***
Di sofa, Jiyong memeluk Lisa. Begitu juga sebaliknya. Untuk beberapa jam keduanya sempat terlelap, dan kini mereka bangun namun tidak berusaha merubah posisi mereka. Pelan-pelan dari sela tirai, matahari mulai menghangatkan mereka. Jiyong yang pertama kali bergerak, perlahan ia bangkit dan duduk di sofa, memangku kaki Lisa yang masih ingin berbaring.
"Aku tidak ingin pergi kerja," bisik Lisa, dengan mata terbuka lebar, menatap langit-langit ruang tengah. "Tidak. Aku harus berangkat. Memalukan kalau aku langsung menyerah di hari pertama. Tapi tubuhku tidak mau bergerak."
"Pergi saja dari sini dan kembali bekerja denganku."
"Tidak," tolak Lisa. "Harga diriku terluka kalau aku berhenti sekarang," yang kini menarik kakinya untuk bangun berdiri kemudian menghela nafasnya. "Hari ini aku akan datang ke sana sebagai putri CEO!"
"Sungguh?"
"Tentu saja tidak," geleng Lisa.
"Kau mau ku antar ke sana?"
"Sungguh?"
"Hm... Sepertinya kau tidak akan sampai ke kantor kalau berangkat sendiri."
"Hhh... Harusnya aku senang, tapi entah kenapa pagi ini aku merasa sangat sedih, seperti akan diantar ke neraka," komentar Lisa, yang kemudian melangkah ke kamarnya. Berdiri sebentar di depan pintu kamarnya kemudian mulai mengingat-ingat kode pintunya. Lisa bisa dengan mudah mengingat tanggal pernikahan mereka, namun karena Jiyong membalik tanggalnya, Lisa jadi perlu berfikir setiap kali harus membuka pintu. "Oppa, aku membencimu, sungguh. Kode pintunya menyebalkan," cibir gadis itu, kemudian menghilang di dalam kamarnya.
Jiyong tersenyum. Sebuah senyum simpul tipis yang kemudian mengantarnya bangkit, masuk kedalam kamarnya sendiri, bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Seperti biasanya, Jiyong akan menyeduh kopinya sendiri setelah selesai berpakaian. Sembari menyesap kopinya, ia membaca pesan asistennya yang datang untuk menjemputnya, meminta asistennya menunggu lebih lama sementara ia menunggu Lisa bersiap-siap.
Lisa keluar setelah Jiyong menghabiskan kopinya. Gadis itu berdandan lebih banyak daripada biasanya. Pakaiannya pun lebih formal, dengan warna gelap yang membuatnya kelihatan lebih tangguh dari biasanya. Rambut panjangnya ia ikat ekor kuda, rapi dan kuat adalah konsepnya hari ini.
"Aku tidak akan berkomentar," ucap Jiyong, meletakan cangkir kopinya di bak cuci piring kemudian melangkah ke pintu keluar.
"Apa aku sudah terlihat menakutkan? Terlihat tangguh?"
"Hm..." angguk Jiyong. "Tapi penampilanmu yang biasanya kelihatan lebih cocok untuk dipakai ke kantor."
"Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu," balas Lisa, kembali masuk ke dalam kamarnya namun sebelumnya ia mengumpat lebih dulu karena salah menekan kode pintunya. Dengan terburu-buru gadis itu bersiap, sedang Jiyong masuk ke dalam mobilnya lebih dulu. Mengatakan pada asistennya kalau mereka akan mampir ke kantor Lisa lebih dulu.
"Apapun yang kau dengar nanti, tutup telingamu, berpura-pura lah tidak mendengarnya," pesan Jiyong pada asistennya sebelum Lisa masuk ke dalam mobil itu.
Sekarang Lisa sudah berpakaian seperti biasanya. Ia pakai blazer dan celana pendek berwarna senada, warna biru lembut yang sengaja dipadukan dengan kemeja putih. Rambutnya masih diikat saat gadis itu masuk ke mobil, namun begitu duduk dan menutup pintu mobilnya, ia melepaskan ikat rambutnya.
Sepanjang perjalanan Lisa mengeluh. Gadis itu terus bicara meski tidak ada seorang pun yang menanggapinya. Seperti perintah Jiyong, pengemudi mobil itu sama sekali tidak bersuara. Sedang Jiyong yang duduk di sebelah Lisa masih bisa membaca laporan pekerjaan dari anak buahnya meski ada radio rusak di sebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare for The Devil
FanfictionDalam pikirannya, ia yang paling kejam. Dalam kenangannya, ia yang paling keji. Namun gadis itu datang kemudian menyeretnya ke mimpi buruk dalam terowongan gemerlap tanpa ujung.