47. Throwback Memories

684 158 22
                                    

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

Mungkin karena sudah terlalu biasa melakukannya, Kak Sancaka memulai insiden itu dengan begitu natural, seolah-olah memang sudah takdir terjadi hal demikian. Adalah pelayan wanita malang yang menjadi korbannya kali ini. Pelayan itu kebetulan sekali berjalan tepat di samping Kak Sancaka dengan membawa nampan berisikan beberapa gelas liquor dan sari buah. Dengan gerakan yang begitu mulus, lelaki itu membuat si pelayan menabrak dirinya. Cairan tumpah ke setelan mahalnya. Gelasnya jatuh mengotori lantai marmer. Perhatian sang bupati beserta beberapa tamu di dekat kami dengan cepat teralihkan. Pria itu nampak terkejut melihat tamu pentingnya kini basah oleh cairan liquor.

"Hei! What the hell are you doing on my clothes!" seru Kak Sancaka murka. Sang pelayan langsung beringsut ketakutan. Bupati menghampiri kami dengan wajah panik.

"Yaampun, maafkan saya Mr. Lichfield. Dia pegawai baru." Bupati Rendra berujar dengan nada bersalah.

"Tidak! Tidak bisa dibiarkan begini! Kau tahu ini berapa harganya?" serunya, seolah-olah lelaki itu telah menghabiskan seumur hidup untuk membeli satu set tuksedo itu. Wajahnya berkerut-kerut dengan kilat kemarahan.

Pelayan itu membungkuk berkali-kali. Tangannya terulur hendak membersihkan cairan di pakaian Kak Sancaka. Aku langsung menyentaknya mundur. "Jangan sentuh dia dengan tangan kotormu! Kamu mau kami memotong jari-jarimu?!"

"Mungkin kami harus memotong jarimu." Kak Sancaka memanasi.

Pelayan itu kian ketar-ketir. Kini ia berlutut dan menangis sesenggukan. Memohon ampun di kaki Kak Sancaka. Aku jadi tak tega melihatnya. Salahkan Kak Selena yang lama sekali.

Sementara Kak Sancaka mengomel marah tak habis-habis, orang-orang di sekitar mulai berbisik-bisik. Terdengar satu-dua kalimat dari mereka yang mengkritik pelayanan yang ada, mengatakan bahwa pestanya buruk dan sebagainya. Hal itu nampaknya terdengar oleh Bupati Rendra. Kuperhatikan wajah pria itu memerah padam, bercampur antara malu sekaligus kesal. Namun di hadapan para tamu-tamu pentingnya, ia harus merendahkan diri. Tersenyum dan membungkuk meminta maaf.

"Nah! I got it! Oke, Nemesis, Ananke, kalian bisa kemari." Suara Kak Selena muncul dari penyuara telinga. Aku menarik Kak Sancaka yang tengah menyentak-nyentak seperti orang kerasukan jin pemarah.

"Sudah lah, Sayang," ucapku. "Dia tidak pantas untuk waktu kita."

"Le-lebih baik kita langsung ke atas saja," bujuk Bupati Rendra takut-takut. Ia menghampiri Kak Sancaka dan mencoba melepaskan jasnya yang basah. "Tolong biarkan saya mengurus ini, sebagai permintaan maaf saya."

Kak Sancaka membiarkan jasnya pindah ke tangan bupati. Kini ia hanya mengenakan jas putih, rompi hitam dan dasi sebagai atasan. Ia menarik lengan kemejanya ke siku. Berjalan mengikuti bupati dengan memisuh gusar.

Lantai dua tak kalah megahnya dari lantai satu. Hanya saja di sini jauh lebih tenang dan sunyi. Ruangannya sama banyak, koridornya sama panjang. Entah beruntung atau tidak, aku melihat CEO PT. Arca Mentari di salah satu lorong koridor yang kami lewati. Tengah berbicara dengan seorang yang terlihat seperti penjaga. Aku melambatkan langkahku.

Sayup-sayup kudengar CEO Arca berkata, "... Uangnya sudah ditunaikan."

Aku menatap ke depan dengan cepat. Mereka berbicara tentang uang. Ini saatnya aku berpisah dengan Kak Sancaka.

Aku berhenti berjalan, menarik lengan Kak Sancaka meminta perhatian. Sang bupati ikut berhenti.

"Sayang, sepertinya aku harus ke kamar kecil. Kau duluan saja, nanti aku menyusul."

Bawah Tanah: The Rumor Comes TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang