***
Pukul tujuh malam, sepulang kerja. Setelah memarkir mobilnya di tempat parkir sebuah hotel, Lisa melangkah masuk, mengecek pesan di handphonenya kemudian berdiri di tengah-tengah lift hotel itu. Sembari tersenyum, ia menatap pantulan wajahnya di pintu hotel, mengagumi betapa cantik wajahnya lantas melangkah keluar begitu pintu liftnya terbuka.
Kini ia ada di lorong hotel itu, melangkah perlahan sembari bersenandung. Senyumnya terus merekah sampai ia menemukan pintu yang ia cari. Bel pintu ia tekan, beberapa detik menunggu kemudian senyumnya terukir semakin lebar saat pintu di depannya terbuka. "Maaf aku sedikit terlambat, pemotretannya selesai lebih lama dari perkiraanku," tuturnya, menyapa pria yang membukakan pintu untuknya kemudian melangkah masuk ke dalam kamar hotel itu. Lisa memeluk si pria ketika dirinya sudah berada di dalam kamar hotel itu. Mereka bertukar sapa lantas Lisa dipersilahkan untuk duduk di sofanya.
"Penelitianku di sini hampir selesai. Minggu depan aku akan kembali ke Paris," ucap si pria, sembari meraih beberapa kertas dari atas mejanya. "Aku akan merekomendasikan dokter lain untukmu, tidak apa-apa kan?" susulnya.
"Hm... Tidak apa-apa. Terimakasih karena mau meluangkan waktumu untukku, Eric. Kapan penerbanganmu?"
"Lima hari lagi," jawabnya. "Bagaimana keadaanmu akhir-akhir ini? Perutmu sakit?"
"Lima hari lagi? Baiklah. Lima hari lagi," angguk Lisa, sembari berfikir hadiah apa yang bisa ia dapatkan dalam waktu kurang dari lima hari. "Sejak kembali ke sini, perutku tidak pernah sakit lagi. Tapi kemarin lusa, aku menghancurkan TV-ku karena marah."
"Bisa kau menceritakan alasanmu marah?" tanya Eric Nam— sang dokter.
Lisa menceritakan alasannya marah. Di mulai dari tangan Jiyong yang terluka sampai pada apa yang terjadi hari ini. Hari ini Jiyong menghindarinya, mungkin karena canggung setelah kecupannya tadi pagi.
"Sebenarnya akhir-akhir ini aku sering mengingat masa kecilku," cerita Lisa kemudian. "Hm... Saat kecil, kedua orangtuaku sibuk," jawabnya, setelah Eric bertanya tentang masa kecil yang hampir tidak pernah Lisa bicarakan sejak mereka resmi menjalin hubungan antara pasien dan dokter. "Ayahku sibuk dengan pekerjaannya. Dia pergi keluar kota, keluar negeri, hampir setiap minggu. Ibuku juga sama, demi mendukung karir ayahku, dia menemui istri-istri rekan kerja ayahku. Pergi bermain golf dengan istri pejabat, pergi spa dengan istri pebisnis-pebisnis lainnya. Dulu aku tidak berfikir kalau ibuku melakukan semua itu untuk keluarganya. Maksudku, dia bilang dia akan pergi bekerja tapi ternyata bermain golf atau ke salon, aku pikir dia hanya bermain. Sampai aku remaja, aku tidak pernah percaya kalau ibuku melakukan semua itu untuk membantu ayahku. Di rumah aku sangat kesepian. Di banding anak-anak lainnya, aku termasuk lamban, aku tidak bisa bicara seperti anak-anak lainnya. Bukan karena aku pendiam, tapi aku memang tidak bisa bicara, karena tidak ada yang mengajakku bicara. Lalu di suatu waktu, dihari ulang tahunku, aku menyadari sesuatu. Dimana pun mereka, kedua orangtuaku akan pulang kalau aku dapat masalah. Sesuatu terjadi hari itu, aku sedang bermain sendirian di rumah dan ada pencuri yang masuk. Sebenarnya aku tidak terlalu terkejut, tapi orang-orang dewasa di sekitarku sangat panik. Setelah hari itu, aku terus membuat masalah. Agar orangtuaku pulang."
"Masalah seperti apa yang kau buat?"
"Ini dan itu, aku sudah melakukan banyak hal. Saat masih di sekolah dasar aku pernah bersembunyi di lemari es, di kantin sekolah. Aku tidak tahu kalau lemari es sulit dibuka dari dalam. Aku hampir mati kedinginan. Lalu aku melakukan banyak hal-hal konyol lainnya. Aku juga bertengkar dengan teman-temanku. Aku menganggu mereka yang tidak mau bermain denganku. Aku bukan perundung seperti yang ada di drama, tapi aku cukup menganggu. Kalau orang itu menolak ajakanku tiga kali, aku akan mengajaknya bertengkar. Aku pernah bertengkar dengan semua teman sekelasku, orangtuaku di panggil karena kenakalanku, lalu di rumah aku dipukuli karena mempermalukan orangtuaku. Lalu suatu malam, setelah aku di pukuli, ibuku membawa seorang tutor untukku, Jiyong oppa. Setelah itu aku tidak merasa kesepian lagi. Satu kali pun dia tidak pernah menolak untuk menemuiku. Setiap kali aku merasa kesepian, aku langsung menemuinya. Aku datang ke kampusnya, ke rumahnya, ke tempat kerjanya, ke restoran tempat dia minum-minum dengan teman-temannya, dia tidak pernah menolak kedatanganku. Kenalkan, ini Lisa, muridku— dia selalu bilang begitu setiap kali aku datang. Karenanya ada banyak orang yang bisa aku ajak bicara dan aku berhenti membuat masalah. Kalau aku tidak bertemu dengannya, mungkin aku sudah overdosis sekarang. Banyak temanku yang begitu, karena mereka kesepian."
"Jiyong oppa juga membuatku berdamai dengan orangtuaku. Sejak aku berhenti membuat masalah, aku tidak pernah dipukul lagi. Tapi, orangtuaku tetap sibuk, aku tetap tidak menyukai mereka. Rumah terasa seperti medan perang. Sangat tidak nyaman. Aku menceritakan itu pada Jiyong oppa, lalu dia memintaku untuk menyerah. Perang bisa berhenti kalau salah satu pihaknya menyerah. Sampai kapan pun orangtuamu akan terus begitu. Ayahmu akan tetap sibuk dan ibumu akan tetap mendukungnya. Orangtuamu tidak akan berubah hanya karena kau memberontak. Daripada kau terus menuntut mereka untuk berubah, menyerah lah, terima saja bagaimana pun keadaan orangtuamu. Bagaimana pun keadaannya, mereka tetap orangtuamu. Mereka akan jadi semakin tua dan mengecil. Lalu aku mencobanya, aku menyerah untuk mendapatkan perhatian mereka dan perang benar-benar berakhir. Aku tahu perang itu tidak berakhir hanya karena aku menyerah. Aku tahu kalau Jiyong oppa diam-diam memberitahu ibuku tentang perasaanku. Rasanya seperti... Pelan-pelan ada air mengalir di sungai yang kering. Airnya mengalir sangat tenang dan pelan-pelan sungainya terisi penuh, ikan-ikan mulai datang dan semuanya kembali seperti bagaimana seharusnya. Mungkin dia tidak menyadarinya, tapi dia sudah melakukan banyak hal untuk keluargaku. Saat membaca pesan yang Sohyun eonni kirim untuk Jiyong oppa, sejujurnya aku marah. Jiyong oppa bukan orang beruntung yang kebetulan berkencan dengan gadis polos dari keluarga kaya lalu karir dan hidupnya jadi lancar. Karena aku sering mengikutinya, aku tahu dia selalu bekerja keras."
Lisa terus bicara, mengatakan semua yang terlintas di kepalanya pada seorang dokter yang pernah menyelamatkan hidupnya. Lisa bertemu dengan Eric di Paris, di salah satu rumah sakit tempat Lisa di rawat. Saat masih di Paris, Lisa mengalami trauma pasca operasi dan Eric yang menjadi dokternya waktu itu. Awalnya Lisa ingin Jiyong bertemu dengan Eric, tapi Eric sudah harus kembali ke Paris.
Merasa kalau keadaan Lisa sudah mulai membaik, Eric tidak meresepkan obat apapun. "Kalau kau ingin menangis, menangis lah. Kalau kau marah, kau boleh marah. Tapi, ingatlah untuk tidak melukai siapapun, termasuk dirimu sendiri. Untuk pertemuan selanjutnya, aku akan merekomendasikan seorang dokter lain untukmu, kau bisa mempercayainya. Dia teman dekatku. Soal kekasihmu, jangan menyerah, terus bujuk dia untuk menemui seorang dokter," pesan Eric sebelum Lisa meninggalkan kamar hotel itu dan kembali pulang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare for The Devil
FanfictionDalam pikirannya, ia yang paling kejam. Dalam kenangannya, ia yang paling keji. Namun gadis itu datang kemudian menyeretnya ke mimpi buruk dalam terowongan gemerlap tanpa ujung.