***
"Asisten Kim? Apa kau ada di sini?" tegur Lisa, masuk ke ruang baca, melihat sela di tiap rak, mencari Jennie. Jiyong melihat Lisa masuk ke ruang baca, tapi ia memilih untuk tetap diam di ruang kerjanya. "Apa yang kau lakukan di sana? Laptopmu jatuh?" tanyanya kemudian, setelah ia melihat Jennie keluar dari tempat persembunyiannya. Seolah ia tidak tahu kalau Jennie sengaja bersembunyi di sana.
"Handphoneku jatuh," jawab Jennie, seolah tidak pernah terjadi apapun sebelumnya.
"Ahh... Apa kau masih sibuk?"
"Tidak, aku akan pulang sekarang."
"Apa kau bisa mengemudi?"
"Bisa, kenapa?"
"Bisa kau mengantarku pulang? Aku rasa aku tidak bisa menyetir sekarang. Kepalaku sakit sekali," pintanya.
Jennie mengantar Lisa pulang. Gadis itu gugup sebab ini kali pertamanya mengemudikan sebuah sport car. Ia gugup, juga bersemangat disaat yang bersamaan. Kalau Lisa tidak kelihatan murung, ia pasti berani berfoto di sana. Ia bisa memamerkan foto itu pada Christ nanti.
"Mampir lah," pinta Lisa, begitu mereka tiba di rumahnya. Ia ajak Jennie masuk ke dalam unit apartemennya. "Sedikit berantakan, aku belum sempat merapikan rumahku beberapa hari ini," susulnya, mempersilahkan Jennie masuk, kemudian menyuruhnya untuk duduk dimana pun. Jennie bisa duduk di ranjang, ia juga bisa duduk di meja makan, atau di sofa.
Jennie memutuskan untuk duduk di sofa, di sebelah segulung selimut yang Lisa biarkan di sana. Sedang pemilik rumahnya sibuk mengemasi beberapa makanan dari lemari es. "Ibuku baru saja mengirim makanan ke sini. Aku ingin memberikannya pada orang-orang di kantor, tapi belum sempat mengemasinya," ceritanya, sementara mata Jennie justru terfokus pada selembar formulir pendaftaran pernikahan yang ada di lantai. Di bawah cahaya terang rumah itu, Jennie bisa membaca nama Lisa juga Jiyong di atas formulirnya.
"Editor Kim, ini-"
"Apa? Oh... Itu? Itu untuk mendaftarkan pernikahan, tapi mempelai prianya tidak mau menandatanganinya. Padahal aku sudah mengisinya," santai Lisa, mengulurkan sebotol minuman kemasan pada Jennie lantas kembali mengemasi beberapa lauk yang ingin ia berikan.
"Anda dan Direktur Kwon? Berselingkuh?"
"Tidak. Aku ditolak, tadi. Kau melihatnya," santai Lisa sementara Jennie tergagap canggung, ia tidak tahu bagaimana harus merespon ucapan Lisa barusan.
Malam ini Jennie merasa baru saja ditelan ekspetasinya. Lisa yang ia pikir baik, Lisa yang ia pikir manis, hampir sempurna seharusnya tidak boleh bersikap begini. Sepengetahuan Jennie, Jiyong sudah menikah. Lisa pasti sudah gila kalau ia ingin menikahi pria yang sudah menikah.
"Kenapa kau menatapku seperti itu? Seolah kau ingin menghancurkan kepalaku? Apa sangat mengejutkan kalau aku ditolak?" heran Lisa.
"Direktur Kwon sudah menikah."
"Ahh! Tidak, dia belum menikah. Dia hampir menikah tapi rencana itu gagal," jawab Lisa. "Sebenarnya aku berencana mengejutkan kalian semua besok. Tapi, karena kau satu-satunya temanku di kantor, maksudku aku tahu dimana rumahmu dan kau tahu dimana rumahku, jadi aku pikir kita bisa berteman, jadi aku ingin memberitahumu lebih dulu. Jangan terlalu terkejut besok- heish... Apa yang sebenarnya sedang aku bicarakan? Maaf, aku membuatmu bingung, iya kan?" oceh Lisa, terdengar santai namun siapapun tahu kalau ia sedang gugup sekarang.
Lisa tidak tahu apa yang dilakukannya itu benar atau salah. Seperti sedang bertaruh, dia bisa saja berhasil dan bisa juga gagal. Tidak ada yang bisa ia ajak bicara. Tidak ada yang bisa ia ajak berdiskusi, membuat rencana. Ia memikirkan segalanya sendirian, ia memutuskan segalanya sendirian. Memang selalu begitu, namun taruhannya kali ini bisa mengusik danau yang sebelumnya tenang. Taruhannya kali ini bisa merusak suasana di kantor.
"Editor Kim, apa kau baik-baik saja?"
