***
Segalanya berjalan sangat lancar, sangat halus bak angin pantai yang lembut. Membuai Lisa, membuatnya lupa akan api-api kecil yang ia tinggalkan. Api kecil yang bisa jadi kebakaran hebat setelah tersapu angin.
Lisa menyukai pencapaiannya. Lisa menikmati perubahan Jiyong. Ia bersyukur atas janji-janji yang Tuhan tepati setelah ia berusaha merubah takdir di depannya. Perlahan-lahan Jiyong membaik. Perlahan-lahan ia juga bisa menguasai pekerjaan barunya. Semuanya berjalan lancar hingga ia lupa akan ranjau darat yang ia tinggalkan di depan kaki Jiyong. Ranjau yang bisa pria itu injak kapan pun, tanpa peringatan.
Satu persatu hari berlalu. Malam ini, dengan segelas susu cokelat yang sudah tidak lagi hangat, Lisa duduk di meja makan rumah Jiyong. Satu kacamata ringan dengan bingkai bulat bergantung di atas hidungnya, di depan matanya. Gadis itu tengah membaca, sedang pria yang ia kencani duduk di depannya, menikmati pekerjaan juga segelas susu cokelat miliknya. Sembari sesekali mengetik di laptopnya, Jiyong menemani gadis yang ia kencani belajar. Sudah berjam-jam sejak matahari terbenam tadi.
"Sungguh, buku ini tidak menyenangkan," komentar Lisa, sembari membalik selembar kertas di bukunya.
"Lima," hitung Jiyong.
"Itu artinya, aku sudah membaca lima buku sepanjang malam ini."
"Kau sudah dewasa. Seingatku, dulu kau tidak bisa membaca satu bab saja dari buku pelajaran sekolahmu."
"Dulu aku berhenti di halaman kedua. Tidak menyenangkan."
"Lalu sekarang?"
"Sama tidak menyenangkannya, tapi besok hari pertamaku naik jabatan. Aku harus membuat Nona Park dan ketua timku yang sekarang tersiksa. Aku harus bersiap, untuk balas dendam."
"Besok aku akan pergi ke Jepang."
"Kalau begitu tidur lah, ini hampir tengah malam."
"Setelah menyelesaikan ini aku akan tidur."
"Setelah menyelesaikan buku ini, aku juga akan tidur."
"Menginap?"
"Hm. Di rumahku," angguknya, sembari menunjuk pintu kamarnya dengan dagunya sendiri. Kamar yang ia curi dari Jiyong beberapa waktu lalu.
Pagi datang dan Lisa baru keluar dari kamarnya setelah ia selesai bersiap-siap. Tidak seperti seorang yang akan pergi kerja, gadis itu muncul dengan celana jeans dan sebuah kemeja putih yang tidak pas di tubuhnya. Kemeja itu terlihat terlalu besar untuk tubuhnya. Dengan santai, gadis itu menyapa si pemilik rumah dengan sebuah pelukan pagi.
"Bukankah ini terlalu santai untuk pergi ke kantor?" komentar Jiyong, membicarakan pakaian yang Lisa pakai pagi ini.
"Memang begitu konsepnya," balas Lisa. "Simple dan santai. Seolah aku tidak ingin pergi ke sana tapi terpaksa harus datang? Aku berbeda darimu, jadi jangan menggangguku. Itu konsepnya," santai gadis itu, menyesap sedikit sisa kopi kekasihnya lantas menawarkan diri untuk mengantar Jiyong ke kantornya pagi ini.
Sebenarnya asisten Jiyong sudah datang. Sudah ada di tempat parkir, sudah siap seperti biasanya. Namun karena Lisa memaksa, Jiyong mengikuti gadis itu pergi ke lift. Karena Lisa bersikeras ingin mengantar Jiyong, pria itu mengikutinya sampai ke lobby utama gedung apartemen itu.
"Sebenarnya, dimana kau memarkir mobilmu?" tanya Jiyong, mengikuti Lisa berjalan ke lobby.
"Tidak tahu," geleng Lisa, yang justru menoleh ke kanan dan kiri gedung, lantas tersenyum saat sebuah mobil mewah berwarna putih melaju mendekati mereka. "Itu mobilku! Lihat plat mobilnya, sama seperti kode rumahmu," pamer Lisa, menunjukkan mobil barunya yang datang pagi ini.
"Kau membeli mobil baru? Kapan? Lalu mobil lamamu?" heran Jiyong.
"Minggu lalu, aku belum bilang? Kurasa aku lupa memberitahumu. Bagaimana ini? Oppa marah? Karena aku tidak minta izinmu untuk membeli mobil?"
"Kau membelinya dengan uangmu sendiri, untuk apa meminta izinku? Mobilnya cantik, cocok untukmu. Tapi kalau kau memberitahuku sebelum membeli mobilnya, aku bisa membantumu memilih."
"Kenapa? Mesin mobil ini jelek? Aku memilihnya karena modelnya cantik."
