Bab 8

662 84 6
                                    

Temaram sinar rembulan, angin yang bertiup sepoi membawa hawa sejuk, menyapa kulit yang hanya berbalut kaos tipis dan selembar sarung. Candra dan dua Curut sibuk meraut bambu. Sesekali mereka bersiul, menciptakan irama asal namun merdu.

Candra begitu lihai membuat layangan, menganalisis kerangka dengan menggunakan jari telunjuk sebagai timbangan. Dia ahli dalam hal ini.

Nampak Eyang Muhsin dan ke empat cucunya duduk di sebuah dipan sambil berbincang ringan. Sesekali tertawa kala lawakan dari Asraf dan Malik begitu menggelitik.

Candra menatap Eyang dengan pandangan yang sulit di artikan. Lalu kemudian berguman,

"Kayak ada yang beda."

"Beda, siapa yang beda?" tanya Jihano yang ternyata mendengar gumanan Candra.

"Eyang... Ngerasa nggak sih akhir - akhir ini ada yang beda sama Eyang," kata Candra pelan.

Secara bersamaan Cakra dan Jihano memandang Eyang Muhsin dengan serius. Cakra kemudian mengkerutkan keningnya, tak ada yang aneh. Tetapi Jihano menangkap hal yang berbeda.

"Iya bang, akhir-akhir ini Eyang suka banget mandangin foto Oma. Terus auranya ada yang beda." Candra mengangguk setuju.

"Beda gimana maksudnya?" tanya Cakra.

"Ya... Gimana ya, susah ngejelasinnya intinya ada yang beda sama Eyang," kata Candra.

Cakra tidak mengerti, tetapi kemudian dia kembali memandang lelaki tua yang sedang bersenda gurau dengan para saudaranya diatas dipan. Meneliti setiap jengkal, tanpa melewatkan apapun. Sedetik kemudian hatinya diliputi risau kala senyum Eyang Muhsin merekah saat mereka bertemu pandang.

"Iya juga ya, ada yang beda," guman Cakra.

"Bener kan?" Cakra memandang kedua adiknya. Dan hanya di jawab anggukan setuju. Mereka di liputi hening, sangat hening hingga suara jangkrik dapat terdengar.

Candra kemudian sekali lagi memandang sang Eyang, kali ini lebih lama. Seolah hanya ini kesempatan terakhir memandang wajah lelaki tua itu.

Candra bangkit dari duduknya, kemudian melangkah menuju kesisi Eyang Muhsin. Berjongkok dekat kursi yang di duduki oleh sang Eyang. Ia meraih tangan keriput kemudian menciumnya. Sontak kelakuannya mengundag tatapan tanya dari para saudaranya. Jangan tanyakan, Candra juga tidak tau kenapa dia melakukan hal ini.

"Eyang janji ya bakal ikut kami ke festival layangan minggu depan," ucap Candra sambil menatap bola mata lelaki dihadapannya yang tak lagi jernih.

"Insyallah..." jawab Eyang Muhsin, seulas senyum terbit di bibir Candra kemudian dia berkata.

"Eyang... Candra pengen sesuatu, udah lama aku mau ngomong ini sama Eyang, tapi belum ada waktu yang pas. Dan entah kenapa malam ini Candra ngerasa ini waktu yang tepat." Candra terdiam sejenak. Lalu kemudian menghela nafas.

"Kalau di dunia ini Candra di suruh milih antara Bapak dan Eyang, Candra bakal pilih Eyang." Candra tersenyum kearah Eyang, begitupun dengan Eyang Muhsin yang tersenyum haru, mata lelaki tua itu sedikit berkaca-kaca. Dengan gerakan pelan mengusap rambut cucunya dengan sayang.

"Kenapa? Bukannya Bapak yang Candra pilih." tanya Eyang Muhsin. Candra terdiam sejenak, seolah memikirkan jawaban atas pertanyaan tersebut.

"Bapak, orang tua Candra tapi yang berperan dalam ngerawat Candra, ngurusin Candra itu Eyang."

"Makanya Candra milih Eyang!"
Kembali senyum tercetak di bibir.

"Eyang, Candra mau peluk Eyang Boleh?" Eyang Muhsin mengangguk sebagai jawaban, dengan cepat Candra memeluk erat tubuh Eyangnya.

GRANDSON'S EYANG MUHSIN [ NCT DREAM] EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang