Bab 1

2.7K 135 7
                                    

CUCU EYANG MUHSIN

'Semua kata rindumu semakin membuatku
Tak berdaya... Menahan rasa ingin jumpa
Percayalah padaku akupun rindu kamu
Ku akan pulang... Melepas semua kerinduan...
Yang terpendam"

~ DEWA ~

Langit telah memberikan warna orange pertanda adzan magrib akan berkumandang beberapa menit lagi. Kepulan asap dari kopi hitam pekat dari gelas jumbo dan sepiring gorengan yang berada pada meja bundar, menjadi perpaduan yang pas untuk menemani lelaki rentah yang kini sedang duduk mengisap sepuntung tembakau yang nampak begitu nikmat kala ia meniupkan asap yang kini melambung, lebur bersama dengan udara.

Sesekali ia menyeruput kopi panasnya lalu kemudian berguman nyaris tak terdengar. Mata yang masih jerni seolah menolak untuk memburam kala kulit si lelaki telah keriput. Sekali lihat, raut, mimik bahkan kerutan yang tercetak dari wajahnya seolah mengatakan ada banyak cerita termaktub yang harus dibagikan sambil menikmati segelas kopi panas.

Adzan magrib terdengar, segera lelaki itu mematikan tembakaunya dan kemudian merai baju kokoh yang memang ia taruh di pojok kursi. Peci yang awalnya miring ke-kanan kini telah terwalak sebagaimana mestinya. Suara decitan pintu membuat atensinya teralihkan kesumber suara, sebuah senyuman hangat terbit kala melihat cucu-cucunya telah siap menuju masjid.

Entah bagaimana? Tak peduli berapa kali pemandangan ini ia saksikan, selalu saja ada rasa hangat yang menjalar kehatinya seeakan melihat ketujuh cucunya adalah pelipur lara dikala sepi melanda.

Menilik beberapa tahun yang lalu, lelaki tua itu begitu bahagia kala mendapat kabar kalau anak-anaknya akan menitipkan cucu-cucunya di rumah. Perasaanya terasa melambung tak terdefinikan. sekian lama rumah mengikat sepi kini mulai ada kehangatan yang menemani, jikalau sebelumnya saat ia membuka mata dipagi hari hanya disambut oleh kicauan burung pipit peliharaannya, kini paginya disambut oleh ke tujuh cucunya.

Seperti buah kelapa, sepohon tapi punya air sendiri. Ketujuh cucu Eyang Muhsin memiliki cerita menariknya sendiri yang selalu mereka bagi kala duduk bersama di teras rumah pada sore hari. Tak ayal rumah berlantai dua dengan cat hijau tua itu selalu ramai dengan gelak tawa atau teriakan yang berasal dari Bang Revan kepada Candra yang memang selalu menargetkan keusilan tak masuk akal kepada dirinya.

Meski rumah menjadi bising karena ulah para cucu-cucunya Eyang Muhsin  sampai saat ini, beliau hampir tidak pernah menegur apalagi marah. Setidaknya hampir tidak, bahkan ketika candra menyetel musik rock dengan volume penuh saat dia sakit gigi pun ia lebih memilih mengunsi ke rumah pak Junaedir dari pada menegur Candra dan baru kembali kerumah saat hari menjelang sore.

Masih jelas dalam ingatannya ketika dia baru balik dari rumah pak Junaedir, ia dibuat terkejud dengan aksi Revan si cucu pertama yang mengebiri Candra perihal menyetel musik rock dengan volume penuh hingga membuat sang Eyang harus mengungsi ke rumah tetangga.

" Eyang, Jihan belum wudhu soalnya bang Candra kelamaan mandinya." Lamunan Eyang Muhsin buyar ketika mendengar rengutan Jihano.

Candra yang sibuk memperbaiki sarung kotak-kotaknya melongo tidak percaya atas fitnah yang dilayangkan kepadanya.

" wah lambemu, sesungguhnya fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan. Eyang bukan gitu ceritannya, Candra udah bilang ke bontot eh maksudnya Jihan untuk masuk kekamar mandi duluan. Tapi dia malah nyuruh Candra makai kamar mandi duluan soalnya dia lagi asik nonton Naruto."

" Ya tapikan tetep aja abang salah soalnya pakai kamar mandinya kelamaan," ucap Jihano tak mau mengalah.

" Oke gue ngaku mandinya kelamaan tapi yang nyuruh gue masuk kamar mandi duluan siapa?"

GRANDSON'S EYANG MUHSIN [ NCT DREAM] EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang