41. Yang Menjadi Asing

580 172 33
                                    

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

"Kak Djanuar?"

Rasanya, seperti melihat orang yang sudah lama mati, lalu hidup kembali. Namun, kali ini mereka tidak hidup sebagai orang yang kita kenal. Melainkan sebagai orang lain yang jauh berbeda. Aku menatap Kak Djanuar dari atas sampai bawah, dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tak terlewat barang sejengkal saja dari dirinya. Seberapa kalipun dilihat, aku merasa tak mengenali lelaki ini. Maksudku, yang benar saja?!

Terakhir kali aku melihatnya adalah enam bulan lalu di upacara kelulusannya sendiri. Kak Djanuar mengenakan setelah rapi dengan rambut disemir. Ia berjalan dengan senyum bangga ke atas podium SMA Andalas untuk menerima medali kelulusannya. Lalu hari ini, ia muncul lagi di depanku dengan celana jeans ala gelandangan, Kaos putih, rompi hitam aneh, penutup wajah dan sebuah pistol yang baru saja menembakkan sebuah peluru tepat di samping kepalaku. Siapapun tolong katakan mereka bukan orang yang sama.

Terlepas dari tragedi putusnya hubungan kami karena alasan yang ... tak ada alasannya, Kak Djanuar jelas bukan orang yang akan berjalan di gang dengan pakaian teroris, rambut berantakan, dan membawa senjata. Atau, begitu yang kukira selama ini.

"Ngapain lo di sini?!" sentaknya. "Bawa-bawa pistol lagi! Dapat dari mana?!"

"Heh! Ngaca!" Kutarik tangannya yang memegang pistol tepat ke depan hidungnya agar ia bisa lihat sendiri apa yang ia tenteng selama ini. "Yang di tangan lo ini apa?! Lagian, sejak kapan gaya lo jadi kayak berandalan begini?! Putus dari gue lu berubah jadi kriminal, ya?"

"Gue nggak penting. Kamu ini kenapa bisa ada di sini? Pakai bawa—tunggu, jangan bilang kamu di sini karena Bawah Tanah!"

Kerutan timbul di dahiku. "Lho, Kak Djanu tahu Bawah Tanah?"

"Selena sialan!"

Aku makin kebingungan. "Lo tahu nama aslinya Kak Camil?"

Kak Djanuar tidak menjawab. Ia menggamit lenganku. Entah apa yang merasuki lelaki ini hingga berjalan dengan begitu cepat sampai hampir membuatku terseret-seret. Cengkeraman tangannya kuat sekali. Belum pernah aku melihatnya menjadi semarah ini.

"Kak, lepas! Apaan sih!" Aku memberontak. Namun cowok itu enggan melepaskanku.

Ia malah berkata, "Gue antar lo pulang ke Jakarta."

Aku membelalak. Apa yang membuatnya berpikir bisa seenak jidat menyeretku pulang setelah tiba-tiba muncul sambil menenteng senjata api? Kuhempas tangannya jauh-jauh dari tanganku. Lihat! Saking kasarnya kulitku sampai merah habis digenggamnya. Bahkan meskipun kita telah putus, tapi setelah dua tahun bersama dalam senang dan susah, aku terkejut ia masih tidak tahu jika aku dikasari maka aku akan mengasarinya balik.

"Apaan sih lo! Lo pikir lo siapa bisa seenaknya nyeret gue pulang!"

Kak Djanuar menutup matanya. Ia mencengkeram udara. Tingkahnya macam orang kurang liburan yang sudah mencapai puncak depresi. Ia menarik napas dalam-dalam. Meskipun rautnya masih menyiratkan rasa frustasi yang besar. Pandangannya melembut padaku. Ia berusaha menggenggam tanganku, kali ini dengan sentuhannya yang halus seperti dulu. Aku ingin menolaknya, tapi entah mengapa tanganku tidak bergerak seperti yang otakku perintahkan. Bukan
berarti aku tidak mau. Hanya saja ... sentuhannya membuatku teringat akan perasaan aman sewaktu ia menggenggam tanganku dengan telapak tangan besarnya.

"Maafin aku," katanya, mengubah logat bicaranya. Kak Djanuar menunjukkan pistolnya. "Soal ini, aku nggak bisa jelasin sekarang. Aku tahu kamu bingung. Tapi, sekarang aku pengin kamu balik Jakarta dulu. Tinggalin Bawah Tanah, lanjutin sekolah kamu di Andalas, ya?"

Bawah Tanah: The Rumor Comes TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang