Bab 11

617 69 0
                                    

Mungkin seminggu sudah cukup untuk bersedih dan merasa kehilangan, tapi itu tidak berlaku bagi seorang Abyan Diano M dan Gioano Asraf M. Kedua lelaki itu seolah terlarut dalam kesedihan yang tak berkesudahan. Kematian Eyang Muhsin, seolah menjadi cambuk berduri yang menyiksa batin mereka.

Selama seminggu pula kelima saudara mereka dibuat uring-uringan karena kadang kala Abyan dan Asraf menolak untuk makan.

Hal ini kadang membuat emosi Bang Malik meledak, karena kedua adiknya itu begitu keras kepala. Bukan hanya Bang Malik, tetapi Bang Revan pun juga mengalami hal serupa.

Baik Bang Revan dan Bang Malik, paham betul perasaan kedua saudaranya itu. Tapi mereka tidak bisa memaklumi tindakan adiknya yang berlebihan dalam bersedih sampai menolak untuk makan. Bukan hanya Abyan dan Asraf yang kehilangan tapi mereka pun kehilangan sosok eyang.

Mereka mengerti perasaan kedua adiknya itu. Abyan yang lebih lama tinggal bersama Eyang menjadikan anak itu menganggap Eyang Muhsin selayaknya orang tua. Kurang lebih dua puluh tahun menghabiskan waktu, tumbuh berkembang dalam pengawasan lelaki tua itu. Memang sudah wajar Abyan bersedih, tapi bukan berarti menyiksa diri dengan tidak makan. Hingga lelaki itu kian kurus.

Bang Revan pun paham Asraf kehilangan sosok Eyang, ditambah lagi dengan kondisinya yang kian memburuk dengan mata yang tak bisa melihat secara normal karena kecelakaan.

Kematian Eyang yang menjadi pukulan telak bagi Asraf membuat anak itu seolah hancur tak berbekas dan kehilangan makna akan satu hal.
Tapi bukan menjadi alasan untuk berpaku dan merajuk seolah-olah dengan perilaku itu Eyang akan hidup kembali.

Tidak! Orang yang sudah mati tak akan pernah kembali untuk menghibur hati seseorang yang ditinggalkan.

Sudah berapa kali Bang Revan dan Bang Malik memberikan nasehat kepada Abyan dan Asraf. Namun, semua rasanya dianggap seperti angin lalu.

Menghela napas lelah, dan mengelus dada adalah kegiatan yang sering Bang Malik dan Bang Revan akhir-akhir ini. Satu kesyukuran karena ketiga adiknya yang lain yakni Candra, Cakra dan Jihano tidak bersedih seperti Asraf dan Abyan. Entah akan sepusing apa kedua manusia itu menanganinya kalau sampai ketiga adik mereka ikut-ikutan.

"Kamu lagi ngapain?" tanya Revan ketika melihat Candra membawa layangan dengan ukuran yang sangat besar yang mana mampu menyembunyikan tubuh Candra.

"Lagi mau beresin gudang," kata Candra yang meletakkan layangan di pagar depan rumah tepat di dekat tempat sampah.

"Terus kenapa layangannya di taru dekat tempat sampah? nanti kalau tukang ngangkut sampah datang di kiranya itu layangan bakal dibuang gimana?"

Candra berbalik meninggalkan layangan berbentuk burung beo dengan warna pelangi itu di dekat pagar lantas berguman,

"Emang mau di buang."

"Kamu yakin mau buang layangan itu? Kan katanya kamu mau ikut festival layangan, bukannya lusa udah mulai kan?" Candra tertegun sejenak saat kakinya hendak melangkah menuju gudang dekat garasi. Mendengar pertanyaan Bang Revan membuatnya kembali menatap layangan burung beo yang susah payah di buatnya bersama kedua curut.

Langkah pelan mulai dirajutnya menuju pagar. Berdiri memandangi layangan itu. Di sampingnya kini sudah ada Bang Revan yang ikut memandangi layang tersebut.

"Malam itu Abang bertanya-tanya soal layangan seperti apa yang bakal kamu buat untuk festival. Abang berpikir bentuk yang aneh," kata Bang Revan tanpa mengalihkan atensinya yang terpaku pada layangan burung beo di hadapannya.

"Pengalaman dari tahun lalu... Kamu buat layangan kunti sampai warga sekampung dibuat geger... Nggak nyangka, kamu buat layangan segini bagusnya."
Dari binar mata Bang Revan, jelas rasa kagum terlihat.

GRANDSON'S EYANG MUHSIN [ NCT DREAM] EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang