***
Masih di malam yang sama, Lisa pergi ke bar setelah Jiyong mengusirnya. Ia duduk sendirian di meja bar, menatap minuman yang di pesannya. "Kenapa tidak meminumnya?" tanya si bartender, seorang wanita berambut pirang yang kelihatan begitu lembut. "Apa kau tidak menyukainya?" susulnya, sedikit penasaran. Lisa adalah pelanggan pertamanya, tiga tahun lalu.
"Apa kau mengenalku?" tanya Lisa, pada si bartender usil yang banyak tanya dengan nama Rose di tag namanya, di dada sebelah kiri.
"Tidak," geleng gadis itu. "Tapi aku mengingatmu. Kau pernah datang ke sini tiga tahun lalu. Memesan sepuluh gelas koktail dan sebotol vodka, tapi tidak menyentuhnya. Sama seperti sekarang."
"Tiga tahun lalu, apa yang aku katakan?" tanya Lisa. Namun Rose sang bartender memilih untuk berpura-pura tidak mengingatnya. Aku tidak mengingat sebanyak itu, aku hanya mengingat wajah dan pesananmu— aku Rose, meski sebenarnya ia mengingat alasan Lisa datang tiga tahun lalu.
Rose, si bartender, mengasihani pelanggan pertamanya yang datang tiga tahun lalu. Lisa datang di hari pertama Rose bekerja, memesan sebelas jenis minuman berbeda namun tidak bisa meminum satu pun dari mereka. "Hari ini, aku tidak boleh mabuk. Karena mungkin saja sesuatu yang buruk akan terjadi. Karena mungkin saja, ada seseorang yang membutuhkan bantuanku. Aku harus tetap sadar," jawabnya tiga tahun lalu, sama seperti jawabannya malam ini.
Sang bartender ingat, kalau tiga tahun lalu pelanggannya itu datang karena batal menikah. Calon suaminya sakit dan mereka putus, karena itu pernikahannya di batalkan. Namun malam ini Lisa datang cerita yang lainnya.
"Aku rasa, sekarang aku sedang menerima karmaku," ucap Lisa, menatap satu gelas koktailnya seolah ia tengah menikmati minuman itu. "Aku pernah mengganggu teman-temanku. Saat itu aku tidak menyadarinya, tapi kini aku tahu kalau sikapku waktu itu mengganggu mereka. Kini aku tahu kalau aku merundung mereka. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Karena sekarang aku berada di posisi yang sama seperti teman-temanku waktu itu. Seorang eonni yang aku kenal menggangguku, dia merundungku tanpa menyadari perbuatannya. Eonni itu mengatakan pada kekasihku— kau beruntung, karena berkencan dengan gadis sepertinya. Kau pasti akan bahagia jika bersamanya. Kita hidup di dunia yang sama, tapi kau beruntung karena gadis dari Nirvana membawamu bersamanya. Meski aku tetap menderita, setidaknya kau bisa bahagia. Dia mengatakan itu kemudian meninggal. Kata-katanya seperti kutukan bagiku, sebab kekasihku merasa bersalah atas kematian itu. Dia sangat menyesal, sampai akhirnya dia memutuskan untuk mencampakkanku," ceritanya pada si bartender. "Dia tidak boleh bahagia karena teman seperjuangannya meninggal dalam kesengsaraan. Aku membuatnya bahagia, karena itu dia mencampakkanku. Tidak adil, 'kan?"
"Kalau memang begitu keinginannya, kenapa kau tidak membiarkannya pergi saja? Kau tidak perlu menahan pria yang tidak menginginkanmu lagi," jawab Rose, sembari mengelap beberapa gelas. "Kalau aku ada di posisimu, aku akan meninggalkannya. Aku tidak ingin mempertahankan pria yang tidak mau mempertahankanku."
"Aku sudah membuangnya. Tiga tahun lalu. Aku sudah pernah meninggalkannya. Tapi aku terus mengkhawatirkannya. Bagaimana kalau dia mengambil jalan yang sama dengan temannya itu? Bagaimana kalau dia bunuh diri? Dia pria yang hampir ku nikahi. Aku tidak bisa membuangnya kemudian hidup seolah-olah ia tidak ada lagi di dunia ini. Rasanya seperti... Dia keluargaku, aku tidak boleh meninggalkannya, aku menyesal karena pernah meninggalkannya seperti yang dia inginkan," ceritanya, menyesali keputusannya tiga tahun lalu. Kalau tiga tahun lalu ia tidak meninggalkan Jiyong, mungkin sekarang pria itu sudah sembuh dari rasa bersalahnya— angan Lisa.
Lisa ingin bicara lebih banyak. Ia ingin menceritakan semua yang ia rasakan pada orang asing di depannya itu. Namun mulutnya harus berhenti ketika beberapa pelanggan lainnya datang. Dua pasang kekasih datang dan duduk di sebelah Lisa, memesan beberapa gelas koktail.
Setelah malam jadi semakin larut, ia memutuskan untuk pergi. Namun sebuah kebetulan terjadi. Dalam perjalanannya pulang ia melihat sekelompok anak-anak sekolah berkelahi di jalan. Biasanya Lisa akan mengabaikan keributan-keributan seperti itu. Namun seseorang yang ia kenal ada di sana— Christopher Kim, adik Jennie.
Dengan mobilnya Lisa dekati perkelahian itu, melihat dari dekat apa yang terjadi, lantas menelepon polisi. Suara sirine polisi terdengar beberapa menit setelah Lisa melaporkannya. Segerombolan anak yang berkelahi itu kemudian berpencar, panik berusaha untuk segera melarikan diri. Di tengah kekacauan itu, seperti sekelompok semut lapar yang baru saja di ganggu, Lisa keluar dari mobilnya. Memanggil Christopher dengan namanya, menarik perhatian pria yang hampir melarikan diri itu kemudian mendapatkannya.
Christopher masuk ke dalam mobil Lisa beberapa detik sebelum polisi datang. Sebagian dari anak-anak itu tertangkap saat melarikan diri namun Lisa tidak peduli. Gadis itu hanya melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu.
"Kenapa kau masih berkeliaran tengah malam begini?" tanya Lisa, berkendara menuju rumah Jennie.
Christ memalingkan wajahnya, menolak untuk menunjukkan wajahnya pada Lisa. Mungkin bocah itu malu. Ia mengabaikan Lisa karena terlalu malu akan wajahnya yang babak belur.
"Tidak perlu mengantarku, noona. Aku bisa pulang sendiri dari sini," tuturnya, meminta Lisa menurunkannya di halte bus yang ada beberapa meter di depan mereka.
Awalnya gadis itu bersikeras untuk mengantar Christ pulang. Namun sebuah panggilan yang baru saja masuk di handphonenya, membuatnya membatalkan rencananya. Lisa menurunkan Christ di halte terdekat seperti permintaan pria itu. Namun sebelum Christ turun, Lisa memberinya beberapa lembar uang saku.
"Naik taksi kalau busnya terlalu lama. Beli juga beberapa obat untuk lukamu," pesan Lisa, memaksa Christ untuk menerima uang pemberiannya. "Jangan khawatir, aku tidak akan mengatakan apapun pada noonamu, hati-hati," susulnya, yang setelahnya mengemudi pergi sembari menelepon kembali nomor yang tadi menghubunginya— Kwon Jiyong.
"Apa aku membangunkanmu?" tanya Jiyong, begitu ia menjawab panggilan itu.
"Tidak. Aku sedang mengemudi sekarang. Ada apa?"
"Kau pergi ke suatu tempat?"
"Makan malam."
"Bersama seseorang?"
"Sendiri."
"Ah? Dimana?"
"Dimana aku makan?"
"Dimana kau sekarang?"
"Perjalanan pulang."
"Ke rumah orangtuamu?"
"Bukan, ke rumahku. Kenapa oppa meneleponku?"
"Boleh aku kesana?"
"Tidak. Aku yang akan ke tempatmu, dimana oppa sekarang?"
"Rumah."
"Aku akan sampai sepuluh menit lagi, tunggu sebentar," jawab Lisa, mengakhiri panggilannya lantas merubah tujuannya. Ia tidak tahu alasannya, tapi suara pria itu membuatnya khawatir. Suaranya lemah, terdengar begitu putus asa.
Begitu Lisa tiba di gedung apartemen mewah tempat Jiyong tinggal dan keluar dari mobilnya, klakson sebuah mobil berbunyi, memanggil Lisa untuk menghampirinya. Jiyong ada di mobilnya. Ia akan pergi ke suatu tempat Lisa ketika menelepon gadis itu beberapa menit lalu.
"Kemana oppa akan pergi?" tanya Lisa, menghampiri pria itu, membuka pintu mobil di sebelah Jiyong. "Turunlah, jangan menyetir dengan kondisimu yang sekarang. Kau bisa membahayakan orang lain."
"Rumah sakit," bisik Jiyong, ia ulurkan tangannya, menunjukan tangannya yang terluka, penuh darah meski sebagiannya sudah membeku, menggumpal jadi merah kehitaman. Itu bukan luka baru, mungkin lukanya sudah dua atau tiga jam yang lalu.
"Keluar lah... Aku yang menyetir," Lisa tarik lengan Jiyong, dengan lembut membantunya berdiri. Dengan tenang menemani pria itu melangkah memutari mobil, duduk di kursi penumpang bagian depan. Lisa mengantar pria itu ke rumah sakit, tanpa mengatakan apapun dengan sebuah pertanyaan besar di dalam kepalanya— bagaimana Jiyong hidup selama ini?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare for The Devil
FanfictionDalam pikirannya, ia yang paling kejam. Dalam kenangannya, ia yang paling keji. Namun gadis itu datang kemudian menyeretnya ke mimpi buruk dalam terowongan gemerlap tanpa ujung.