***
"Oppa, apa yang kau inginkan untuk menu makan malam nanti? Aku akan membuatkannya," tulis Lisa di grup editorialnya— dimana Jiyong juga ada di dalam grup itu. Semua orang yang mendapatkan pesan itu menoleh pada Lisa. Menatapnya, bahkan Jiyong yang ada di ruang kerjanya. "Apa?" tanya Lisa, sedikit bingung dengan tatapan-tatapan menyelidik di sekitarnya.
"Editor Kim, sepertinya kau salah mengirim pesan?" tegur Jennie, membuat Lisa langsung menatap laptopnya dan membulatkan matanya— seolah ia terkejut dengan apa yang ia lakukan.
Lisa sengaja mengirim pesan itu untuk menganggu Jiyong dan ia sengaja berpura-pura panik setelahnya. Jiyong menutup tirai di ruang kerjanya setelah bertukar tatap dengan gadis itu melalui dinding kaca ruangannya. Sedang Lisa harus menghadapi rasa penasaran orang-orang di sekitarnya— kecuali Jennie.
Begitu jam makan siang datang, Lisa bergegas melarikan diri. Bahkan sebelum Jiyong keluar dari ruang kerjanya, gadis itu meminta izin pada Seungri untuk pergi lebih dulu. "Aku ada janji dengan agen pindah rumah, aku harus pergi sebentar, aku akan kembali sebelum jam makan siang berakhir," pamitnya, melarikan diri dari ruang kerjanya lantas pergi dengan sebuah taksi yang bisa ia hentikan di depan gedung.
Dengan bantuan pelayan dari rumah orangtuanya, Lisa memindahkan isi apartemen studionya ke rumah Jiyong— mumpung pemilik rumahnya harus menghadiri acara makan siang dengan orang-orang berpengaruh di perusahaan mereka. "Bibi, jangan beritahu orangtuaku tentang ini, oke? Aku yang akan memberitahu mereka."
"Tapi nyonya bilang, Tuan Kwon sudah menikah-"
"Menikah denganku?" potong Lisa, menunjukan fotonya pada si pelayan. "Dia tidak mungkin menikahi wanita lain tapi memajang fotoku kan? Tidak, dia belum menikah. Aku salah paham waktu itu."
"Jadi kalian akan kembali... Uhm? Menikah?"
"Aku ingin begitu. Tapi... Tidak sekarang. Masih ada banyak hal yang harus aku selesaikan. Untuk sementara aku akan tinggal di sini, di kamar ini," tuturnya, menunjukan kamar tamu yang ada di rumah Jiyong. "Nanti, kalau aku sudah bisa menguasai rumah ini, aku akan memberitahu orangtuaku," susulnya yang selanjutnya meminta pelayannya untuk menata kamarnya. Lisa juga meminta pelayannya itu untuk memindahkan foto prewedding-nya ke dalam kamarnya. Untuk apa fotonya di pajang di ruang tengah kalau Jiyong bahkan tidak mau melihatnya dan memilih menutupinya? Lebih baik foto itu di pajang di tempat lain.
"Barang-barang anda lainnya, bagaimana? Kamar ini tidak akan muat untuk semua barang-barangmu."
"Tinggalkan saja di rumahku. Tapi Bibi... Kau harus selesai sebelum jam tiga sore. Kalau jam tiga sore belum selesai, tinggalkan saja semuanya di sini dan langsung pergi, jangan sampai bertemu dengan Jiyong oppa," pesan Lisa yang selanjutnya berpamitan untuk kembali ke kantor.
Jiyong pulang tepat waktu malam ini. Meski ia diundang untuk menghadiri pesta ulangtahun seorang musisi. Alih-alih menghadiri pestanya, pria itu justru pulang ke rumahnya, melihat mobil Lisa ada di tempat parkir kemudian menghela nafasnya. Gadis keras kepala itu tidak juga menyerah meski sudah diusir.
"Sudah aku bilang- ya! Lisa! Apa yang kau lakukan di rumahku?!" teriak Jiyong, ketika ia melihat banyak perubahan di rumahnya.
Ada papan nama di pintu kamar tamunya. Ada angka 1802,5 di atas papan nama itu, nomor rumah Jiyong ditambah 0,5. Pria itu juga kehilangan foto besarnya di ruang tamu, meski ia mendapat sebuah lukisan sebagai gantinya. Ada banyak kotak sepatu wanita di depan pintu dan yang paling buruk, ada aroma masakan China hangus dari dapurnya.
Jiyong melangkah cepat ke dapur, hampir berlari. Ia matikan kompor yang hampir menghanguskan sepanci sup makanan laut, kemudian mengecek seluruh sudut rumahnya, mencari Lisa. Namun gadis itu tidak ada di sana sampai dua menit kemudian pintu depan terbuka dan seperti Sonic biru, Lisa berlari ke dapur.
