***
Aku ikan kecil yang lulus dari kolam kecil biasa-biasa saja. Aku datang ke laut luas beberapa tahun lalu dan ingin jadi ikan besar di sana. Itu impianku. Untuk masa depan yang belum pasti, aku belajar, aku bekerja sangat keras.
Aku berusaha dan percaya usaha tidak akan mengkhianatiku. Aku percaya kalau semangatku bisa menembus ombaknya. Tapi kenyataannya berbeda dari apa yang aku percayai. Usaha tidak akan mengkhianatiku— adalah harapan palsu di laut luas ini.
Seekor ikan yang mulai gemuk menghiburku. "Kau akan segera menemukan tempatmu di laut ini, bertahanlah, pintu terakhirnya akan segera terbuka untukmu," begitu kata si ikan gemuk. Tapi semakin aku bertahan, semakin aku berusaha menyesuaikan diriku dengan ombak di laut ini, ombaknya jadi semakin kuat dan hanya aku yang terluka.
Seekor lumba-lumba yang cerdas memberitahuku, "ayo pergi dari laut ini. Kita bisa berenang ke sisi laut yang lain. Ke laut lain yang lebih tenang, yang lebih nyaman," katanya. Tapi aku tidak ingin pergi. Aku tidak ingin mencoba pergi ke laut lain yang belum pernah aku kunjungi. Lalu lumba-lumba itu berkata lagi, "Kalau kau tidak ingin mencobanya karena takut gagal, apa itu membuatmu bahagia? Apa salahnya mencoba lalu gagal? Kau hanya perlu bangkit lagi, kita hanya perlu berenang lagi."
Namun di lautan ini, hanya orang sukses yang boleh gagal. Tidak ada yang akan memperhatikan kegagalan seorang pecundang, seekor ikan kecil sepertiku. Kegagalanku hanyalah satu dari banyak kegagalan lain di laut yang luas ini. Di lautan ini, aku tidak berenang menuju kebahagiaan. Aku berenang menjauhi kemalangan.
Lalu aku membenci diriku sendiri. Aku pikir waktu bisa menyelesaikan segalanya. Aku pikir seiring berjalannya waktu semuanya akan baik-baik saja. Tapi, seiring berjalannya waktu aku justru jadi semakin marah. Aku mengatakan tidak apa-apa seperti sebuah mantra. Tapi sebenarnya, setiap kali aku mengatakannya, aku tidak benar-benar begitu. Aku marah, aku sedih, aku terluka, aku sakit, aku lelah, aku takut, sangat lelah, sangat takut.
Kini, aku menolak sokongan hidup untuk takdir yang menyedihkan ini.
Kim Sohyun
***
Sore ini, di kantornya, Lisa membaca pesan bunuh diri yang Sohyun tinggalkan. Setelah kemarin ia membawa Jiyong ke rumah sakit, hari ini mereka berdua kembali berkerja— meski Jiyong sengaja bekerja di luar kantor untuk menghindari Lisa. Direktur Kwon pergi bersama asistennya untuk menemui beberapa investor di luar kantor. Perjalanan bisnis— katanya.
Pesan bunuh diri itu, sudah lama di singkirkan oleh perusahaan. Namun Lisa masih menyimpan salinannya. Sama seperti Jiyong, gadis itu pun sedih karena Sohyun memilih untuk melepaskan sokongan hidupnya. Lisa menyayangi Sohyun, Lisa mengasihinya, ia berharap dirinya bisa memutar waktu, agar ia bisa menyelamatkan Sohyun. Namun tidak ada satu pun hal yang bisa ia lakukan untuk Sohyun sekarang.
"Editor Kim? Lisa?" tegur Jennie, mengejutkan Lisa yang sedari tadi menatap sedih layar laptopnya. Gadis itu berkaca-kaca hanya dengan menatap layar di hadapannya. Seolah film sedih tentang kematian Sohyun berputar di sana. "Kau baik-baik saja?" susulnya, yang mendapatkan tatapan penasaran dari hampir semua orang di ruang kerja itu.
"Tidak," geleng Lisa. "Asisten Kim, aku punya sebuah materi. Akan ku kirim materinya padamu, bisakah kau membantuku memilih lagu yang cocok untuk materinya?"
"Hm... Kirim saja materinya," jawab Jennie, menganggukan kepalanya, sembari membalas tatap penasaran rekan-rekan kerjanya.
"Tapi materi ini rahasia. Jangan memberikannya pada siapapun, kau bisa dipecat kalau materi ini tersebar, apalagi kalau Direktur Kwon mengetahuinya," pesan Lisa. "Aku sudah mengirimnya, hanya baca lalu hapus materinya," susulnya, setelah ia mengirim pesan bunuh diri yang Sohyun tinggalkan sebelum kematiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare for The Devil
FanfictionDalam pikirannya, ia yang paling kejam. Dalam kenangannya, ia yang paling keji. Namun gadis itu datang kemudian menyeretnya ke mimpi buruk dalam terowongan gemerlap tanpa ujung.