***
Malam ini Jiyong justru tidak bisa tidur. Sudah berjam-jam sejak ia pulang dari rumah Lisa. Dirinya mengantar Lisa pulang setelah urusan mereka selesai di hotel, setelah konsultasinya selesai, setelah obrolan Lisa dengan Jennie selesai. Malam ini Jiyong tidak berkunjung ke rumah Lisa. Pria itu hanya mengantar Lisa pulang, menerima pelukan dari gadis itu kemudian pulang ke rumahnya sendiri.
Jam sudah menunjuk pukul tiga pagi dan Jiyong masih duduk di ranjangnya. Lagi-lagi ia mengingat Sohyun, juga Lisa di waktu yang sama. "Anda tidak bisa melakukan apapun lagi untuk teman anda yang sudah meninggal, tapi masih ada banyak hal yang bisa anda lakukan untuk mereka yang berdiri di sisi anda. Untuk kekasih anda, untuk keluarganya, untuk teman-teman anda yang masih hidup, untuk orang-orang disekitar anda. Tuan Kwon, bukankah anda ingin melakukan sesuatu untuk orang-orang di sekitar anda? Mereka membutuhkanmu," kata-kata Dokter tadi, berputar di atas kepala Jiyong.
"Tapi itu tidak adil bagi Sohyun," gumam Jiyong, mengulangi dialognya dengan sang Dokter beberapa jam lalu.
"Kalau anda bicara tentang keadilan, apa menurut anda, benteng yang anda bangun sekarang itu adil untuk orang-orang disekitar anda? Membagi setengah apel untuk orang yang masih hidup dan orang yang sudah meninggal, apa menurut anda itu adil? Anda punya sebuah apel, setengah apel itu milik anda, setengah lainnya bisa anda berikan pada orang lain. Kepada siapa setengah apel itu akan anda berikan? Kepada seseorang yang sudah meninggal atau pada seseorang yang ada di depan anda?" tanya sang Dokter dalam ingatan Jiyong. "Kalau setengah apel itu anda berikan pada seseorang yang sudah meninggal, apa yang akan terjadi? Apel itu hanya akan busuk di atas makamnya, iya kan? Tapi kalau anda berikan setengah apel itu pada orang di hadapan anda, anda akan melihat orang di hadapan anda tersenyum, senyumnya akan sangat mempesona, iya kan? Namun teman anda yang sudah meninggal tidak akan mendapatkan apapun, dia pasti sedih, apa anda berfikir begitu? Kalau iya, anda punya pilihan lain. Anda bisa membagi setengah apel itu jadi dua, atau jadi tiga, jadi empat. Setengah apel, sepertiga apel, seperempat apel, seperlima bahkan sepersepuluh apel, semuanya tetap apel. Sedikit atau banyak, jelas atau semu, cepat atau lambat, kebahagiaan tetap kebahagiaan. Meski anda belum bisa memberikan setengah apel pada orang di hadapan anda, anda bisa memberinya sedikit demi sedikit apel itu. Meski anda belum bisa memberikan setengah kebahagiaan anda, anda bisa memberikannya sedikit demi sedikit. Tidak perlu merasa bersalah, pelan-pelan, anda bisa memberi orang-orang disekitar anda kebahagiaan pelan-pelan, sedikit demi sedikit."
Di malam yang semakin larut itu, Jiyong kemudian bangkit. Ia raih handphonenya, juga headphone yang tidak pernah ia pakai sebelumnya. Lisa menghadiahi Jiyong sebuah headphone mahal di hari kelulusannya. Jiyong ingat apa yang Lisa katakan saat itu, dan ia menyukainya— headphone itu. "Oppa butuh banyak hal, aku bisa memberikan semua itu, tapi oppa akan meninggalkanku kalau aku melakukannya. Jadi aku belikan sesuatu yang paling penting, tutup telingamu, hanya dengarkan nada-nada yang indah. Seperti saat oppa menutup telingaku waktu itu, aku juga ingin melakukannya untukmu. Tapi karena aku akan sibuk di kampus dan oppa sibuk bekerja, aku tidak bisa terus menutup telingamu. Jadi tutup sendiri telingamu, aku belikan headphone karena kira-kira ukuran penutup telinganya sebesar tanganku, jadi anggap saja aku yang sedang menutup telingamu." Setelah berpisah tiga tahun lalu, Jiyong tidak pernah memakai headphone itu lagi. Headphone tua yang suaranya tidak lagi bagus. Handphone tua yang sekarang kalah dengan headphone-headphone baru. Headphone abu-abu kusam, yang tersingkir oleh headphone baru penuh warna, dengan suara jernih bahkan tanpa kabel.
"Sudah rusak," gumam Jiyong, sesaat setelah ia mencoba memutar musik dengan headphone itu. Sama seperti dirinya, setelah tiga tahun ditinggal pergi, headphone itu rusak dengan sendirinya.
Meski tidak bisa mendengar musik apapun dengan headphone di telinganya itu, Jiyong tetap berjalan keluar dari rumahnya. Beberapa lagu lama berputar di angannya. Lagu-lagu yang bisa berputar hanya dengan kenangan, tidak perlu pemutar musik apapun. Dengan mantelnya, ia tiba di trotoar depan gedung apartemennya. Berjalan keluar dari kompleks apartemen itu, pelan-pelan menyusuri trotoarnya yang sepi dan berangin.
Tiba di depan pintu stasiun kereta bawah tanah, Jiyong berhenti melangkah. Sebuah lagu lama berputar di headphone rusak yang Jiyong kenakan— at the subway stop in front of city hall dari Zoo. Lantas ia dengar suara Lisa memanggilnya. Malam yang gelap itu perlahan-lahan berubah jadi siang dalam ingatan Jiyong. Di siang hari yang ramai, Lisa berdiri di sebelah pintu stasiun, memanggilnya hanya untuk sekedar bicara dengannya. Mereka tidak pernah naik kereta bawah tanah, mereka hanya bertemu di sana. Bertemu kemudian berjalan, melewati satu demi satu restoran yang ramai sampai akhirnya kaki keduanya berhenti di sebuah toko tempat Jiyong kerja sambilan.
Jiyong melangkah menyusuri jalannya di masa lalu. Meski kini semuanya sudah berubah, tubuh pria itu masih bisa menemukan jejak-jejak kehidupannya dulu. Satu persatu ia kunjungi lagi tempatnya kerja sambilan. Lima belas, enam belas, tujuh belas selama hidupnya ia pernah bekerja di tujuh belas tempat berbeda.
Saat sadar, hari sudah kembali gelap ketika Jiyong tiba di tempat kerjanya yang ke tujuh belas. Di sana, matanya menemukan tubuh Lisa, berdiri menatapnya setelah keluar dari kantor majalahnya. Gadis itu datang ke kantor majalah sepulang kerjanya, sebab Jiyong tidak bisa ia hubungi seharian ini. Jiyong mengabaikannya pesan dan panggilannya seharian ini, ia bahkan tidak ada di rumah meski mobil dan dompetnya ada di sana.
"Oppa!" seru Lisa, berlari kecil menghampiri Jiyong yang berdiri beberapa meter dari tempatnya saat itu. Jiyong melepaskan headphone-nya untuk mendengar suara Lisa, ia pegang headphone itu dengan sebelah tangannya sedang tangan lainnya meraih Lisa, memeluknya. "Kenapa kau sibuk sekali hari ini? Sampai tidak membalas pesanku sama sekali? Padahal ada banyak hal yang ingin aku ceritakan," tanya Lisa, balas memeluk Jiyong, ia harus menghela lega nafasnya karena Jiyong masih hidup. Tahu kalau pria itu pergi tanpa dompet dan mobilnya, tidak ada satupun pikiran positif dalam kepala Lisa sepanjang sore ini.
"Maaf," balas Jiyong. "Maaf karena aku terlalu sibuk dengan perasaanku sendiri. Sampai aku tidak sadar kalau kau juga punya perasaan yang aku abaikan. Aku sedih karena Sohyun, sampai aku tidak sadar kalau kau juga sedih karenaku. Aku kesulitan karena Sohyun, sampai aku tidak sadar kalau kau juga kesulitan karenaku. Aku tidak bahagia karena Sohyun, sampai aku tidak sadar kalau kau juga tidak bahagia karenaku. Maafkan aku. Hari ini aku pergi jalan-jalan dan ternyata, ada banyak tempat yang sudah aku kunjungi. Ku pikir tempat Sohyun pergi yang paling sulit ku kunjungi, tapi ternyata aku bisa ke sana. Aku bisa berdiri di bawah jendela itu. Tempat yang tidak bisa ku kunjungi justru rumahmu. Tempat aku pertama kali melihatmu, tempat aku pertama kali bertemu denganmu, tempat aku terakhir kali melihatmu tiga tahun lalu. Aku hanya sampai di ujung jalannya. Tidak berani mendekat. Tidak bisa melangkah lagi," cerita Jiyong, masih sembari memeluk Lisa, meletakan sebelah tangannya di punggung gadis itu, sedang sebelah lainnya ada di bagian belakang pinggangnya.
"Mau berkunjung ke rumahku?" tanya Lisa, memeluk Jiyong sembari menepuk-nepuk lembut punggung pria itu.
"Tidak. Lain kali. Kalau aku sudah sembuh. Apa yang ingin kau ceritakan? Pekerjaanmu hari ini? Bagaimana pekerjaanmu hari ini? Sulit?"
"Hm... Aku bertengkar lagi dengan wanita tua itu. Tapi tidak apa-apa, karena oppa baik-baik saja, aku tidak apa-apa."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare for The Devil
FanfictionDalam pikirannya, ia yang paling kejam. Dalam kenangannya, ia yang paling keji. Namun gadis itu datang kemudian menyeretnya ke mimpi buruk dalam terowongan gemerlap tanpa ujung.