"Tidak," geleng Lisa, meletakan kotak makan yang ia pegang di atas meja kemudian menarik kursi meja makan dan duduk di sana. "Aku baru saja di tolak. Bagaimana mungkin aku baik-baik saja? Meski aku bilang aku baik-baik saja, aku tidak benar-benar begitu. Tapi... Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Aku- heish! Aku ingin menendang kepala bajingan egois itu!" kesal Lisa, tentu membuat Jennie jadi semakin bingung. Gadis itu sempat tergagap tapi kemudian menaikan nada bicaranya. "Kalau kau tidak ada di kantor, aku pasti sudah memukulnya," pelan Lisa kemudian.
Jennie mendengarkannya. Gadis itu tidak benar-benar memahami kata-kata Lisa, tapi ia tidak punya pilihan lain selain mengiyakannya. Bahkan sampai Lisa mengantar Jennie ke taksinya, gadis itu masih tidak bisa memahami cerita Lisa. "Jadi mereka pernah berkencan, hampir menikah lalu batal dan sekarang Editor Kim ingin kembali pada Direktur Kwon? Apa dia waras? Dia sudah meninggalkan Direktur Kwon tiga tahun lalu dan sekarang dia ingin kembali lagi padanya? Wahh... Gadis kaya memang luar biasa, dia pasti terbiasa mendapatkan segalanya," heran Jennie, di dalam taksinya setelah mobil itu melaju pergi meninggalkan Lisa juga gedung apartemennya.
Sementara itu di apartemennya, Lisa berdiri di depan pintu apartemennya. Ia baru kembali setelah mengantar Jennie dari taksinya dan sekarang berdiri di depan pintunya dengan sebuah tabung merah pemadam kebakaran di tangannya. "Haruskah aku melakukan ini?" gumamnya, ragu. "Ini konyol, tapi tidak bisa tidur berhari-hari bisa membuatku mati konyol," susulnya, mengambil ancang-ancang untuk merusak kunci rumahnya sendiri.
"Lisa-ya, apa kau sangat ingin tinggal bersamanya?" tanyanya, tentu kepada dirinya sendiri. "Tidak. Tapi tinggal dengannya dan memastikan sendiri kalau dia baik-baik saja, bisa mengurangi bebanku, iya kan? Memastikan dia tidak terluka lebih baik daripada ditelepon dan di suruh pergi ke rumah sakit, iya kan? Tapi konyol sekali kalau dia tertipu seperti ini. Augh! Sialan! Cepat putuskan Lisa, lakukan atau tidak?! Tabung ini berat!" gadis itu punya dilema panjang yang berakhir dengan rusaknya kunci pintunya, juga kenop pintunya.
Selanjutnya Lisa menelepon petugas keamanan di gedungnya. Ia katakan kalau ia merusak pintu rumahnya sendiri, kemudian meminta paman petugas keamanannya untuk menghapus rekaman CCTV di depan apartemennya malam ini. Ia perlu menyingkirkan bukti. Ia juga perlu menyingkirkan tabung merah yang membuat tangannya sakit.
"Aku tidak percaya aku bisa melakukan hal seperti ini lagi," gumam Lisa, sembari mengacak-acak rumahnya sendiri, seolah ada pencuri yang masuk ke sana. "Akhir-akhir ini dia sakit, dia tidak akan menyadari trik ini. Tenang Lisa, kau hanya perlu berakting. Jangan gugup, bajingan itu tidak akan menyadarinya. Ingat lah kau pernah melakukan yang lebih buruk dari ini dan saat itu dia tetap mempercayaimu- tapi saat itu dia belum mengenalmu? Ah! Bagaimana ini?! Kenapa sekarang kau ragu?! Kau sudah memutuskannya Lisa!" ia tidak berhenti bicara pada dirinya sendiri sampai tangannya menekan nomor telepon Jiyong kemudian meneleponnya. "Cepat angkat... Rencanaku tidak boleh gagal, aku sudah merusak pintuku sendiri. Ya! Angkat teleponku!" kesal Lisa, sebab Jiyong mengabaikan panggilannya.
Karena kesal, Lisa melempar handphonenya dan benda tipis itu kemudian berdering. Jiyong tidak mengabaikannya, pria itu hanya terlambat menjawab panggilan Lisa namun Lisa sudah terlanjur kesal. Sangat kesal sampai rasanya gadis itu ingin menghancurkan sesuatu— apapun yang ada di depannya dan kebetulan itu TV-nya.
"Wahh... Sekarang jadi lebih baik," tenang Lisa, berbaring di sofa setelah ia menginjak-injak TV-nya sendiri. Ia baru saja melepaskan emosi yang sudah beberapa hari ini ia tahan. "Aku harusnya naik rollercoaster saja... TV-ku yang malang, maafkan aku," ucapnya, masih berbaring di sofa dengan pintu rumah yang ia biarkan terbuka. Pintunya tidak bisa di tutup karena kenopnya yang rusak.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare for The Devil
FanfictionDalam pikirannya, ia yang paling kejam. Dalam kenangannya, ia yang paling keji. Namun gadis itu datang kemudian menyeretnya ke mimpi buruk dalam terowongan gemerlap tanpa ujung.