***
Bahkan bagi Lalisa naik jabatan tidak semudah memindahkan meja kerja. Ravi tidak bisa asal memecat seseorang hanya untuk memberi Lisa meja belajar. Lisa harus bertahan di posisinya sekarang, setidaknya satu bulan agar Ravi bisa menyiapkan meja kerjanya di ruangan yang baru, dengan jabatan yang baru. Meski begitu, rasa tenang membuat Lisa berhenti merasa seolah ia pergi ke neraka setiap hari. Hanya satu bulan, aku bisa mengatasinya— yakin Lisa.
Dengan mobilnya sendiri, hari ini Lisa pergi ke kantornya. Sembari menelepon Jennie gadis itu mengemudi, menanyakan bagaimana kabar si asisten editor yang ia tinggalkan. "Jadi, kau menggantikan posisiku sekarang? Wah... Aku harus memanggilmu Editor Kim sekarang? Selamat," ucap Lisa, baru saja mendengar kalau mulai hari ini Jennie diangkat jadi editor, menggantikan Lisa yang baru saja mengundurkan diri.
"Terimakasih, aku ingin mentraktirmu, kalau kau senggang," ucap Jennie di seberang panggilan itu.
"Aku juga ingin menemuimu, membicarakan tentang materi yang ku kirim waktu itu," balas Lisa. "Aku senggang malam ini, bagaimana kalau kita bertemu?" tawar Lisa dan Jennie menyetujuinya. "Baiklah, aku akan menjemputmu sepulang kerja nanti. Akan ku telepon lagi nanti sore," lanjutnya, yang kemudian mengakhiri panggilan itu, terus mengemudi sampai akhirnya ia tiba di kantornya namun kesulitan mencari tempat parkir.
Lisa datang sedikit terlambat hari ini. Begitu ia tiba di ruangannya, semua rekan-rekannya sudah ada di sana. Kim Seonho terlihat khawatir meski ia tidak bisa melakukan apapun. Sedang rekan lainnya menatap sinis pada gadis itu. "Maaf, aku kesulitan mencari tempat parkir pagi ini," ucap Lisa, menjelaskan alasannya terlambat meski penjelasan itu sama sekali tidak merubah tatap sinis rekan-rekannya.
"Oh ya? Kenapa kau tidak minta sponsormu untuk membuatkanmu tempat parkir pribadi?" sinis Tuan Cha, yang pertama kali membuka suaranya, mengundang tawa ketua tim mereka juga Nona Park yang duduk di depannya.
"Wah... Ide yang bagus Tuan Cha. Aku harus minta Direktur Kim memberiku tempat parkir khusus, tepat di sebelah pintu masuk," balas Lisa, yang kini duduk di tempatnya, tersenyum pada Kim Seonho di hadapannya, berencana untuk mulai bekerja.
"Wah... Kau ingin membual kalau sponsormu itu Direktur Kim? Kalau begitu, sponsorku pemilik perusahaan ini," balas Nona Park, membuat Lisa berdecak, menggelengkan kepalanya berpura-pura tidak mendengar apapun. Rasanya kesal mendengar ayahnya mungkin saja menjadi sponsor untuk karyawan menyebalkan seperti Nona Park— meski Lisa tahu itu tidak benar, sesuatu tidak akan pernah terjadi.
Tidak sampai pada terlambat dan tempat parkir. Seharian ini Lisa juga disindir karena tidak hadir saat lokakarya. Jiyong tidak mengatakan apapun pada hari Sabtu kemarin, dan hari ini Lisa baru tahu kalau ia mengirim pesan pada ketua timnya— meminta izin untuk tidak hadir pada lokakarya itu karena sakit. Jiyong yang mengirim pesan itu, dengan handphonenya, berpura-pura menjadi dirinya.
Makan siang sendirian, mengerjakan tugas orang lain sendirian, dan diabaikan. Sekalipun seseorang mengajaknya bicara, orang itu hanya ingin memerintahnya, atau justru menyindir dan memarahinya. Sudah satu minggu Lisa merasakan penyiksaan itu dan ia tetap tidak terbiasa dengannya.
Sampai pada malam ini, ketika Lisa seharusnya pergi menemui Jennie, gadis itu tertahan oleh Park Jihyo yang ingin membuat Lisa tinggal lebih lama di kantor. Ia menyuruh Lisa untuk membuat sebuah selebaran iklan. Lisa tidak tahu kenapa mereka butuh selebaran sementara pihak kompetitor sudah membuat video-video pendek untuk iklan mereka. Dan hal yang lebih tidak masuk akalnya, Lisa diminta membuat selebaran untuk sebuah produk yang tidak lagi mereka pakai. Ini buang-buang waktu— yakin Lisa, si orang awam.
Namun Park Jihyo tidak peduli. Lisa ada di sana untuk bekerja dan ia harus mengerjakan semua tugas yang diberikan padanya. Entah tugas itu berguna atau hanya untuk membuang-buang waktu. "Aku tidak tahu kalau perusahaan ini sepayah ini," komentar Lisa. "Sebenarnya siapa yang menerimamu di sini Nona Park? Memalukan sekali! Kau ingin perusahaan membayar uang lembur untuk tugas yang bahkan tidak menghasilkan sepeser pun uang?! Kau pikir perusahaan ini milikmu?!" kesalnya.
Nona Park membeku. Ia terkejut dengan pemberontakan yang Lisa lakukan barusan. Tidak pernah sekali pun Jihyo menduga kalau Lisa akan meneriakinya seperti itu. Harusnya Lisa takut. Harusnya Lisa malu. Harusnya Lisa menurut, kemudian diam-diam mengundurkan diri seperti karyawan sebelumnya— yang posisinya Lisa gantikan.
"Kau tidak punya kemampuan," sinis ketua tim mereka— Tuan Park. "Sebelumnya kau hanya editor. Editor freelance yang bahkan tidak seberapa terkenal-"
"Aku bukan editor freelance."
"Tapi kau tidak seberapa terkenal. Aku bahkan tidak pernah membaca artikelmu. Tapi Nona Park lulusan Fakultas Bisnis, Universitas Negeri nomor satu di sini. Tuan Cha, dia lulus dari Universitas Luar Negeri. Bahkan Tuan Kim yang pendiam itu sedang kuliah S3 sekarang! Semua orang disini berpengalaman tapi anda- kau, entah siapa sponsor yang kau tiduri, kau menghambat kerja kami. Kau tidak bisa melakukan apapun, kau bahkan tidak tahu dasar-dasar pekerjaan kami! Kau hanya benalu di sini! Apa kau tahu itu?!" marah Tuan Park, membuat Lisa hampir menangis dan menghancurkan meja dan seisinya di depannya.
"Karena itu, kau harus belajar. Kerjakan semuanya, kejar ketertinggalanmu. Semua orang disini sudah berusaha keras untuk sampai kesini. Kami, yang ada di sini, berjuang mati-matian untuk bisa duduk di sini. Tidak sepertimu yang hanya tidur dengan sponsormu. Jangan pulang sampai selebarannya selesai," tegas Nona Park, bergegas pergi bersama karyawan lainnya. Sedang di luar, beberapa orang mengintip mereka. Seolah senang karena sudah menampar Lisa dengan kata-katanya, mereka tersenyum dengan penuh kebanggaan. Mata mereka bertemu dengan orang-orang yang menonton dari luar. Aku sudah mempermalukan si karyawan jalur koneksi— bangga mereka, terlihat sangat jelas dari wajah masing-masing.
"Aku tidak tahan lagi," gumam Lisa kemudian.
"Kalau begitu kirim surat pengunduran dirimu, Nona Kim," jawab Cha Eunwoo yang masih berdiri di mejanya, masih mengemasi barang-barangnya.
Kim Seonho ingin mengatakan sesuatu. Ia membeku di tempatnya, berharap dirinya tidak ada di sana. Dilema menyerangnya— haruskah ia membela Lisa dan ikut dikucilkan, atau diam saja meski nuraninya terluka seperti sekarang?
"Saat masih jadi pegawai baru, aku bahkan bersedia lembur tanpa digaji. Orang-orang seperti kami yang merintis semuanya dari awal, yang bisa berdiri di sini tanpa bantuan siapapun, tanpa koneksi, tanpa privilege apapun, pernah bekerja lebih keras darimu, nona Kim," pamer Cha Eunwoo. "Kau tidak pernah mengirimkan surat lamaranmu kemana-mana, 'kan? Kau tidak pernah pergi interview dan gugur karena privilege yang dimiliki orang lain, 'kan? Selama ini kau pasti senang, lulus kuliah, kemudian langsung bekerja, tanpa perlu pusing memikirkan pinjaman pendidikan yang harus dilunasi? Dibanding semua itu, tugas-tugas yang kami berikan tidak ada apa-apanya."
"Kenapa aku harus adu penderitaan dengan kalian?" balas Lisa, yang kini meraih handphonenya. "Kau mendengar semuanya kan? Begitu cara mereka memperlakukanku di sini. Aku tidak bisa bersabar lagi, singkirkan mereka semua, mereka bahkan bukan manusia, hanya sekelompok daging-daging iri banyak omong," susulnya, bicara pada seseorang yang sedari tadi mendengarkan semuanya lewat telepon.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare for The Devil
FanfictionDalam pikirannya, ia yang paling kejam. Dalam kenangannya, ia yang paling keji. Namun gadis itu datang kemudian menyeretnya ke mimpi buruk dalam terowongan gemerlap tanpa ujung.