34

494 80 0
                                    

***

Urusannya di Jepang berjalan sangat lancar. Bersama asistennya yang mendorong troli koper, ia melangkah di bandara, bergegas untuk kembali ke negaranya. Di tangannya ada sebuah bingkisan kecil, dengan satu kotak beludru berwarna hitam berpita merah muda. Sembari tersenyum, pria itu merogoh sakunya, menelepon kekasihnya.

"Halo? Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" tanya Jiyong, begitu Lisa menjawab panggilannya sore hari ini.

"Tidak buruk. Sudah ada tim baru untuk Kim Seonho, aku menjadikannya ketua tim. Ku dengar Cha Eunwoo berencana pergi keluar negeri. Kalau nyonya Park dan Ketua Tim Park mereka baru saja mengirim surat pengunduran dirinya. Semuanya berjalan hampir seperti yang aku inginkan, tapi aku tidak seberapa senang," ceritanya, yang sore ini masih berada di kantornya, masih bersiap-siap untuk pulang.

"Kenapa?"

"Terlalu cepat selesai. Belum sampai seminggu, semuanya berakhir begitu saja."

"Bukankah itu bagus? Aku sempat khawatir mereka marah, balas dendam dan melukaimu."

"Ayahku tidak akan membiarkannya. Ayahku memberi mereka pekerjaan lain. Aku baru mengetahuinya kemarin."

"Ya? Ayahmu? Kenapa? Dimana?"

"Agar mereka merasakan apa yang aku rasakan? Dirundung karena punya koneksi. Ayahku memberi mereka pekerjaan di perusahaan kecil milik temannya. Tentu saja dua perusahaan berbeda. Menyebalkan," cerita Lisa. "Tapi oppa jadi pulang hari ini kan?" tanya Lisa kemudian.

"Hm... Aku sudah di bandara sekarang, tapi pesawatnya delay."

"Karena hujan? Di sini juga hujan, deras sekali, mungkin bisa disebut badai? Perasaanku sedikit gelisah hari ini, aku ingin cepat-cepat bertemu denganmu, oppa," balasnya.

"Tunggu aku di rumahmu, aku akan ke sana nanti. Lalu besok, bagaimana kalau kita bertemu dengan orangtuamu?" tanya Jiyong, sembari memperhatikan bingkisan kecil yang ia bawa. Bingkisan berisi kalung juga cincin yang sengaja ia siapkan untuk mengejutkan kekasihnya.

Usai membuat kekasihnya tersenyum, Jiyong simpan kembali handphonenya. Ia dudukan tubuhnya di ruang tunggu bersama asistennya. Ia pandangi lagi bingkisan yang dipegangnya. Senyum terulas di wajahnya, jantungnya berdebar sangat kuat hingga ia tidak bisa menahan senyumnya itu. Angan akan senyum lebar Lisa muncul di kepalanya. Gadis itu pasti senang menerima hadiah darinya— bayangnya.

Sayang sekali senyumnya tidak bertahan lama. Senyum itu lenyap seolah tidak pernah ada sebelumnya. Senyumnya menguap bersama angannya sendiri. Hancur berkeping-keping seperti dinding yang baru saja meledak. Ranjau yang Lisa tinggalkan di depan kaki Jiyong, baru saja terinjak, meledak tanpa aba-aba.

Jiyong baru saja mengecek artikel-artikel yang Lee Seungri kirim dan Jennie salah satu editor yang menulis artikel itu. Tiga artikel pertama baik-baik saja. Bahkan artikel keempatnya layak terbit, kalau tidak ada sisipan gambar di sana. Gambar dari sepenggal surat peninggalan Kim Sohyun.

"... Itu adalah surat peninggalan seorang Coffee Kim. Ia hanya berusaha untuk hidup, tapi kenapa dunia begitu kejam padanya? Mereka bilang, hidup seperti berenang di perairan yang luas, tapi kenapa hanya aku ikan air tawar yang berenang di lautan?— pertanyaan itu, yang ingin Coffee Kim tanyakan dalam surat terakhirnya. Dengan banyak dukungan, si ikan air tawar terus berenang dalam air asin yang menyakiti insangnya. Seandainya, ada seseorang yang mengatakan padanya, hei ikan air tawar, tempat ini bukan untukmu, kau tidak akan berhasil di sini, pergilah ke perairan lain, akankah Tuhan memindahkannya ke sungai dan ia hidup bahagia di sana sekarang?

Nightmare for The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang