27

289 90 10
                                    

***

"Oppa, selamatkan aku," pinta Lisa, begitu Jiyong menjawab panggilannya.

"Kenapa? Ada masalah apa?" tanya pria itu. Ia gerakan pergelangan tangannya, melihat jam yang melingkar di sana— masih jam makan siang. "Kau makan siang sendirian, lagi? Aku belum pergi makan siang, masih di kantor. Mau makan siang bersamaku?" tawar Jiyong namun Lisa menolaknya. Karena pekerjaannya Lisa tidak bisa pergi makan siang sekarang.

"Jadi tutorku sekali lagi," pinta Lisa setelah mengatakan kalau ia tidak bisa pergi makan siang. "Aku tidak bisa mengerjakan tugasku... Tapi tidak ada yang bisa membantuku di sini. Ajari aku, oppa tahu aku cepat belajar, aku pintar, iya kan?"

"Kau cepat belajar? Aku selalu ingin melemparmu dengan kursi setiap kali kita belajar matematika."

"Ya! Tutor apa yang tega melempar muridnya dengan kursi?! Psikopat!"

"Karena itu aku tidak pernah melempar kursi padamu. Apa? Apa yang tidak bisa kau kerjakan?"

"Rancangan anggaran untuk iklan cokelat- tunggu Ravi menjual cokelat? Ayahku punya pabrik cokelat?" heran Lisa. "Ahh... Tidak, ayahku hanya distributornya. Cokelatnya dari pabrik lain, ayahku yang menjual cokelat-cokelat itu ke minimarket. Tapi cokelatnya kelihatan enak, aku jadi ingin makan cokelat," oceh Lisa, sembari melihat beberapa artikel di komputernya.

"Kenapa kau membuat rancangan anggaran juga? Bukankah seharusnya ada tim lain yang mengerjakan itu?"

"Tidak tahu," geleng Lisa meski Jiyong tidak bisa melihatnya. "Sepertinya aku disuruh mengerjakan semua pekerjaan dari tim lain. Aku pikir, aku hanya perlu membuat konsep iklan di sini. Tapi tidak ada tugas seperti itu di mejaku. Tugas-tugasku hanya... Tidak tahu, seperti menyusun berkas-berkas? Tapi banyak sekali dan aku harus menyelesaikannya hari ini... Bantu aku, oppa tutorku, oppa harus mengajariku, ya?"

Di ruang kerjanya, Jiyong bicara di telepon sembari mengerjakan pekerjaannya sendiri. Sudah tiga puluh menit panggilan itu berlangsung, Jiyong meletakan handphonenya di atas meja setelah memasang mode speaker pada panggilan itu. Sesekali Lisa diam, membuat Jiyong bisa mendengar suara jemari gadis itu menekan keyboard-nya. Sesekali juga suara Lisa memenuhi ruang kerjanya. Meski tidak bicara, panggilan itu tidak akan berakhir dengan cepat.

"Direktur Kwon, anda tidak pergi makan siang?" tegur Kepala Redaksi Lee, yang sengaja masuk ke ruang kerja Jiyong setelah mengetuk pintunya.

"Aku punya banyak pekerjaan," jawab Jiyong, disusul perintah agar Seungri membawakannya makan siang setelah pria itu pergi makan siang lebih dulu. Jiyong bahkan memberikan kartu perusahaannya agar Seungri bisa mentraktir rekan-rekannya yang lain untuk makan siang juga.

"Aku juga mau ditraktir, oppa," celetuk Lisa, membuat Seungri langsung menatap Jiyong, begitu juga sebaliknya. Jiyong yang tetap diam, lantas membuat Seungri salah tingkah. Pria itu kemudian dengan canggung berpamitan, lekas pergi untuk memberi ruang pada Jiyong untuk bermesraan, entah dengan istrinya atau justru selingkuhannya— Seungri berpura-pura tidak peduli, seolah ia menghargai privasi bosnya itu.

"Nanti malam aku akan mentraktirmu," jawab Jiyong, setelah ia melihat Seungri menutup pintu ruangannya kemudian melangkah ke meja kerjanya sendiri.

"Sepertinya aku tidak bisa pulang malam ini."

"Bisa, kerjakan saja seperti yang aku katakan. Kau sudah selesai memasukan datanya belum? Kalau sudah cepat ke tahap selanjutnya. Kenapa lama sekali? Kau tidak sambil main game, kan?"

"Tidak! Augh! Aku sudah melewati masa-masa itu, mengerjakan tugas sekolahku sambil main game dan makan camilan... Ah... Aku rindu masa-masa itu. Waktu itu aku punya tutor yang mau mengerjakan tugasku, walaupun tutornya sedikit galak," cerita Lisa, membicarakan pria yang sedang membantunya sekarang.

Jiyong mengabaikan cerita itu. Ia suruh Lisa pergi membeli camilan, roti isi dan susu untuk makan siang kilat, namun Lisa menolaknya. Burger dan cola yang gadis itu pesan sedang di antar ke kantornya sekarang. Setidaknya Lisa masih bisa mengurus perutnya sendiri, meski ia tidak bisa melakukan itu untuk pekerjaannya.

Sampai pukul tiga saat orang-orang kembali studio pemotretan, Lisa masih bicara dengan Jiyong melalui teleponnya. Gadis itu memakai earphone-nya, namun kali ini ia bicara dengan suara yang amat pelan, hampir berbisik. Lisa juga berhenti membicarakan Ravi dan ayahnya lagi.

"Nona Kim, kau sedang menelepon? Saat bekerja?" tegur Ketua Tim Park, risih karena ada bisikan samar-samar yang masuk ke telinganya.

"Tidak," geleng Lisa. "Aku bicara sendiri, itu caraku untuk berkonsentrasi," jawabnya, membuat Jiyong terkekeh di sebrang panggilan itu.

"Bekerja lah dengan tenang, meski kau punya koneksi dan tidak takut dipecat, jangan menganggu yang lainnya," tegur pria paruh baya itu, membuat Lisa mau tidak mau mengiyakannya. Sepertinya Lisa harus menahan dirinya sepanjang hari. Semua orang dalam timnya benar-benar menyebalkan.

"Iya, aku minta maaf karena berisik," sabar Lisa, yang kemudian mematikan panggilan itu, menggantinya dengan mengirim pesan pada Jiyong. Panggilan itu memang berakhir tapi bukan berhati Jiyong bisa melarikan diri dan berhenti mengajarinya.

Akhirnya akhir pekan tiba. Di hari Sabtu ini, Lisa bangun lebih lambat dari biasanya. Ia butuh lebih banyak tidur setelah menghabiskan lima hari berharganya di neraka. Pukul sebelas, gadis itu keluar dari kamarnya. Jiyong sedang menonton film ketika Lisa keluar. "Oppa," panggil Lisa, berdiri di depan pintunya sembari menatap Jiyong di ruang tengah.

"Hm... Kau sudah bangun?"

"Kenapa oppa tidak membangunkanku? Aku ada lokakarya hari ini."

"Sudah aku bangunkan," jawab Jiyong. "Tapi kau tidak mau bangun."

"Seharusnya oppa tetap menyeretku pergi ke lokasi lokakaryanya," balas Lisa, yang kemudian mengulurkan tangannya, meminta Jiyong menghampirinya. "Kemarilah," panggil Lisa kemudian.

Jiyong melangkah mendekat tanpa mematikan TV di ruang tengah. Ia hampiri Lisa di kamarnya, kemudian masuk ke dalam ruangannya bersama pemilik kamar itu. Sudah ada sebuah koper di lantai, dengan beberapa pakaian yang tergeletak di sebelahnya.

"Kemasi itu untukku," pinta Lisa kemudian, ia jatuhkan tubuhnya di karpet, berbaring di sana sembari memeluk ranjangnya sendiri— menaikan sebelah tangan dan kakinya ke atas ranjang seolah sedang memeluk monster yang jauh lebih besar darinya.

"Kau akan pergi ke lokakarya sekarang?"

"Tidak. Aku akan pulang ke rumahku. Rumahku, bukan rumah orangtuaku," jawab Lisa.

"Kenapa?"

"Aku tidak bisa bekerja di neraka lagi. Lagi pula, aku rasa oppa sudah bisa tinggal di rumah sendirian. Kalau kita tinggal bersama, aku tidak bisa merengek memintamu menemuiku, tinggal terpisah akan lebih baik. Oppa akan merindukanku, aku akan merindukanmu, kita akan berusaha mengatur waktu untuk bertemu, lalu saat bertemu kita bisa melakukan sesuatu yang menyenangkan, seperti saat berkencan dulu."

Jiyong duduk di karpet setelah mendengar jawaban Lisa. Tanpa mengatakan apapun pria itu mulai mengemasi pakaian Lisa. Gadis itu tidak mengemasi semua pakaiannya. Ia berencana meninggalkan kamarnya di sana dan hanya pulang dengan satu kopernya.

"Kenapa oppa diam saja? Marah?" tanya Lisa, yang kini bergerak, memutar tubuhnya agar ia bisa berbaring dengan berbantalkan paha Jiyong. "Haruskah aku tetap tinggal di sini? Tapi kita belum menikah."

"Tidak," geleng Jiyong. "Akan lebih kalau kau pulang ke rumahmu sendiri. Kalau kau pulang, orangtuamu tidak akan terlalu khawatir lagi, kau juga bisa berhenti dari perusahaan ayahmu. Rumahmu juga tidak jauh dari sini. Aku bisa berkunjung ke sana. Tapi kenapa rasanya sedikit sedih? Aku sudah mulai terbiasa melihatmu tinggal di sini."

"Uhm... Kalau begitu... Cepat buka pintunya," balas Lisa, sengaja mengetuk-ngetuk dada Jiyong dengan jarinya. "Cepat buka pintunya untukku, lalu minta aku untuk menikah denganmu. Jangan lupa menemui dokter yang aku sarankan, dengarkan apa yang ia katakan, lakukan apa yang ia minta, cepat sembuh. Aku memang akan pulang ke rumahku, tapi jangan khawatir, aku bisa menginap di sini sesekali. Jadi jangan sedih," tuturnya lembut. "Sekarang kemasi pakaianku, cepat, cepat," susulnya membuat Jiyong yang sebelumnya sedikit sedih kini ingin mengacak-acak wajah gadis itu. Kalau bukan karena Lisa, Direktur Kwon tidak akan mengemasi pakaian seseorang seperti ini.

***

Nightmare for The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang