hotel itu Lisa tengah duduk bersama Jennie, di sebuah kedai bir dan ayam goreng. Mereka memesan seekor ayam dengan tumpahan keju meleleh di atasnya, dan beberapa gelas bir. "Aku tidak boleh mabuk," ucap Lisa setelah ia menghabiskan gelas keduanya. "Tapi aku sangat ingin mabuk-mabukan. Aku kesal sekali. Apa yang kau dengar di telepon tadi sore, kau benar-benar harus merahasiakannya, oke?" pinta Lisa.

Jennie mengiyakannya, tapi gadis itu tetap menanyakan apa yang membuatnya penasaran— kenapa Lisa tidak mengatakan kalau ia anak CEO di perusahaan itu? Lisa tidak akan menerima semua perlakuan keji itu kalau ia mengatakan yang sebenarnya.

"Malu."

"Ya?!" heran Jennie, gadis itu hampir tersedak saking terkejutnya.

"Hanya ini yang bisa dilakukan putri CEO? Seorang putri CEO tidak bisa melakukan ini? Kenapa putri CEO sebodoh ini? Dia sangat berbeda dengan ayahnya. Dia tidak secantik ibunya. CEO Kim dan istrinya sangat rajin, tapi putri mereka tidak bisa melakukan apapun, dia hanya bisa membuat masalah. Sejak aku sekolah dasar sampai aku kuliah, aku mendengar semua itu. Tentu saja mereka mengatakannya di belakang orangtuaku. Guru-guruku di sekolah, tim pengacara yang bekerja untuk perusahaan, tim humas perusahaan yang harus menutupi semua masalah ciptaanku, diam-diam mereka bicara begitu tentangku. Aku ingin jadi anak yang sempurna, tapi sekeras apapun aku berusaha, aku tetap jadi anak nakal untuk orangtuaku. Karena itu aku malu disebut anak CEO. Karena itu aku melarikan diri setelah membatalkan pernikahanku."

"Sebelumnya aku iri," jujur Jennie. "Tapi sepertinya semua orang punya masalahnya sendiri-sendiri, di piring masing-masing. Kenapa aku harus beradu nasib denganmu? Yang tadi itu kedengaran keren. Tapi menangis di atas ranjang mewah dengan bantal bulu angsa tetap lebih nyaman dibanding menangis di kamar sempit yang lembab, maksudku... Kau tidak akan menang kalau beradu penderitaan dengan orang miskin."

"Kau mau coba? Menangis di atas ranjangku? Akan ku kirim kode pintuku kalau kau mau. Kau bisa meminjam rumahku kalau ingin menangis."

***

Nightmare for The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang