Bawah Tanah:
The Rumor Comes TrueA novel by Zivia Zee
•••
"Anya. ANYA!" teriakku.
Anya kembali secepat ia berlari pergi. Ia tidak berhasil mengejar siapapun itu pelakunya. Gadis itu berlutut di sisi tubuh Aren yang lain. Sama-sama memandangi luka tembak itu dengan gamang.
"Ki-kita harus hentikan pendarahannya," kata gadis itu.
Anya memang nampak lebih tenang, dibanding aku yang bergetar bukan main dengan air mata yang tak bisa kuhentikan. Tapi di balik manik matanya, aku tahu dia menyimpan ketakutannya sendiri. Itu tergambar jelas ketika tangannya yang juga gemetar menggenggam erat tanganku yang tengah menekan luka Aren. Berusaha memberikan kekuatan. Itu terlihat dengan gamblang di matanya yang ia paksakan untuk terlihat tegar. Di balik sosok tenang itu, ia juga takut.
Aku menarik napas pelan-pelan. Menenangkan diri bukan hal yang mudah untuk dilakukan di tengah situasi menekan seperti ini. Tapi aku tidak punya pilihan selain menguatkan diri. Aku harus menggenggam diriku sendiri untuk dapat menyelamatkan orang lain.
"Aren tahan, ya?" pintaku.
Kutekan luka di pundak Aren lebih kuat lagi. Gadis itu langsung mengerang kesakitan. Suaranya mengerikan. Sejenak aku mengendurkan tekanannya karena aren nampak begitu kesakitan.
"Bantu gue senderin dia di pohon."
Aren mengerang lebih keras ketika kami mengangkat tubuhnya. Dia menangis hebat sepanjang pergantian posisi itu. Napasnya bahkan tidak lega saat tubuhnya sudah bersandar. Malah, aku merasa bahwa ia seperti mulai kehilangan napasnya satu demi satu.
Aku cepat-cepat kembali membalut luka aren. Kali ini dengan kaus olahraga Anya yang ia lepaskan karena kausku sudah benar-benar basah oleh darah.
"Stop! Sakit," erang gadis itu.
Aku menoleh pada Anya. "Cari Zero, Kat, atau siapapun. Cari bantuan, Ay."
"Oke, bentar," katanya. "Pistol lo mana?"
Aku menunjuk saku sabukku.
"Ada pelurunya?"
"Nggak ada."
Anya mengeluarkan pistolku juga peluru cat cadangan dari sakunya sendiri. Ia memasukkan setengahnya pada magasin pistol milikku dan setengah lagi pada magasin pistol miliknya.
"Gue tahu lo nggak pintar bohong," katanya, "tapi kalau bajingan itu datang ke sini lagi, lo harus pura-pura punya peluru asli. Jangan ketembak, oke?"
"Lo juga," sahutku.
Anya meninggalkanku. Kini tinggal aku dan Aren berdua saja. Aren tak berhenti menangis seperti orang sesak napas. Matanya berkedip setiap setengah detik seolah ia tengah berusaha menjaga kesadarannya. Aku meremas ujung pundak satunya yang tidak terluka, bermaksud memberi ia kekuatan. Tapi anak itu malah berteriak seolah aku meremasnya dengan ujung silet di tanganku.
"Sakit. Sa-sakit ... hnn ...," eluh Aren.
Aku menarik tanganku dari pundaknya. "Ren, tenang. Tarik napas. Ikutin gue."
Aren mencoba menarik napasnya. Tak lama kemudian ia meringis seolah ia menghirup udara bercampur partikel kaca.
"Lo inget waktu pertama kali kita ketemu?" tanyaku, mencoba mengalihkan perhatiannya. "Lo sebenarnya unik. Belum pernah ada yang minta uang lima puluh ribu ke gue buat satu pertanyaan. Kenapa lo suka uang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bawah Tanah: The Rumor Comes True
Ação[Action X Teenfiction] Serial mata-mata remaja #1 Buku pertama dari Dwilogi Bawah Tanah Ada sebuah surat aneh diatas meja belajarku. Surat berwarna pink bersimbol hati. Kupikir itu dari Djanuar. Akhirnya cowok brengsek itu sadar juga bahwa meninggal...