"Oh? Sudah mati?" bingung Lisa, melihat kompor, panci dan sup di dalamnya yang hampir hangus tapi selamat dari kebakaran. "Jiyong oppa sudah pulang? Astaga!" kaget gadis itu, melihat Jiyong tiba-tiba muncul di belakangnya. "Ya! Bersuara lah saat datang! Oppa mengejutkanku!" susulnya, menyentuh dadanya sendiri sedang Jiyong melipat kedua tangannya di depan dadanya, kilat matanya terlihat marah.
"Darimana kau tadi?" ketus Jiyong sementara Lisa menunjukan sebungkus mie instan yang ia pegang.
"Minimarket, oppa tidak punya makanan apapun, aku lapar jadi aku pergi membeli nasi di bawah-"
"Dan meninggalkan kompor tetap menyala?!"
"Uhm... Aku... Aku pikir minimarketnya sepi. Aku hanya butuh nasi instan jadi aku sengaja menghangatkan kuah supnya, pergi membeli nasi lalu berlari pulang, supaya bisa cepat memasukan nasinya ke microwave dan langsung makan. Aku sudah mengira-ngira waktunya... Harusnya cukup-"
"Supnya hangus! Kau hampir membakar rumah ini!" omel Jiyong, membuat Lisa melirik panci supnya.
"Hanya sedikit hangus, masih bisa dimakan dengan nasi, dan rumahnya tidak terbakar," jawabnya, sama sekali tidak membuat Jiyong merasa lebih baik. "Baiklah, aku minta maaf. Aku tidak akan bermain dengan kompor lagi. Mulai sekarang akan makan sup dingin, mie mentah, daging beku, semua yang tidak perlu kompor, aku tidak akan menyentuh kompor lagi," tunduk Lisa, meletakan nasi instannya di atas meja lantas berjalan menghindari Jiyong.
Pria itu menghela nafasnya. Ia penasaran kenapa Lisa tidak pernah berubah? Padahal sudah tiga tahun mereka tidak bertemu. Gadis itu cerdas, terlalu cerdas sampai Jiyong sering memarahinya. Bukan pertama kali Lisa bereksperimen dengan kecepatannya di dapur seperti malam ini. Saat masih sekolah menengah, gadis cerdas itu pernah sangat penasaran sampai ingin menggoreng es batu. Lisa ingin tahu seberapa besar ledakan yang bisa dia buat dengan es batu dan minyak panas. Untungnya ada pelayan di rumahnya yang berhasil menggagalkan eksperimen itu.
"Kemana kau akan pergi?" tahan Jiyong, sama sekali tidak menyentuh Lisa yang akan melangkah ke kamarnya. "Jelaskan semua itu," susulnya, menunjuk kamar tamu juga lukisan baru yang tidak pernah Jiyong lihat sebelumnya.
"Itu rumahku. Aku bahkan memasang kunci di sana, jadi kita tidak tinggal bersama, kita tetangga. Anggap saja begitu. Lalu soal lukisan, aku mengambil fotoku dan menukarnya dengan lukisan itu. Untuk apa memajang foto yang bahkan tidak ingin oppa lihat? Untuk apa memajang fotoku tapi menutupi wajahku dengan kain? Jadi aku mengambil fotoku. Kalau kotak-kotak sepatu di pintu, aku akan membersihkannya setelah makan. Dapur juga akan ku bersihkan setelah makan. Apa lagi?"
"Sudah ku bilang kau tidak bisa tinggal di sini! Harus berapa kali aku bilang kalau kau tidak boleh tinggal di sini?!" marah Jiyong, namun Lisa tidak merubah ekspresinya— gadis itu tetap cemberut, kesal juga lapar karena tidak jadi makan dan justru dimarahi perkara kompor.
"Aku tidak punya tenaga untuk berdebat sekarang, aku lapar, aku belum makan sejak siang tadi. Bisa tunda dulu marah-marahnya?"
Jiyong mengeluh. Berbalik untuk melihat sisa sup yang hampir hangus lantas membuka lemari esnya. Hanya ada air di sana, sama sekali tidak ada makanan lainnya. Bahkan sup seafood itu, Jiyong tidak tahu darimana Lisa mendapatkannya.
Setelah merogoh sakunya, pria itu mendapatkan handphonenya. Ia telepon seseorang dengan handphonenya itu, lantas berucap— "tolong pesankan aku makan malam, untuk dua orang, antar ke rumahku," pintanya, pada seorang pesuruhnya yang ia telepon. "Pesan apa saja-"
"Sushi, aku mau sushi," potong Lisa, dengan senyum di wajahnya.
"Pesankan aku sushi. Akan ku bayar di rumah, jangan pakai kartu perusahaan, cukup pesankan saja. Cari yang paling cepat," ucap Jiyong, lantas mematikan panggilannya setelah orang yang ia suruh memahami permintaannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare for The Devil
FanfictionDalam pikirannya, ia yang paling kejam. Dalam kenangannya, ia yang paling keji. Namun gadis itu datang kemudian menyeretnya ke mimpi buruk dalam terowongan gemerlap tanpa ujung.