"Tidak. Mobilnya cantik. Tapi kalau kau membayar sedikit lebih mahal, kau bisa dapat mobil yang lima puluh persen lebih baik dari ini."
"Tidak ada," geleng Lisa. "Aku tidak punya uang lebih. Sejak pergi ke Paris waktu itu, ayahku tidak memberiku uang lagi. Aku sudah memakai semua uangku untuk ini dan itu, jadi hanya mobil ini yang bisa aku dapatkan. Aku miskin sekarang-"
"Kau baru saja membeli mobil seharga dua Lamborghini dan bilang dirimu miskin? Wah... Menjengkelkan. Biar aku yang menyetir, aku ingin mencoba mobil baru," senyum Jiyong, melangkah lebih dulu ke mobil baru itu.
"Tidak boleh!" seru Lisa, berlari mengejar Jiyong, namun pria itu sudah lebih dulu naik ke dalam kursi kemudi mobil baru Lisa. "Heish... untung saja aku menyukaimu," sebal Lisa, yang akhirnya menutup pintu mobil di depannya. Ia bicara lebih dulu pada seorang pekerja ayahnya yang mengantarkan mobil itu lantas masuk dan duduk di sebelah Jiyong.
"Aku suka mobilmu, haruskah aku membeli mobil juga?" tanya Jiyong, merasa terhibur hanya karena sebuah mobil baru yang bahkan bukan miliknya.
"Oppa sudah punya mobil?"
"Tidak, itu mobil perusahaan."
"Oppa punya uang untuk membeli mobil?"
"Wahh... Kau meremehkanku? Aku direktur sekarang, bukan reporter lagi," balas Jiyong, mulai mengemudikan mobil itu. "Uang tabunganku sekarang bisa membeli satu seperti mobil ini dan masih ada sisa tabungan untuk hidup sampai gajian selanjutnya."
"Bagaimana bisa? Bagaimana kau hidup selama ini? Tentu saja, kau tidak punya apa-apa di rumahmu, selain furnitur yang sudah ada di sana. Kau bahkan tidak punya laptop. Laptopmu itu milik perusahaan, iya kan? Apa saja yang kau beli selama ini? Oppa tidak pernah masuk ke mall, iya kan?"
"Siapa yang pergi ke mall sekarang? Semuanya bisa dibeli lewat handphone."
"Oppa punya aplikasinya di handphonemu? Untuk membeli sushi saja, oppa menyuruh asistenmu. Oppa! Jangan hidup seperti itu! Beli makanan, beli pakaian, beli sesuatu yang kau butuhkan! Untuk apa kau menyimpan semua uangmu? Kau tidak bisa membawanya mati."
"Kenapa kau memarahiku? Aku tidak belanja karena memang tidak ada yang ku butuhkan. Hentikan. Ini masih terlalu pagi untuk mengomel."
Lisa menekuk bibirnya di sebelah Jiyong. Cemberut karena Jiyong menyuruhnya berhenti bicara. Sementara Jiyong, menghentikan mobil itu di persimpangan jalan. Mereka harus menunggu lampu lalu lintas berubah warna untuk melanjutkan perjalanan itu. Sembari menunggu lampu lalu lintasnya, Jiyong menoleh, menatap Lisa yang masih cemberut di sebelahnya.
"Setelah aku pikir-pikir, aku memang tidak punya apapun. Mau menemaniku berbelanja akhir pekan ini? Anggap saja pergi kencan?" tawar Jiyong, mencoba mengambil kembali hati gadis di sebelahnya itu. "Peralatan dapur, beberapa pakaian, laptop juga. Ah headphone juga. Mungkin beberapa furnitur juga? Aku tidak tahu apa yang aku butuhkan. Tolong, bantu aku. Advertising Manager Lalisa Kim, tolong bantu aku," goda Jiyong, membuat Lisa kesulitan menahan tawanya.
Gadis itu terkekeh. Ia lantas luluh, berhenti cemberut dan menganggukkan kepalanya. Lisa bersedia meluangkan waktunya akhir pekan ini. Sampai akhirnya mobil itu berhenti di depan kantor Jiyong.
"Aku akan pergi ke Jepang nanti siang. Rencananya akan kembali dua hari lagi. Akan ku telepon nanti malam. Fighting, untuk hari pertamamu naik pangkat. Jangan terlalu kejam di hari pertama-"
"Aku mencintaimu."
"Hm?"
"Pesan-pesanmu terlalu panjang, oppa. Katakan saja, oppa mencintaiku. Itu sudah cukup."
"Aku mencintaimu."
"Aku tahu. Sampai bertemu dua hari lagi, bye!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare for The Devil
FanfictionDalam pikirannya, ia yang paling kejam. Dalam kenangannya, ia yang paling keji. Namun gadis itu datang kemudian menyeretnya ke mimpi buruk dalam terowongan gemerlap tanpa ujung.