20- GEM

395 40 0
                                    

Revan terdiam menatap langit-langit. Hatinya bergejolak memaki diri, otaknya berdebat. Matanya kemudian beralih menatap ke 3 adiknya yang tertidur pulas di bangkar tak jauh darinya.

Hatinya mencolos lalu matanya memerah. Air matanya meleleh, jatuh membasahi selimut berwarna putih. Bagai mentega yang mencair di atas teplon.

Lalu kemudian sekelebat bayangan ketiga saudaranya mangkir dalam pikiran dengan wajah penuh kekecewaan bercampur marah. Membuat perasaan bersalah dan sedih semakin meluap.

Terisak dalam ruang dingin. Bau obat yang menyengat tak lagi dapat dirasa hidungnya tersumbat karena menahan tangis, namun bendungan itu selalu jebol oleh air mata yang meluap.

Bukan ini yang diharapkan oleh Revan. Salahkah dia menyembunyikan sesuatu hal yang dapat menambah keresahan dan susah hati saudaranya? Dia hanya tidak ingin menambah pedih, tak ingin menambah luka. Tetapi, tanpa sadar dia membuat sayatan dalam.

Lalu aku harus bagaimana?

Kembali ditatapnya langit-langi Rumah sakit. Entah ilusi atau apa bayangan Eyang tengah tersenyum dapat terlihat jelas oleh Revan

"Apa aku membuat kesalahan?" guman Revan bertanya pada langit-langit kosong. 

Susah payah dirinya menelan ludah akibat tenggorokan yang terasa tercekat bagai menelan kerikil tajam. Revan tak sanggup ketika bayangan kekecewaan saudaranya selalu membayangi. Bentakan Bang Malik terus saja bergaung di telinganya seolah menghantuinya. Wajah kecewa Cakra yang tak pernah dia liat sebelumnya dan kemarahan Abyan yang bagai bom waktu.

Sekarang bagaimana dia? Apa yang akan Eyang katakan padanya jika beliau menyaksikan cucunya seperti ini.

Mata Revan terpejam dengan kantung mata yang sembab. Kejadian 7 tahun lalu terulang kembali. Ini semua salahnya, andaikan dia tak menyembunyikan dan bercerita mungkin Bang Malik, Abyan dan Candra tidak akan kecewa padanya.

"Aku hanya tidak ingin membebani mereka."

KRIET....

Pintu rumah sakit terbuka secara pelan. Sosok Bang Malik muncul setelahnya dengan wajah kusut. Ia dengan langkah gontai menuju bangkar Revan.

Mata hitam itu menyorot tajam Revan yang duduk membalas tatapannya dengan pengharapan maaf.

Ujung kakinya menyentuh kaki bangkar, tertunduk dalam lalu  sekajap kemudian pundak kokohnya bergetar hebat.

Revan menyentuh lengan Bang Malik  pelan. Dia memaki dirinya ketika melihat wajah pias Abangnya.

"Maaf.... Maafin Revan yang nggak jujur sama Abang." 

Bang Malik bergeming tak membuka suara tetap menatap tajam wajah  adiknya.

"Bang... Maaf,"

"Maaf..." 

Diam tak ada Jawaban.

"Kamu pernah ngucapin Maaf untuk hal yang sama" Revan tertegun mendengar perkataan Bang Malik.

"Sekarang apa arti maaf kamu?" tanya Bang Malik dengan nada datar.

Revan tertunduk dalam. Mencari jawaban yang dari pertanyaan Bang Malik. Namun meski jawaban telah tersusun rapih bagaikan sebuah konsep pidato, lidahnya keluh tak dapat berkata. Malu mendominasi.

"Maaf nggak berlaku untuk kali ini... Revan, maaf hanya untuk kesalahan pertama bukan kedua. Karena maaf yang kedua kalinya sama saja omong kosong." Tangan Bang Malik mencengkram kuat ujung kemejanya.

"Dan jika seseorang memaafkan kamu di kesalahan pertama, tanggung jawab kamu adalah menjaga maaf itu agar tidak terucap dua kali." Revan terdiam seolah tertampar dengan perkataan Bang Malik.

GRANDSON'S EYANG MUHSIN [ NCT DREAM] EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang