13

338 102 2
                                    

***

Selama perjalanan ke rumah sakit, Lisa berusaha untuk tetap tenang. Ia tidak mengatakan apapun namun pada akhirnya air matanya tetap jatuh. Sembari mengemudi, gadis itu terisak. Jam sudah menunjuk pukul dua, jalanan sepi, namun suara isakannya membuat mobil Jiyong terasa seperti sebuah ruang penyiksaan. Jiyong tidak bisa mengatakan apapun. Jiyong tidak bisa menenangkan Lisa— ia tidak berani melakukannya, menoleh kemudian mengusap bahu gadis itu, memintanya berhenti menangis, menghiburnya.

Lagi-lagi sebuah kebetulan terjadi, atau justru takdir? Begitu tiba di rumah sakit, Lisa menghentikan mobilnya. Tanpa lama menunggu, penumpang di mobil itu turun, begitu juga dengan Lisa. Ia tinggalkan mobilnya di tepi jalan, tidak jauh dari UGD. Mereka melangkah masuk ke UGD dan di sanalah kebetulan itu terjadi— Ten ada di sana. Ten tidak bekerja di UGD, ia hanya kebetulan ada di sana karena mengunjungi rekan kerjanya. 

"Lisa? Kenapa kau-"

"Tolong," ucapnya, sembari terisak, menghapus bulir air matanya yang terus jatuh meski sudah berkali-kali ia usap. Gadis itu menarik tangan Jiyong, menunjukan tangan pria itu pada Ten. "Tolong aku," pintanya, masih terus terisak seolah Jiyong sekarat di sana.

Jiyong tidak terluka parah. Tangannya berdarah karena pecahan kaca. Entah apa yang baru Jiyong hancurkan, tapi Ten menemukan banyak serpihan kaca warna-warni di luka pria itu. Seolah Jiyong baru saja meremas segenggam serbuk kaca dengan tangan kanannya sendiri.

Kwon Jiyong tidak mengatakan apapun sampai tangannya selesai diobati dan dibalut perban. Sedang Lisa menyelesaikan urusan administrasinya. Jiyong menunggu sendirian di atas ranjang UGD sementara Lisa pergi. Ia pandangi tangannya kemudian mengulas sebuah senyum kecut.

Ia sudah berusaha tiga tahun ini. Ia berusaha hidup dengan tenang selama ini. Sesekali ia memang ingin mengakhiri hidupnya, bunuh diri seperti yang Kim Sohyun lakukan. "Lisa akan jadi sepertiku kalau aku mengakhiri hidupku seperti Sohyun," pikir Jiyong, yang selalu berhasil menghapus rencana bunuh dirinya. Ia berusaha untuk tetap hidup, meski dirinya sangat merindukan tunangannya. Ia siksa dirinya sendiri dengan rasa rindu itu. Namun kini Lisa datang dan Jiyong ingin bebas dari siksaan itu. Ia ingin bahagia bersama tunangannya tapi di saat yang sama ia merasa buruk karena mendambakan kebahagiaan itu.

"Apa kau juga terluka?" samar-samar, Jiyong mendengar suara Ten. Dokter itu tengah bicara pada Lisa, dibalik tirai yang mengisolasi Jiyong dari pasien-pasien lainnya.

"Tidak," kali ini suara serak Lisa yang terdengar. "Tapi Ten, tolong rahasiakan ini dari orangtuaku, apalagi ibuku, ya? Jangan memberitahunya kalau kau melihat kami di sini. Tidak, jangan memberi tahunya kalau kami ke sini, ya?" mohon Lisa dan tanpa banyak bertanya, Ten mengiyakannya. Ia berjanji tidak akan memberitahu siapapun kalau Lisa datang ke rumah sakit bersama seorang pria yang terluka.

"Tapi, kurasa temanmu butuh bantuan profesional. Kalau terus dibiarkan, keadaannya bisa lebih buruk dari hari ini. Kau mungkin akan terluka juga. Karena itu... Pastikan temanmu menemui seorang dokter, ya? Aku bisa membantu mencari psikiater yang-"

"Kami akan pergi ke rumah sakit lain untuk itu," potong Lisa. "Orangtuaku tidak boleh mengetahui masalah ini. Akan ku bawa dia ke tempat lain, maaf tapi terimakasih," pelan Lisa, yang kemudian membungkuk, begitu sopan hingga Ten salah tingkah karenanya.

Masih di malam yang sama, Lisa mengantar Jiyong kembali ke rumahnya. Sayangnya, tidak ada sedikit pun pembicaraan di sana, sepanjang perjalannya. Jiyong sibuk dengan perasaannya sendiri, begitu juga dengan Lisa. Sampai keduanya tiba di rumah Jiyong dan Lisa mengantar pria itu masuk ke dalam rumahnya. Baru kali ini Lisa memperhatikan seisi rumah itu. Barang-barang yang tiga tahun lalu Jiyong beli untuk rumah mereka selepas menikah, ada di sana.

Nightmare for The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang