Bab 5

675 80 2
                                    

Bicara soal takdir, maka tak ada yang bisa menentukan seperti apa hidup yang diinginkan. Tak pernah bisa menentukan siapa yang tinggal ataupun mendorong pergi orang yang tidak di inginkan untuk membersamai.

Pasrah, hanya itu yang bisa dilakukan. Biarkan Tuhan yang mengatur selaku pemilik semesta. Satu hal yang perlu manusia lakukan adalah mengubur perasaan negatif dan memupuk perasaan positif.

Namanya hidup, tak akan lepas dari kesedihan, kekecewaan, dan segalah perasaan sendu yang mengharu biru tapi bukan berarti bahagia tak ada.

Bahagia itu ada, bahkan tersebar luas. Semua orang memiliki jatah bahagia masing-masing meskipun orang itu di kategori-kan dalam keadaan paling melarat sekalipun, tak akan luput dari jatah kebahagiaan.

Seyogianya memang manusia harus bersyukur atas apapun yang Tuhan berikan pada mereka. Namun segelintir juga tak menyadari dan lebih banyak mengeluh bahkan meratap.

Asraf salah satunya.

Tak jarang dia mengeluh atas keadaan yang di gariskan Tuhan untuknya. Sesekali bahkan lelaki itu meneteskan air mata karena tak terima atas kondisinya yang selalu merepotkan Eyang dan saudara-saudaranya.

Apa yang bisa Asraf syukuri jika berjalan saja tak mampu? Kondisi tubuhnya pun sangat jauh dari kata stabil. Menderita polio sejak masih balita hingga membuatnya lumpuh.

Ya. Baru kemarin dokter menyampaikan berita buruk padanya bahwa tak ada harapan dirinya dapat berjalan, seumur hidup dia akan terus duduk di kursi roda.

Asraf merasa seolah langit runtuh menimpahnya. Belum lagi ketika menyaksikan Eyang Muhsin menangis tanpa suara di pojok ruangan, membekap mulutnya untuk meredam suara.

Rasa sedih yang begitu dalam berhasil membuat Asraf kala itu membeku, sejalan dengan itu air matanya enggan menetes.

Orang bilang, kesedihan yang paling dalam adalah titik dimana kau tak mengeluarkan air mata dan Asraf mengalaminya.

Tok

Tok

Tok

Ketukan pintu berhasil membawa kesadaran Asraf dari lamunan, decitan pintu menarik sepasang mata memandang ke sumber suara. Sosok Eyang Muhsin muncul dari balik pintu dengan Senyum hangat terpantri di bibirnya yang sudah keriput.

"Eyang..."

"Nak, Eyang mau ngomong boleh? ," tanya eyang Muhsin yang kini duduk di tepi ranjang.

"mau ngomong apa eyang?"

"Eyang mau ngomong hal yang panjang loh. Yakin Asraf mau dengerin." Asraf tersenyum lembut kepada eyang lalu berkata,

"Mau sampai pagi pun Eyang cerita, Asraf bakal jabanin." Eyang Muhsin terkekeh dengan kelakar Asraf. Ia mengusap kepala sang cucu dengan lembut membuat empuhnya memejamkan mata sejenak merasakam tangan keriput itu membelainya.

"Dulu waktu Candra dan kamu mau lahir, Eyang masih di Bandung. Kebetulan waktu itu Eyang masih di kebun teh, Ayahmu nelpon dia bilang istrinya bakal ngelahirin. Eyang saking paniknya gak sempat ganti baju, jangankan ganti baju cuci tangan sama kaki aja Eyang saja lupa." Eyang terdiam sejenak, melirik ke arah Asraf yang masih dengan setia mendengarkannya dengan khitmat.

"Eyang berangkat dari Bandung ke Jogja dengan pakaian kotor sehabis dari kebun. Bahkan saking buru-buru-nya Eyang gak kepikiran untuk pakai koper dan cuman pakai sarung buat bungkus pakaian Eyang." Eyang Muhsin terkekeh begitupun dengan Asraf.

Entahlah, kekehan sang Eyang seolah mengundang Asraf untuk ikut tertawa.

Pijaran mata Asraf menjadi hangat ketika Eyang Muhsin mengenggam tangannya. Ia kembali memberikan senyum hangat, hingga membuat Asraf berpikir apa sang Eyang tak lelah? Lelah untuk terus memperlihatkan senyum yang terpantri di bibir keriputnya itu?

GRANDSON'S EYANG MUHSIN [ NCT DREAM] EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang